FULAN

prana sulaksana
Chapter #28

Nganjuk dan Culikong

               Aku adalah santri yang sangat sulit dalam mengelola keuangan. Untuk jajan aku diberi uang 100rb selama 1 bulan oleh nenek. Yang berarti jatah aku jajan per-hari adalah sekitar 3500-an. Itu tidak bisa dikatakan besar, tapi juga tidak bisa dikatakan kecil, karena aku tahu masih ada yang dikasih bekal lebih kecil dari itu, jadi aku harus bersyukur. Namun dengan budaya ‘neraktir’ di sini sebagai wujud dari solidaritas, membuat kita kesulitan untuk hemat apalagi menabung.

               Namun, bukanlah santri namanya kalau tidak bisa menemukan solusi untuk setiap permasalahan. Untuk mengatasi hasrat jajan kami yang tinggi, meski dengan uang jajan yang rendah adalah dengan cara nganjuk/berutang.

               Bu Salma, kami memanggilnya Bu Ama. Beliau sebetulnya adalah istri dari salah-satu asatidz di sini. Beliau berjualan gorengan, kadang di asrama, kadang di depan kelas berjualannya. Bu Ama adalah ibu bagi setiap santri yang tidak punya uang, aku jamin hampir 90% santri RG yang ada di pesantren ini pernah nganjuk kepada Bu Ama.

               Barang dagangannya hanya diwadahi dengan wadah berbentuk persegi panjang yang ditilami koran, isinya ada: bala-bala, cireng, pisang aroma, seblak, pempek, donat, cipuk. Dan masih banyak lagi. Dan yang paling legend dari barang dagangannya adalah seblak dan bala-bala yang biasanya diisi oleh air pempek, semacam dioplos oleh seorang santri. Dan itu ditiru oleh santri lainnya.

               Di kelas 2 Mts Semester 2 ini aku memberanikan diri untuk nganjuk ke Bu Ama ini, karena aku tak kuat menahan lapar di jam istirahat, apalagi melihat teman-temanku hampir semuanya nganjuk kepada Bu Ama.

               “Ki… anteur ka bu AMa….” Pintaku kepada si Rifki

               “mau ngapain?”

               “mau nganjuk …gimana ngomongnya?”

Lihat selengkapnya