FULAN

prana sulaksana
Chapter #19

Hari Pembalasan

Waktu-waktu di pesantren sangatlah tidak terasa jika kita sedang betah-betahnya, tapi akan terasa sangat lamaaa ketika sudah mendekati akhir bulan, karena kita belum gaji-an, begitu lah istilah di pesantren itu. Meski kita diberi makan sehari 3x, tetapi rasanya sengsara tidak memiliki uang sepeser pun, rasanya sengsara melihat santri yang lain jajan ke warung Ust. Cepi, atau ngebaso ke luar pesantren. Dan kita hanya melihat mereka dari asrama.

               Tidak terasa aku sudah memasuki ujung semester 2, di sini biasanya di bulan april atau Mei pembelajaran sudah mulai tidak efektif apalagi kelas kita sering dipakai untuk ujian kelas 3 mts dan 3 Muallimien, sehingga akan ada hari-hari yang banyak libur, yesss. Tapi liburan tanpa adanya uang sebetulnya sama saja dengan bohong.

               Di hari yang santai di asrama, ketika tidak banyak kegiatan. Di sini lah biasanya terjadi konflik antar ruangan, karena santri banyak menghabiskan waktu di asrama, dan pengawasan ustadz sedikit kendor.

               “sudah tau belum sen?” si Beben berbisik-bisi di ruangan.

               “apa ben?” jawabku penasaran.

               “si A Ujang disiksa, digulung” jawab si Beben dengan yakin.

               “aslinaaa? Maenya maenya maenya (masa)?” si Gani tiba-tiba nimbrung pembicaraan.

               “peuting tadi lain? (malam tadi bukan?)” si Farhan pun ikut nimbrung.

               “iya malam tadi si A Ujang digulung” kata si Beben

               “siapa pelakunya Ben?” tanyaku.

               “sudah bisa tebak tidak?” kata si Beben.

               A Ujang ini satu angkatan dengan Kak Purwa, kelas 2 Muallimien.

               “sama kelas 3 muallimien Ben?” tanya si Gani.

               “hmm... bukan” jawab si Beben.

               “jangan-jangan...” jawabku.

               Kita semua berfikir sejenak, dan nampaknya satu frekuensi.

               “sama angkatan si Kuda?”

               “Asli sama angkatan si Kuda Ben? Bennn?” si Gani sambil menggoncang-goncangkan tubuh si beben.

               Si beben yang hanya tersenyum membuat kami tambah penasaran.

               “heeh bener” jawab si Beben.

               “Waahhhhhh ....!!!” kita semua kaget. Pasukan si kuda sedang beraksi, sepertinya imbas dari anak buahnya yang dipukuli tempo hari. Padahal angkatan si Kuda dan A ujang itu beda dua angkatan. Dan A Ujang itu adalah salah-satu pelatih taesyukhan (Bela diri Islam), tapi hal itu tidak membuat si Kuda takut dan malah melancarkan serangannya tadi malam.

               Aku baru ingat, kak novan sedang tidak ada... begitu pun kak purwa dan kak Yudi bagian keamanan sedang tidak ada. Jadi pasukan kelas 2 Muallimien hanya sedikit, sehingga Si Kuda pasti mempertimbangkan itu semua. Sehingga A Ujang tidak banyak yang bisa membantunya. Si Kuda memakai strategi di sini, meskipun sedikit curang menurutku. Karena harusnya, kalau memang berani ketika kelas 2 Muallimien sedang full tim.

               Obrolan tentang angkatan si Kuda yang mengeroyok A Ujang langsung menjadi trending topik di asrama RG selama 1 minggu itu, si Kuda semakin ditakuti bersama pasukannya. Dan A Ujang tidak melapor karena memang urusan pribadi dan antar lelaki, nah ini yang aku salut dengan kehidupan keras asrama, betapapun berat dan kerasnya di sana, mereka bukanlah pengecut yang sedikit-sedikit lapor polisi, meski beberapa tahun setelah itu ada saja pengecut yang melapor polisi.

               Mungkin kamu bertanya-tanya, salah siapakah itu? Salah santri? apakah salah ustadz? Tidak juga menurutku, karena ustadz sudah mengawasi dengan sebaik mungkin, namun yah namanya oknum santri di usia muda yang menggebu-gebu wajarlah kalau sedikit-sedikit mau berkelahi. Tapi seburuk-buruknya kami di asrama, kami tetap hormat dan taat pada ustadz tidak berani untuk tidak sopan.

               Menurutku yang pernah mesantren, kehidupan keras asrama lah yang justru membuat mentalku menjadi kuat menghadapi dunia di luar sana yang begitu keras. Asrama menurutku adalah sebuah pendidikan kehidupan secara tidak langsung, aku bersyukur pernah di asrama. Dan jika kamu mau ke asrama, atau punya anak atau saudara yang mau ke asrama, aku sangat mendukung untuk melatih kemandirian.

