FULAN

prana sulaksana
Chapter #35

Bakso Mang Jono

Sekarang sudah bulan Oktober 2008, sudah sangat lama aku tidak mengirim satu pun surat kepada Iki. Tujuanku jelas, ‘aku ingin ia mengira bahwa aku adalah kakak kelas yang kemarin lulus Muallimien’. Tapi, di satu sisi puisi-puisiku menumpuk untuk Iki, dan Rinduku lebih menumpuk lagi untuk Iki. Tapi di satu sisi aku sadar, bahwa kalau aku buka identitasku, aku pun akan kehilangan Iki. Jadi aku sedang beradaptasi agar nanti tidak terlalu sakit jika tidak lagi berkomunikasi dengan Iki. Namun, rinduku bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah diatur. Ia meronta-ronta setiap hari, setiap jam, menit detik. Hingga aku akhirnya menyerah, ternyata rinduku lebih kuat daripada kuasaku atas diriku sendiri, rinduku nampaknya siap sakit di akhir cerita, dibandingkan harus menjalani hidup tanpa berkabar dengan Iki.

               Akhirnya pada awal Oktober itu aku menulis sebuah surat untuk Iki. Oh iya sebelum aku menulis surat ini, aku sudah mencari-cari informasi tentang kabar Iki dan segala informasi tentang Iki dari beberapa temanku, kalau istilah sekarang mungkin stalking dan kepo-kepo. Aku juga tahu informasi yang cukup mengejutkan bahwa Iki tidak akan dilanjutkan jenjang Aliyah/Muallimien di pesantren ini, Iki sudah mendaftar di sebuah pesantren yang jauh lebih besar di Tasikmalaya. Hal ini jugalah yang mendorongku untuk menulis surat lagi pada Iki, aku memutuskan untuk menikmati momen-momen ini dengan Iki.

Nama yang tak bisa pergi dari Hatiku

 

Hai …aku masih hidup

Tadinya aku ingin pergi tanpa kata pamit

Agar perpisahan ini tidak begitu menyakitkan

Tapi… ini tahun terakhirku di Pesantren ini

Aku ingin menutup semuanya dengan indah

 

Iki yang selalu kurindukan

Bagaimana hari-harimu sekarang?

Masihkah kau bermain badminton dengan wajah cantik itu?

Masihkah memakai bawang merah saat masuk angin?

Masihkah ada tulisanmu yang merindukan alamatku?

 

Maafkan aku selama ini,

jika tak ada kabarnya dariku itu, menjadi sesuatu yang mengganggumu

Lihat selengkapnya