Dari depan ruang al-Hakim 2 berdiri dengan tegak dan gagah Gunung Guntur. Gunung berapi yang unik dan begitu indah dari kejauhan, tidak seperti gunung kebanyakan yang berwarna hijau, gunung Guntur saat itu berwarna coklat cerah …seperti sebuah tumpukan gunung pasir raksasa yang indah. Gersang memang, tapi dari kejauhan ia begitu indah nan elegan.
Memperhatikan gunung Guntur dari balkon al-Hakim 2 membuat kerinduanku pada banyak hal menjadi tumbuh tiba-tiba. Juga pada Iki yang sudah lama tidak aku balas suratnya. Bukan karena aku tidak rindu atau tidak mau, aku sangat rindu dengannya, sekarang sudah masuk di penghujung bulan Februari 2008. Tapi, dengan kedekatanku dengan sahabatku di ruangan ini aku takut ketahuan sedang membaca atau sedang menulis surat-surat dari Iki. Karena kalau ketahuan, sudahlah ….fikiranku, aku pasti kehilangan Iki. Jika Iki tahu aku yang mana pastilah ia tak mau lagi berkirim surat denganku.
Saat aku sedang nongkrong depan balkon al-Hakim 2 dengan geng The Poker di hari Jumat sore. Dari kejauhan beberapa orang terlihat memasuki gerbang asrama RG dengan membawa tas eiger besar digendong dan beberapa ikat bunga. Kuperhatikan ternyata itu si Kak Empur dari al-Hakim 3 dengan teman seangkatannya. Dengan wajah yang kelelahan tapi masih melempar senyum kepada orang-orang yang menyapanya di asrama.
Si Kak Empur pun naik ke gedung Utsman, saat sampai di balkon al-Hakim, si Sissoko bertanya ke Kak Empur…
“darimana kak?”
“dari Gunung Guntur Ko”
Wah kita pun antusias langsung melirik ke si Kak Empur.
“baru pulang kak?” tanya si Akbar
“Iya bar.. mau ini?” kak Empur menawarkan sebuah bunga.
“bunga apa ini teh kak?” aku bertanya karena benar-benar penasaran.
“Ini bunga Edelweis….” Kata Kak Empur, aku baru mendengar pertamakali nama bunga tersebut.
“konon katanya ini adalah bunga keabadian, lambang cinta abadi …hahaha” si Kak Empur menjelaskan. Sebuah bunga putih digenggamnya, dan diberikan sedikit kepada anak-anak di ruang al-Hakim 2. Aku antusias menerimanya dan kegirangan. Aku langsung teringat Iki tiba-tiba saja, ingin sekali aku memberikan bunga itu padanya. Tapi dalam hatiku, ini pemberian dari orang lain… sepertinya aku ingin mengambil sendiri bunga itu lalu kuberikan pada Iki.
Suatu malam ketika kami sedang berkumpul dan tertawa-tawa sambil bermain poker, aku kemudian berinisiatif untuk memulai obrolan ...
“Hei barudak ...bagaimana kalau kita muncak?” tanyaku ...
“wah ...ka Gunung Guntur Sen? Tanya si Sissoko yang antusias
“hayu hayu ...” saut si Adam dengan antusias sambil mengatur formasi kartu pokernya.
“kamu gimana ki?” tanya Sissoko ke si Rifki.
“hayu we kumaha ramena (gimana ramenya aja)” si Rifki memang nothing to lose orangnya.
“urang mah sieun ah (aku mah takut)” kata si Akbar, santri baru yang penakut.
“Kenapa bar?” tanyaku.
“Sieun aya maung (takut ada harimau)” katanya.
Kita pun semua tertawa, melihat ekspresi si Akbar.
“Ah aslina urang mah (asli aku mah)” ternyata si Akbar serius takut. Tapi itu hanya menambah tawa kami semakin kencang.
“hayu lah ikut bar gak akan ada maung da ...” kataku merayu nya. Antara ambisiku untuk naik gunung, dan keinginanku mengambil edelweis untuk Iki.
“iya bar ...daek didieu dua an jeng si Helmy (mau kamu berdua dengan si Helmy?) ?” kata si Adam. Si Helmy ini agak kemayu... entah hanya gimmick, atau betul-betul dari dalam hatinya aku tidak tahu... tapi dia seringkali memakai baju berwarna pink, memakai bedak, pencuci wajah dan lain-lain. Yang pada waktu itu tidak umum laki-laki memakai itu, aku pun paling hanya memakai haslin seger snow yang wadahnya berwarna pink, waktu itu harganya sekitar 2.500 an.
