8 tahun yang lalu...
SINBY selalu menang dalam kompetisi menyanyi di event ulang tahun Polaris International School―tempatnya bersekolah. Tapi di tahun kedua, Sinby tidak bisa menyabet gelar itu kembali. Diskriminasi dan bullying menimpanya ketika dia buta paska kecelakaan. Orang-orang yang mendukungnya dulu jadi berpihak pada Ariel, adik tirinya.
Tanpa pengiring, peserta akan langsung didiskualifikasi. Seperti yang diduga Sinby, ada sabotase untuk dirinya. Teman yang awalnya bersedia membantu, tiba-tiba tidak datang di atas panggung bersamanya.
Ajang menyanyi yang digelar di dalam gedung auditorium itu disiarkan lewat radio sekolah, sehingga seluruh siswa dapat mendengarnya.
Di dalam kelas, Len yang sedang khusyuk membaca majalah Games in Asia, tertegun sejenak mendengar suara Sinby.
"Ada yang melakukan sabotase pada saya," tegas Sinby, "tolong beri saya kesempatan kedua!"
"Kehadiran pianis di sini adalah agar peserta bisa menyanyi dengan pitch yang tepat," jelas salah satu juri. "Pengiring juga bersinergi dengan penyanyi. Karena itu kami menyepakati aturan, bahwa satu peserta wajib memiliki satu pengiringnya sendiri. Menurut saya, kamu yang mempunyai pitch relatif akan kesulitan."
"Saya akan berusaha menemukan pitch saya meskipun tanpa pengiring. Saya bisa."
Para juri tampak berembuk Mereka akhirnya satu suara dan keputusan bersama itu diumumkan kembali oleh pemimpin juri.
"Jika ada diantara rekan-rekan di sini ataupun pengiring dari peserta lain, mau mendampingi kamu di atas panggung, kami akan memberikan kesempatan."
Mendadak seisi auditorium diisi oleh suara-suara lebah, saling berbisik melihat Sinby yang masih berdiri dengan angkuh dan percaya diri.
Len mencari sebuah kontak dan berhenti melihat nama Vic terpampang di layar ponselnya. Sempat ragu saat hendak melakukan panggilan, Len akhirnya bergegas keluar dari kelas menuju gedung auditorium.
"Kalau tidak ada satu pun rekan di ruangan ini yang bersedia mengiringi saya, ijinkan saya memohon satu hal," lanjut Sinby kali ini dengan suara yang lebih tenang dan mendalam. "Tolong beri saya kesempatan bukan sebagai peserta, tapi sebagai penyanyi yang ingin berbagi lewat suara hati dan musik."
Sampai di dalam auditorium, Len naik ke tribun teratas dan melihat Sinby dari sana.
"Saya akan menyanyikan satu lagu ini untuk seseorang. Dia sudah banyak membantu saya melewati banyak kesulitan karena keterbatasan yang saya miliki. Dia seperti pengganti kedua mata dan kaki saya. Andai saya bisa melihat, mungkin saya akan mencari dia diantara ratusan bangku penonton. Tapi ... " Sinby terdiam sejenak. Wajahnya tampak ragu dan berpikir, "dia mungkin tidak akan duduk diantara kalian. Dia lebih suka menyendiri."
Berdiri sambil menyandarkan kedua sikunya, Len tersenyum mendengar betapa benarnya situasi yang dikatakan gadis itu. Tak ada satu pun orang di sisi kanan dan kirinya. Tak ada yang bisa melihat keberadaan Len kecuali Sinby.
Keributan di auditorium juga tersiar di dalam gedung olahraga. Permainan basket berhenti secara ajaib saat salah satu pemainnya mematung di tengah lapangan.
"Vic!"
Pria yang dipanggil namanya itu tersentak. Tan Roger Wallington yang akrab disapa Rowl―sang ketua basket berparas tampan khas oriental menebak dengan yakin, konsentrasi Vic baru saja terpecah antara berada dalam permainan basket dan mendengar suara Sinby lewat pengeras suara.
"Kayaknya lo tertarik jadi pengiring cewek buta itu?" tanya Rowl yakin melipat tangan di dada.
"Namanya Sinby," sahut Vic ketus.
Rowl berjalan menghampiri Vic sambil meringis. "Ok. Latihan kita selesai. Lo bisa pergi sekarang."
"Aku nggak tertarik," sahut Vic menyadari Rowl bisa membaca pikirannya.
Vic melakukan shoot di depan ring. Bola basket terbang membelah udara dan masuk dengan indah tanpa berputar-putar di bibir ring.
"Pergi sekarang atau lo mau lihat Len dan Sinby akhirnya pacaran?" Rowl menembak lagi pikiran Vic tanpa segan.
"Hassh!" Vic melempar kuat bola basket di tangannya kuat-kuat dan diterima sempurna oleh rekannya.