FULAN

prana sulaksana
Chapter #38

Semester Terakhir

Selamat datang 2009, waktu kami di MTs tinggal beberapa bulan lagi. Kami sibuk membicarakan mau dilanjutkan kemanakah sekolah kami. Aku sendiri sudah mengobrol dengan Nenek, sepertinya aku tidak akan dilanjutkan di Pesantren ini. Bukannya aku tidak betah, tapi aku kasihan melihat nenek yang kesulitan memberi bekal atau membayar uang SPP –ku, apalagi sudah tidak ada kakek. Ya meskipun paman dan bibi selalu membantuku, namun rasanya aku yang jadi malu sendiri. Nenek memang tidak pernah mengungkap kepadaku bagaimana sulitnya ekonomi, nenek juga selalu mendukung pendidikanku, dan mendorongku agar aku dilanjutkan Muallimien di sana. Aku betah di sini, tapi yang jadi pertimbanganku adalah biaya asrama yang tidak murah, ditambah jajanku, ditambah harus membeli buku atau kitab-kitab pelajaran yang mana itu tidak murah. Ah aku masih ingin di sini lebih lama bersama Iki, tapi di sisi lain …aku tak mau menyusahkan nenek-ku yang harus mengolah makanan dan menjualnya ke pasar setiap hari, dengan kondisi nenek yang semakin tua.

                Semester akhirku di pesantren ini harus kuakui bukanlah semester terbaik yang pernah ada di perjalananku di pesantren ini. Karena semester terakhir adalah semester yang cukup membosankan. Karena kita kelas 3 MTs sudah tidak dilibatkan dalam berbagai acara, karena kita harus fokus untuk mengikuti 3 Ujian. Pertama Ujian Nasional (UN), kedua Ujian Akhir Madrasah (UAM) dan ketiga Ujian Akhir Pesantren (UAP). Teman-temanku sudah sibuk mendaftar ke berbagai sekolah, ada juga yang berniat dilanjutkan di pesantren ini.

               Salah-satu yang membuat aku sangat bosan juga adalah The Poker harus bubar. Entah kenapa awalnya, aku seingatku selalu menjaga hubungan baik dengan si Rifki, si Adam, Si Sissoko dan si Akbar. Tapi lama kelamaan kita berpisah begitu saja. Si Akbar lebih dekat dengan geng si Ragil, meski si Ragil sering membully si Akbar. Sissoko lebih sering main keluar, entah ke warnet atau ke tempat PS bersama adik kelas atau kakak kelas. Si Rifki dan si Adam sibuk dengan tim nasyidnya bersama si Yesa dan kawan-kawan. Aku pun mencari ‘teman lain’ yang bisa aku ajak untuk menghabiskan waktuku di pesantren.

               “Sen mabit yuk” kata si Opik.

               “Hayu Pik…kela siap-siap heula nya” jawabku.

               Aku menghabiskan hampir sisa semester terakhir ini berdua saja dengan si Opik. Dan ketika ‘The Poker’melihat aku dekat dengan si Opik, mereka menyadari bahwa kita sudah mengambil ‘jalan’masing-masing. Sedih memang, tapi ya begitulang geng-geng ala ala anak sekolah pasti bubar, meski dengan urusan sepele. Tapi ketika kami berkumpul dengan angkatan, kita ngobrol seperti biasa saja. Meski aku sempat bertemu si Rifki di baso Mang Jono, aku dengan si Opik sedang ngebakso tiba-tiba ada si Rifki, si Adam dan seorang kaka kelas, si Jek. Itu adalah suasana yang sangat akward, karena biasa nya kami the poker makan-makan bersama, susah bersama. Kini dengan teman masing-masing. Seolah seorang suami dengan istri baru mereka (hahaha kesannya seperti itu). Tapi ‘geng-geng an’di RG tidak separah dan semasif UG, hampir di tiap angkatan selalu ada geng, bahkan ada banyak ‘geng’di UG. Aku juga heran, baik ketika MTs, Aliyah atau bahkan di tingkat kuliah selalu saja perempuan itu bikin geng dan membuat nama-nama lucu, seperti PIKACU, TELETUBIS, dan lain-lain.

Hilyas Tebleng dan Aibon

               Teman-temanku di kelas 3 MTs sangatlah beraneka ragam, salah-satu yang berkesan adalah beberapa memoriku dengan si Hilyas Tebleng. ya kau tidak salah baca, kami menyebutnya si Tebleng. bukan tanpa alasan, ia seringkali menghirup lem aibon diam-diam kemudian untuk beberapa saat dia seperti orang yang mabuk, kalau istilah sekarang itu ‘Ngelem’. Namun teblengnya si Hilyas itu random sekali dan sangatlah lucu, tiba-tiba dia memeluk teman-teman di ruanganku. Bahkan aku pernah dikejarnya waktu ia sedang tebleng.

               “kabur-kabur sen ..si Hilyas keur jadi tebleng na …”teriak si Beben yang sambil tertawa-tawa melihat kelakuan si Hilyas.

               Antara acting dan asli tebleng, aku tidak bisa membedakannya, karena kelakuannya random sekali ketika ia usai menghirup aibon itu.

               Suatu hari di Bulan Februari 2009, santri kelas 1-2 Mts dan santri kelas 1-2 Muallimien diliburkan selama kurang lebih 1-2 minggu. Karena kelas mereka akan dipakai oleh santri kelas 3 Mts dan santri kelas 3 Muallimien untuk Ujian.

               Saat-saat itu adalah hari kelaparan di pesantren, karena entah kenapa bisa berbarengan kami 1 ruangan di Bukhori 2 benar-benar tidak punya uang untuk sekedar jajan ke warung. Karena kami bosan untuk makan tempe bacem yang kadang masih mentah, atau bihun cabe …yang seringkali potongan cabe-nya sudah busuk.

               Aku dan si Tebleng sedang duduk dan melamun di balkon bawah Bukhori 2, memikirkan cara bagaimana untuk bisa jajan.

               Terbersitlah sebuah pemikiran liar si Tebleng …

               “Sen ..ngilu ah jeng urang yuk (ikut saya yuk)” pinta si Tebleng

               “kemana Yas?” tanyaku.

               “Hayu we lah pokokna mah” jawabnya sambil beranjak pergi

               “tungguan atuh yas” aku pun bergegas berlari menyusul si Hilyas.

               Kemudian si Hilyas memperlambat jalannya, aku pun bertanya padanya

               “kita mau kemana yas? Mau ngapain?” tanyaku.

               “Gini sen, mumpung kelas 1-2 Mts lagi pada pulang ke rumahnya… saya punya ide!”

               “Äpa idenya yas?” aku agak ragu.

Lihat selengkapnya