Fullove Palace

Mahira Kana
Chapter #1

Prolog

RUMAH mungil itu setara gubuk tua, berdiri kokoh di tengah hutan pinus―melewati perbukitan dan sawah―sangat jauh dari pemukiman warga.

Tengah malam, erangan kesakitan seorang gadis bersahutan dengan amukan petir, terdengar dari dalam gubuk itu. Tubuh bermandikan peluh―menegang di atas ranjang kapuk beralaskan papan kayu. Tangannya tidak bisa berhenti memukul ranjang. Sesekali mencoba meraih apapun yang bisa diremasnya kuat-kuat. Tidak terhitung berapa kali dia berteriak minta ampun pada Tuhan. Namun kesakitan tidak kunjung menghilang.

"Taaaa ... aku ... nggak sanggup! Hhmmp!!"

Ada sepercik keinginan untuk memohon agar si dukun bayi menyuntikkan cairan apapun yang bisa membuatnya mati dalam sekejap. Namun keinginan itu tenggelam, seiring dengan rasa sakit yang menuntutnya untuk terus mengejan.

"Sedikit lagi! Kepalanya sudah terlihat. Ayo, Bi!"

Gadis yang berseru itu melongok berulang kali ke bawah selangkangannya. Menghujaninya dengan semangat untuk tidak menyerah. Gadis itu bukan dukun bayi, melainkan seorang mahasiswa dari jurusan kebidanan.

Titha berjuang mengumpulkan kepercayaan diri dengan mengingat semua hal yang sudah dipelajarinya. Praktik semacam ini sudah dia lakukan tiga puluh kali di lima semester. Sementara si gadis yang sedang merenggang nyawa ini adalah sahabat yang mendukungnya untuk lulus pendidikan diploma kebidanan. Tanpa kehadiran bidan senior, malam ini Titha membantu persalinan Sinby, teman masa kecilnya.

Menunggu pembukaan sempurna memakan waktu hampir dua puluh jam. Masih ada waktu untuk pergi ke klinik di tengah kota, tapi Sinby memilih tidak beranjak sejengkal pun dari gubuknya.

Dia terlalu keras kepala untuk dibujuk. Tekadnya kokoh untuk melahirkan bayinya dengan mengandalkan Titha seorang. Dia tahu, gadis bertubuh mungil ini tidak akan memungut biaya untuk persalinannya. Dia calon ibu yang miskin, juga seorang gadis yang setia pada prinsipnya untuk tidak mengemis pada siapapun.

"Bagus, Biiii! Tinggal sedikit lagi. Ayo!" Titha sudah bersiap mengambil si bayi saat kepala mungilnya terlihat sempurna.

"Aaarrgh!" Sinby mengejan untuk terakhir kalinya.

Tangis seorang bayi perempuan pun pecah.

Titha dengan hati-hati mengangkat tubuh si bayi dan meletakkannya di dekat jantung Sinby. Dada ibu muda itu seketika bergolak ketika merasakan bayi itu menggeliat di tubuhnya.

"Dia sempurna?" tanya Sinby tenang bersama kristal bening yang meluncur cepat dari ujung mata.

"Dia cantik, persis seperti kamu. Matanya. Hidungnya," sahut Titha, dan jika selintas terdengar nada getir di sana, Sinby tak mengindahkannya. Tidak masalah jika dia tidak bisa melihat bayi itu dengan matanya yang buta. Toh si jabang bayi itu sebenarnya tidak dia harapkan. Sinby hanya ingin menunaikan tugasnya saja, karena bayi itu ada dalam janinnya.

"Bi?" Titha segera memeriksa denyut nadi Sinby begitu sang ibu muda kehilangan kesadaran.

Kesunyian yang hadir di tengah-tengah mereka membuat Titha mengetahui keberadaan seorang pria yang berdiri tegak di ambang pintu. Pria itu baru saja datang. Napasnya memburu. Dengan gugup, dia mendekati Sinby dan bayi digendongan Titha.

"Dia ... tertidur." Titha menoleh dari balik bahu, memberitahu Orlen Williams. Lalu dia beranjak dari tempat, memberikan ruang untuk sang pria melihat kondisi wanitanya.

Sempat dirundung keraguan, Len akhirnya duduk di samping ranjang. Matanya menelusuri keadaan Sinby paska melahirkan dengan kedalaman hati yang tidak mampu dijangkau siapa pun.

Lihat selengkapnya