FULAN

prana sulaksana
Chapter #42

Acara Perpisahan

Perpisahan?

Aku tak mau bersekolah yang tidak ada Iki di dalamnya

Sedangkan kenangan,

Terus hidup di tiap sudut bangunan Pesantren ini

 

Bayangan itu akan terus menyiksaku

Setiap hari, setiap bulan, setiap semester

Tak akan ada lagi wajah yang kucari di balik hoas itu

 

Pagi yang indah itu akan menjadi abu

Lebih dingin dari kesepian manapun

 

Si perempuan berkerudung biru muda

Pernah menjadi alasanku untuk menatap dan menetap

Sekarang, Ia pula menjadi alasanku untuk tidak lagi menetap

 

Sekarang aku punya alasan pada hatiku

Untuk saatnya pulang

 

                                                                                               Akhir Mei 2009

               Kukirim puisi ini untuk Iki, mungkin inilah puisi terakhir yang kukirimkan untuk Iki ketika kita masih bersama di Pesantren itu. Aku menulisnya sangat lama, tiap kata kufikirkan baik-baik. Karena esok lusa aku tau aku tidak akan menulis lagi untuknya. Puisiku itu terbuat dari airmata dan kenangan yang aku rangkum dalam tiap kata-nya.

               “Bi ….ini nitip ya … yang terakhir”

               “Kamana atuh jigah nu rek maot wae ….(mau kemana atuh kayak yang mau mati aja)”kata si Bibi menggodaku.

               “eh iya Sena belum bilang ya ke Bibi, bi Sena gak akan Muallimien di sini, begitu juga Iki kayaknya… maaf ya bi kalau selama di sini Sena banyak merepotkan bibi hehe”

               Si bibi terdiam sejenak …

               “Nu bener?? Tong hereuy! (yang betul? Jangan becanda!)”

               Si bibi langsung memegang dan mengusap-usap kepalaku, suaranya bergetar …

               “sugan teh Jang sena teh bade didieu dugi lulus muallimien, bageur … ku bibi doakeun cing sholeh, cing sukses, cing jadi jelemanya… omat engke tong hilap ka bibi (Bibi Kira Sena tuh mau melanjutkan SMA di sini, sama bibi doakan semoga jadi anak sholeh, sukses, jangan lupa ke bibi)”

               Aku pun tak kuat menahan airmata yang sedari tadi meronta-ronta ingin keluar … aku salim dan mencium tangan si bibi sebagai penghormatan terakhir untuknya….

               Waktuku di pesantren ini tinggal beberapa hari lagi, tinggal menunggu perpisahan angkatanku, kemudian haflah imtihan.

               2 hari setelah aku menulis surat untuk Iki, aku pun menerima balasan Iki dengan cepat, mungkin Iki pun faham bahwa aku pun akan segera meninggalkan pesantren ini, karena aku sudah bercerita di surat-suratku untuk Iki bahwa tahun ini adalah tahun terakhirku.

               Kubuka suratnya pelan-pelan … dan rasanya berat sekali membukanya …

 

 

                               SURAT TERAKHIR

Akan sangat menyedihkan, jika aku tak menulis surat  ini padamu

Fulan sahabatku,

Berat hatiku menulis puisi terakhir ini

Lihat selengkapnya