Salah-satu yang paling menyenangkan di pesantren ini di penghujung tahun adalah adanya Pekan Haflah Imtihan. Ya semacam wisuda untuk mereka kelas 3 Muallimien, dan yang seru adalah acara penyertanya yang menarik, dari mulai adanya penampilan seni, reuni akbar, dan …begitu banyak bazar, bazar makanan, bazar baju, sepatu dan sandal eiger dan masih banyak lagi. Dan tentunya ada panggung yang megah. Aku ingat, untuk belanja di bazar ini, uang kita harus ditukarkan dengan kupon uang berupa 1rb rupiah, 5rb rupiah, 10rb rupiah dan seterusnya, jadi kita belanja menggunakan kupon itu. Seru sekali pokoknya, apalagi punya uang, kalau tidak punya uang sih ya …kasian lah ya, liat orang lain jajan haha. Dan aku lebih sering melihat orang lain jajan dibandingkan aku sendiri yang jajan.
Menjelang Pekan Haflah Imtihan, dimeriahkan pula dengan berbagai macam lomba. Dari mulai lomba berbasis olahraga, sampai lomba berbasis ilmu pengetahuan pun dilombakan di sini. Ada lomba sepakbola, tenis meja, lomba pidato bahasa Arab, lomba ceramah, lomba tahsin Qur’an dan masih banyak lagi. Dan aku mewakili kelasku mengikuti, atau lebih tepatnya disuruh tanpa konfirmasi (ditunjuk tonggong) untuk mengikuti lomba bahasa Arab. Padahal aku sama sekali tidak bisa bahasa Arab, ya hanya bisa basaha Arab standar perkenalan saja.
Setiap santri wajib mengikuti minimal satu perlombaan, dan boleh mengikuti berbagai macam perlombaan sekaligus selama waktunya memungkinkan.
Digiringlah kami para peserta lomba bahasa pidato bahasa Arab, dari berbagai kelas, aku harus berlomba dengan mereka yang dari kelas 1 mts sampai kelas 3 muallimien… (wah curang fikirku) karena mereka pasti lebih lancar, lebih terbiasa, pembendaharaan kata bahasa Arabnya pasti sudah banyak. Sedangkan aku masih awam. Untung saja jauh-jauh hari kau sudah minta dibuatkan naskah pidato kepada Kak Purwa, meskipun dia malas memberikan harokat dan terjemah pada naskah pidato yang ia berikan padaku.
“Dengan ini perlombaan pidato Bahasa Arab dimulai” kata KH. Zulkifli yang merupakan pimpinan pesantren ini. Kemudian di sana, ada 3 juri dari asatidz yang akan menilai setiap peserta.
Aku yang tidak bisa terbiasa berbicara di depan umum, jangankan bahasa Arab …. Bahasa Indonesia dan sunda saja yang sudah lancar, pasti bakal mendadak tidak lancar jika harus tampil di depan banyak orang, apalagi ada UG di sana… ah matilah aku.
“silahkan peserta ke dua naik mimbar” seorang santri muallimien memanggil peserta kedua. Sedangkan aku berada di urutan ketiga, jantungku berdebar-debar dengan sangat kencang. Fikiranku sudah tidak karuan, keringat dingin menjalari seluruh tubuhku, aku seperti mau pingsan. Apa aku lari saja? Apakah tidak apa-apa jika aku kabur? Ah aku takut justru jadi terkenal karena kabur.