Setelah kejadian pentas seni itu, konflik tidak juga selesai. Tapi badai pasti berlalu… emosi pasti reda pula. Maka setelah situasi di angkatan kami sudah mulai mereda, disepakatilah untuk diadakan sebuah rapat yang intinya untuk ishlah, perdamaian di antara kedua pihak.
Disepakatilah untuk bertemu pada hari senin tanggal 19 Mei 2008 pukul 13.30 sampai dengan selesai di kelas luar lantai 2, kelas luar adalah kelas yang biasa dipakai untuk kelas 3 Mts ke atas ….maksud kelas luar, ia harus keluar dulu gerbang utama pesantren, tapi masih dekat dengan asrama RG, hanya saja akses gerbang ke kelas luar dari asrama RG ditutup permanen, karena banyaknya santri yang kabur ke asrama saat pelajaran berlangsung. Kelas luar juga berkekatan dengan komplek rumah asatidz, kelas luar terdiri dari bangunan 2 lantai, dimana di depannya adalah sawah dan perkebunan …dari jauh ada gunung Guntur dan Gunung putri yang berdampingan seperti sepasang kekasih yang bahagia, jika gunung Guntur berwarna kecoklatan, Gunung putri berwarna hijau, mereka saling melengkapi satu sama lain.
“sen kenapa masih di sini? Nggak ikut rapat?” tanya si rifki
“nggak ah malu, nggak ada sendal” jawabku, seperti kalian ketahui ...sendal adalah barang yang sangat susah untuk awet di pesantren ini, karena mudah sekali hilang.
“ya udah… berangkat dulu ya …” kata si Rifki dan yang lainnya.
“ya sok …salam ke si Yesa” jawabku. Karena Yesa adalah salah-satu sahabatku, tapi dia tidak di asrama.
Lagipula, aku merasa bahwa aku tidak punya konflik apa-apa dengan UG kelas 2A Mts, ditambah tanpa kehadiranku pun tidak berpengaruh apa-apa. bahkan aku berani bertaruh, mereka tidak akan sadar dengan ketidakhadiranku, itu sudah biasa.
Selagi teman-teman seruanganku ikut rapat, aku memilih untuk tidur di ruangan, memang kata teman-temanku aku hebat masalah tidur. Mereka sering memanggilku si ‘Pelor’ artinya tiap ‘nempel’, langsung ‘molor’. Kalau di UG, mereka yang mudah tidur, apalagi tidur dalam kelas setahuku dijuluki ‘Ummi Naum’, artinya ibunya (Biangnya) tidur.
15.38 …terdengar suara ribut …ternyata itu adalah teman-temanku yang baru pulang dari rapat. Bersyukur bagiku terbangunkan oleh mereka, karena aku belum sholat ashar. Setelah aku wudhu dan sholat Ashar, aku kembali lagi ke ruangan.
“gimana hasilnya?” tanyaku pada anak-anak al-Hakim 2 yang sedang duduk santai di ruangan.
“yah kitu we sen (gitu aja)” jawab si Rifki.
“jadi sudah berdamai?” tanyaku.
“damai ujung-ujungnya mah”
“tapi …?” kataku
“ya gitu ..ribut dulu ke sana kemari …obrolan …susah diatur” kata si RIfki.
“oh gitu aja?” jawabku, semua terdiam.
“sabenerna ..tadi diabsen sen…” kata Sissoko.
“oh gitu…” jawabku.
“yang tidak hadir dicirian (ditandai)” kata si Adam menambahkan.
“ah tong nyingsieunan (jangan menakuti)” jawabku.
“nggak ketang” kata si Adam.
“tapi tadi dihinaan ,,, nama-nama yang diabsen” kata Si Akbar, yang sedang ganti baju.
“iya ..si Opik ..pas diabsen namanya, disebut BIMOLI” kata si Sissoko.
“apa itu teh artinya?” tanyaku.
“Bibir Monyong Lima Senti” jawab si Rifki.
“hah siapa yang menghina-hina itu?” tanyaku.
“Si Ragil dan gengnya …bercanda sih niatnya” jawab si rikfi.
“dan semua anak-anak tertawa” kata Sissoko.
“si Opik nya ada di sana”
“ada”
“terus sen …kamu juga dihina” kata Sissoko.
“hah …apa katanya?” tanyaku.
“pas nama kamu disebut …terus si Ragil teriak sama teman-temannya … CALUDIH !” kata Sissoko.
“sorry nya sen” kata Sissoko yang mungkin takut aku tersinggung…
“teu nanaon ko (gak apa-apa)” jawabku, yang kemudian kehilangan senyum.
“ada UG di sana?” tanyaku.