Fullove Palace

Mahira Kana
Chapter #4

Chapter 3

FERRY membuka atap mobil sport miliknya. Dia tahu Orlen Williams―rekan setim-nya yang paling solid saat mereka mengikuti tournament game online tingkat dunia lima tahun lalu―adalah penggemar angin, kecuali angin topan dan kawan-kawannya.

Ferry Barata Hiroshi. Pria halfblood Indonesia dan Jepang ini baru merayakan ulang tahunnya yang ke tiga puluh. Dia pulang ke Indonesia seminggu yang lalu dan langsung mendapat pekerjaan di perusahaan game animasi di Jakarta.

Ferry sengaja menjemput Len setelah sahabatnya itu memberinya kabar lewat email, bahwa dia akan pulang ke Indonesia setelah puas berkelana dengan kameranya ke tempat-tempat eksotis di belahan dunia.

"Sudah ketemu adikmu? Gimana kabarnya? Masih songong seperti waktu SMA dulu?" tanya Ferry.

"Di Perancis dia tinggal sendirian dan aku yakin dia sudah belajar banyak hal. Tapi satu yang nggak akan berubah. Dia benci aku."

Diam-diam Ferry menatap Len iba. Hening sesaat.

"Kapan-kapan ajak aku ketemu dia. Siapa tahu kita bisa akrab dan bisnis bareng," sambung Ferry mencairkan suasana. "You knowPalace Interprise. Aku sempat ingin melamar di perusahaan keluargamu itu. Karena ternyata, tidak cuma industri ritel kalian yang famous. Kalian juga aktif mensponsori industri game online berbasis VR. Wow! Tapi sayang, Om kamu ditangkap polisi pagi ini.

"Omku?" Len tidak tahu kabar terbaru mengenai Palace Interprise. Lebih tepatnya, dia tidak peduli. Meski dia pecinta game, Len tidak ingin terlibat di dalam perusahaannya, yang sedang gencar menjadi sponsor perusahaan game virtual reality terutama di Asia.

Ferry memberitahunya bahwa Om-nya, Adam Herlambang―menjadi tersangka dalam kasus kriminal pencucian uang. Kabar terbaru, Adam juga telah menjual pulau privat keluarga mereka demi membangun usaha yang ternyata fiktif.

"Siapa lagi pengganti Adam Herlambang sebagai President Director kalau bukan adikmu? I'm sure he needed a genius like me to help him buat bikin game yang menarik dan nggak ketinggalan jaman," sambung Ferry.

"Masih berniat meneruskan cita-cita adikmu sebagai game maker?" tanya Len.

"Absolutely. Kamu harus lihat bagaimana aku bisa mengubah dunia dengan game ciptaanku! As soon as possible," jawab Ferry.

"Pasti," respon Len sungguh-sungguh.

"Ohya, malam ini aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

Len menoleh sambil menunjuk tumpukan barang di bangku belakang dengan jempolnya. "Ada kaitannya sama karung-karung besar di sana? "

Ferry membuang napas malas. "Mamaku beli stan di bazar nanti malam. Semua karung itu isinya pakaian. Jadi siang ini, kita kesana, karena aku harus kasih semua ini ke Bu Rita. Dia asisten mamaku. Tapi, kalau kamu capek, aku bisa antar kamu ke apartemen."

"Nggak masalah, asal malam ini kamu traktir aku makan!" canda Len.

"My pleasure!" jawab Ferry lalu menyalakan mini TV. One Ok Rock―Cry Out memberi energi baru untuk Ferry, namun tidak untuk Len. Andai dia bisa mengikuti kenyamanan sahabatnya.

Lelah memikirkan banyak hal, Len mulai merasakan kedua matanya berat. Tangan tak sanggup bergerak untuk sekedar memijat pelipis. Tidur adalah obat paling ampuh untuk membunuh ion-ion negatif dalam pikiran. Tapi diantara semua hal yang bersarang di dalam kepalanya, mengkhawatirkan Vic adalah hal yang paling sulit dicungkilnya dari dalam pikiran.

