Perpisahan?
Aku tak mau bersekolah yang tidak ada Iki di dalamnya
Sedangkan kenangan,
Terus hidup di tiap sudut bangunan Pesantren ini
Bayangan itu akan terus menyiksaku
Setiap hari, setiap bulan, setiap semester
Tak akan ada lagi wajah yang kucari di balik hoas itu
Pagi yang indah itu akan menjadi abu
Lebih dingin dari kesepian manapun
Si perempuan berkerudung biru muda
Pernah menjadi alasanku untuk menatap dan menetap
Sekarang, Ia pula menjadi alasanku untuk tidak lagi menetap
Sekarang aku punya alasan pada hatiku
Untuk saatnya pulang
Akhir Mei 2009
Kukirim puisi ini untuk Iki, mungkin inilah puisi terakhir yang kukirimkan untuk Iki ketika kita masih bersama di Pesantren itu. Aku menulisnya sangat lama, tiap kata kufikirkan baik-baik. Karena esok lusa aku tau aku tidak akan menulis lagi untuknya. Puisiku itu terbuat dari airmata dan kenangan yang aku rangkum dalam tiap kata-nya.
“Bi ….ini nitip ya … yang terakhir”
“Kamana atuh jigah nu rek maot wae ….(mau kemana atuh kayak yang mau mati aja)”kata si Bibi menggodaku.
“eh iya Sena belum bilang ya ke Bibi, bi Sena gak akan Muallimien di sini, begitu juga Iki kayaknya… maaf ya bi kalau selama di sini Sena banyak merepotkan bibi hehe”
Si bibi terdiam sejenak …
“Nu bener?? Tong hereuy! (yang betul? Jangan becanda!)”
Si bibi langsung memegang dan mengusap-usap kepalaku, suaranya bergetar …
“sugan teh Jang sena teh bade didieu dugi lulus muallimien, bageur … ku bibi doakeun cing sholeh, cing sukses, cing jadi jelemanya… omat engke tong hilap ka bibi (Bibi Kira Sena tuh mau melanjutkan SMA di sini, sama bibi doakan semoga jadi anak sholeh, sukses, jangan lupa ke bibi)”
Aku pun tak kuat menahan airmata yang sedari tadi meronta-ronta ingin keluar … aku salim dan mencium tangan si bibi sebagai penghormatan terakhir untuknya….
Waktuku di pesantren ini tinggal beberapa hari lagi, tinggal menunggu perpisahan angkatanku, kemudian haflah imtihan.
2 hari setelah aku menulis surat untuk Iki, aku pun menerima balasan Iki dengan cepat, mungkin Iki pun faham bahwa aku pun akan segera meninggalkan pesantren ini, karena aku sudah bercerita di surat-suratku untuk Iki bahwa tahun ini adalah tahun terakhirku.
Kubuka suratnya pelan-pelan … dan rasanya berat sekali membukanya …
SURAT TERAKHIR
Akan sangat menyedihkan, jika aku tak menulis surat ini padamu
Fulan sahabatku,
Berat hatiku menulis puisi terakhir ini