“ah embung ,.... enya enya ngilu ah ...(gak mau, ikut aja)” kata si Akbar. Kami pun tertawa melihat ekspresinya.
Sebetulnya ada 1 lagi teman kita yang tidak ikut dari al-Hakim 2, yaitu si ustadz Hilman orang Cipacing itu, namun dia tidak masuk itungan karena dia jarang ada di ruangan. Ia sibuk dengan komunitas ‘orang-orang sholeh’ nya. Pasti dia ketika diajak pun tidak mau, karena dia tidak mau sibuk dengan urusan duniawi yang fana ini hehe.
Setelah kita bertanya-tanya kepada si Kak empur mengenai jalur pendakian dan peralatan apa saja yang perlu dibawa, akhirnya kita pun sepakat untuk pergi ke Gunung Guntur pada hari Jum’at tanggal 07 Maret 2008. Kami pun punya waktu kurang lebih 1 minggu untuk mempersiapkan segalanya. Karena ini untuk pertama kalinya dalam hidup kami personel al-Hakim 2 untuk naik Gunung.
Meski kami tidak tahu bagaimana rasanya naik gunung itu, namun aku merasa sangat sangat antusias dan tidak sabar untuk menunggu hari itu tiba. Mungkin selain karena penasaran dengan keindahan gunungnya, aku punya motivasi lebih dengan ingin membawa sedikit bunga edelweis dari sana (meskipun sebetulnya tidak boleh) karena dilarang oleh pencinta alam dan undang-undang. Tapi aku hanya berniat membawa sedikit dan menghadiahkannya untuk Iki.
Jum’at 7 Maret 2008, hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Jam 05.30 kami sudah bersiap bergegas untuk pergi. Kami berangkat dengan nekad ber-5 tanpa seorang senior. Kami dari al-Hakim 2 yang baru kelas 2 Mts... usia kami baru sekitar 14 tahun. Avisena, Adam, Akbar, Sissoko dan Rifki.
“cek pakaian lengkap?” kata si Adam memimpin rombongan sebelum berangkat.
“piasu kecil?”
“aman” jawab kami sambil mengecek peralatan.
“panci kecil?”
“aman”
“korek dan bensin?”
“aman”
“obat-obatan”
“aman”
“oke kalau sudah siap semua, kita berdo’a dulu terus berangkat... berdo’a dimulai”
Kami pun menundukkan kepala dan berdo’a untuk keselamatan bersama. Ada rasa antusias, tegang dan bahagia campur aduk.
“Bar mana sepatunya?” kata si Rifki ke si Akbar.
“gak ada, sepatu sekolahnya licin dipake ke gunung mah” jawabnya.
Akbar hanya punya sepatu vans yang sedang ngetrend saat itu, dan memang tidak cocok dipakai ke gunung.
“pake sandal we urang mah (saya pakai sandal aja)” jawabnya sambil senyum.
“wah bahaya atuh ...takut lecet” kata si Adam.
“gapapa kuat hayu berangkat” kata si Akbar.
Aku jujur agak khawatir, karena memang pasti tidak enak perjalanan yang cukup jauh ...untuk perjalanan ke dari pesantren ke Pos 1 Gunung Guntur saja kita harus berjalan kurang lebih 6-8 km, ya kurang lebih 1-2 jam, tergantung kecepatan jalan kita. Karena kita tidak naik kendaraan apapu, dan memang tidak ada kendaraan umum yang menuju ke sana.
Pukul 05.51 kita berangkat keluar dari Pesantren ...udara yang sangat segar ...sawah yang membentang sejauh mata memandang ...hanya ada satu bangunan yaitu rumah KH.Zulkifli bersama kebun tomatnya ...kita rasakan pagi itu Garut selalu penuh dengan embun pagi yang sangat segar juga masih diselimuti sedikit kabut... apakah hari ini Garut masih sering ada embun dan kabut? Semoga masih terjaga Garutku.