               Suatu hari aku sedang bermain di lapangan asrama, tiba-tiba seorang menepuk pundakku… aku terkejut dan tak bisa berkata-kata, orang yang menepuk punggungku ternyata adalah si Kuda dan temannya.

               “Nginjem sendal …(pinjam sandal)” kata teman si Kuda.

               Aku hanya ketakutan dan tak bisa berkata-kata karena kaget.

               “Nginjem sakedeng ka hareup (minjam sebentar, mau ke depan)” kata si Kuda.

               “Oh iya a” aku tak banyak berkata-kata dan menyerahkan sandalku.

               Kemudian si Kuda dan temannya pun pergi dengan memakai sandalku. Aduh bodohnya aku …di asrama, kalau ada yang pinjam sandal, hampir pasti 99% tidak akan dikembalikan. Aku pun lemas, dan pasrah saja …karena mana mungkin aku berani menagih sandalku ke si Kuda.

               Hari-hari di asrama, ketika kau tak punya sandal adalah hari yang cukup memalukan. Apalagi kalau ada kumpulan atau pengajian dengan UG, kalau kau tidak memakai sandal kan cukup memalukan. Dan sudah tidak terhitung berapa jumlah sandalku yang hilang di pesantren itu, baik di simpan di asrama, di depan mesjid atau di dalam ruangan pun, sandal adalah barang yang paling tidak awet di asrama menurutkku.

               Aku sadar bahwa aku bukan orang yang berada secara ekonomi, dan aku kasihan kalau harus terus meminta uang atau meminta sandal baru kepada nenek. Solusinya hanya 1, ‘aku harus menagih sandalku ke si Kuda’ apapun resikonya. Aku menunggu si Kuda dan temannya yang meminjam sandalku. Hari kemudian menjelang sore dan akupun tidak melihat si Kuda maupun temannya.

               17.27 santri bersiap-siap untuk ke Mesjid untuk bersiap sholat maghrib. Aku lihat si Kuda dan temannya. Tapi kulihat temannya tidak memakai sandal milikku, hah sandalku kemana? Aduh …apa yang harus kulakukan. Kalau aku menagihnya, sama dengan bunuh diri. Ah berat sekali menjadi seorang pengecut sepertiku.

               Dengan membayangkan wajah nenek, aku pun memberanikan diri untuk menghampiri si Kuda dengan temannya…

               Aku mendekat dengan pelan dan ragu-ragu … si Kuda dan temannya sedang duduk di depan ruangan Abu Dawud di Lantai 1…

               “a …mau ngambil sandal” kataku dengan datar…dan ketakutan

               Aku sendiri menghampirinya, karena teman-temanku pun pengecut, dan takut kalau harus menghadap kepada si Kuda, tidak ada yang berani untuk sekedar mengantarku.

               Si Kuda langsung melotot ke padaku, aku pun tak berani menatap matanya karena takut. Aduh aku salah …harusnya aku ikhlaskan saja sandal itu …

               “kadieu maneh …(kamu ke sini) !” kata si kuda sambil mengajakku untuk mengikutinya.

               Teman-teman ruanganku dari jauh melihatku dengan tatapan yang kasihan,.

               Kemudian aku lihat si Kuda mengajakku ke ruangannya ke lantai 3… ah sudahlah, aku habis hari ini, aku harus siap dipukuli… seluruh kakiku bergetar ketakutan.

               “kadieu asup ! (ke sini masuk)” kata si Kuda dengan tegas. Ah sudahlah …ini ruangan tempat si A Ujang dikeroyok, aku yang sudah berani menagih sandal pasti minimal dipukul oleh si Kuda dan kawan-kawan.

               Sebelum masuk aku menengok ke belakang sebentar, melihat temanku yang melihatku ..seperti mau melepasku pergi jauh. Ah aku pasrah, aku langkakan kaki masuk ke ruangan yang sedikit gelap karena kurang pencahayaan.

               Seseorang langsung merangkul pundakku, dan berkata:

               “saha ieu kuda? (siapa ini)” kata temannya yang merangkulku.

               “Eta ..nu kamari nginjemkeun sendal (yang kemarin meminjamkan sendal)” kata si Kuda santai.

               “goblog.. sia rek nagih kadieu? Wanian budak leutik (kamu mau nagih? Berani-berinya anak kecil)” kata temannya si Kuda yang merangkulku.

               “hayang ditenggeul (mau ditonjonk?)” kata temannya yang merangkulku

               Ah aku semakin ketakutan, beruntung aku tidak kencing di celana.

               Suasana semakin tegang, si Kuda duduk di ranjang dan berkata …

Lihat selengkapnya