Kita berlima berjalan keluar ...dan di kelas 2 Mts ini kita meskipun diawasi oleh asatidz killer, tapi kita cuek saja dan tidak membuat surat izin keluar pesantren. Kami mungkin usia semuda itu malas dengan segala macam formalitas yang menjenuhkan ...masa main keluar pesantren saja harus ada surat izin, dan belum tentu diizinkan, hah ribet sekali fikir kami saat itu, maka kami dengan santainya melenggang keluar asrama untuk bercengkerama dengan Gunung Guntur.
Kami pun sudah berjalan cukup jauh dan bangunan pesantren dari jarak jauh terlihat mengecil, pesantren dengan cat berwarna hijau memanjang ...pesantren 2 lantai yang kelihatan kecil dari jarak jauh...pesantren yang aku sayangi. Kami pun mengambil jalan pintas mengikuti arahan dari Kak Empur dari al-Hakim 3. Memasuki gang-gang ...melewati sawah-sawah ...kemudian melewati sungai-sungai... percaya atau tidak...saat itu banyak sekali sungai yang masih berisi banyak ikan... sungai yang sangat jernih ...kondisi alam masih sangat terjaga ..ikan berwarna orange, hitam, kuning, merah masih banyak terlihat di dekats sawah menuju kawasan cipanas.... kami pun melewati kawasan pemandian cipanas yang terkenal itu... waktu itu belum ada indomaret, belum ada alfamart yang seramai sekarang ...penginapan masih lengang dan jalanan masih jelek ...tapi hal itu mengasyikkan ..karena jalanan tidak bising dengan lalu lalang motor ... kalau hari ini ada jalan baru bypass jl Jend.Ibrahiem Adjie... dulu jalan itu adalah sawah sejauh mata memandang...
Gunung Guntur pun semakin dekat dan semakin besar dari pelupuk mata kami. Kami semakin antusias dan ingin segara sampai ke puncaknya.
Setelah melewati rumah penduduk dan pesawahan kami pun kemudian memasuki kawasan nol meter nya Gunung Guntur mungkin. Karena di kaki Gunung Guntur, dan tak seindah dari kejauhan... dari dekat tidak semulus dari jauh... ternyata banyak sekali galian semacam cakaran di dinding-dinding Gunung Guntur .. dan seringkali truk-truk membawa batu lalu lalang di kaki Gunung Guntur... sekitar jam 8 an .. sudah mulai terasa panas matahari ...meski belum menyengat ... mungkin karena cukup gersang ... jadi kita sudah merasa panas... ditambah langka sekali ada pohon di sana .. kita pun menuju ke jalur mata air di Curug Citiis ... kami pun sudah mempersiapkan sebuah kompan kosong/ jerigen bekas minyak untuk diisi air minum. Bahkan jerigen itu sendiri seringkali kami pakai di asrama, karena waktu itu belum musim dispenser dan galon. Nanti ketika kami baru lulus baru ada dispenser di asrama.
Setelah berjalan kurang lebih 2 jam lebih... kami pun beristirahat di pos 1... dan ternyata kami pun merasakan untuk pertama kali dalam hidup ternyata naik gunung itu tak semudah itu ya ...baru pos 1 saja kami sudah bermandikan keringat ... dan yang paling kecapean di antara kami adalah si Akbar...karena fisiknya paling payah di antara kami, dia juga jarang berolahraga...ditambah memakai sandal pula. Sendalnya sendal capit, bukan sendal eiger...maka ketika berjalan di atas bebatuan, pasti terasa sekali batunya di kaki, karena sendalnya tipis.
Setelah beristirahat di pos 1 selama 10 menit, kami pun melanjutkan perjalanan ...nah seingatku perjalanan dari pos 1 ke pos selanjutnya itu berada di jalur menuju curug citiis, seperti namanya ...memang tiis (dingin) udaranya ..sudah mulai sejuk dan tidak gersang lagi... pohon-pohon besar menjulang tinggi...kulihat di salah-satu pohon ada sarang raksasa seperti sarang lebah madu.
“ko ulah ko ...!” si Adam berteriak ke Sissoko yang sedang iseng melempari sarang itu.
“heeh si Sissoko mah...” sambung si Akbar yang terlihat ketakutan.
“kumaha mun aya tawon ngudag (bagaimana kalau ada tawon ngejar)” kata si Akbar yang terlihat kesal..
“hehehe sorry sorry bar ...” kata sissoko sambil nyengir. Kulit hitam gigi putih.