Apa dia baik-baik saja?

x x x

Pintu rumah joglo kediaman almarhum Bahuwirya Herlambang masih kokoh seperti dulu. Vic tidak melihat banyak perbedaan dari istana bergaya etnik modern milik sang kakek, ayah dari ibunya―kecuali area taman yang ditumbuhi lebih banyak ragam bunga. Pasti sang ibu sudah menghabiskan banyak waktu untuk bercocok tanam setelah tidak lagi memegang jabatan Vice President―membantu Adam Herlambang mengurus Palace Interprise.

Keluar dari mobil, Vic berjalan dengan wajah letih memasuki rumahnya. Tujuh tahun sudah dia tidak melangkahkan kaki ke sana. Tidak untuk hari ulang tahun, atau bahkan saat hari besar dan tahun baru. Selain kesibukannya melanjutkan study di jurusan bisnis dan bekerja di perusahaan ritel sang ayah di Paris, ada sesuatu yang membuatnya enggan menjenguk Kanya ibunya.

Sebagai anak, dia hanya menunjukkan perhatiannya dengan menghubungi ibunya sesering mungkin. Mereka bicara banyak hal, seperti berdiskusi tentang pekerjaan. Vic akan setia meladeni ibunya―kecuali untuk satu hal. Bicara tentang Amy.

Vic menaiki tangga utama begitu wanita sepuh yang sudah tinggal di kediaman Bahuwirya Herlambang hampir dua puluh tahun lebih, Bibi Sumiati―menyambutnya.

"Lama aku nggak pulang, tapi kenapa Bibi masih terlihat sama saja?" goda Vic sepanjang perjalanan menuju kamar Kanya.

"Pitung taun ora mulih kuwi nyapo to le? Kamu pasti sudah lupa dengan wajah Bibi, ya to? Makanya Bibi kelihatan sama saja. Coba dilihat baik-baik! Kerutan Bibi iki akeh. Kalau bukan Amy yang rajin merawat Bibi, mungkin kowe ora iso melihat Bibi sekarang dengan keadaan sehat walafiat," jawab Bi Sumi dengan kombinasi logat Suroboyo dan bahasa Indonesia.

Senyum Vic perlahan lenyap. Haruskah nama Amy yang selalu dia dengar dengan segala jasa yang dilakukan gadis itu untuk keluarganya?

"Amy ..." gumam Vic. Anyway, bagaimana rupa gadis itu sekarang? Terakhir kali mereka bertemu saat Amy mengantar kepergiannya ke Perancis dengan seragam putih abu-abu. Wajahnya sendu, kusut dan rambut panjangnya berantakan―ala-ala Dian Sastro as Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta 1.

Vic tertawa kecil mengingat sosok Amy kala itu. Dia tidak sadar jika gelagatnya terus diamati oleh wanita yang sudah mengasuhnya sejak bayi. Bi Sumi tersenyum penuh arti. Mata sepuhnya terlalu canggih untuk ditipu. Mata yang mampu menelanjangi segala hal tentang anak mereka.

Memasuki kamar Kanya, Vic melihat wanita dengan rambut panjang tergerai menutupi punggung―duduk di kursi roda―memandang teras taman dari balik pintu kaca.

Wanita itu menoleh dari balik bahunya. Matanya menatap tak percaya sosok putra bungsunya berdiri di depan pintu.

Vic mulai mendekat, mencium tangan wanita itu dan memberinya pelukan hangat.

Kanya menangis pelan dari balik bahu Vic. Ditepuknya beberapa kali punggung anaknya, lalu memisahkan diri segera demi memandangi wajah putranya lekat-lekat.

"Kenapa tidak kasih kabar dulu sama Mama kalau kamu mau pulang? Sengaja mau buat Mama kena serangan jantung?"

"I'm succed to surprice you, Mom," jawab Vic tengil.

"Len bagaimana? Dia juga ikut pulang?"

"Ya. Kita satu pesawat. Cuma dia masih ada acara lain, jadi mungkin besok, dia akan jenguk Mom."

Kanya mendesah berat. "Yasudah. Mama lega kalau kalian pulang sama-sama."

Sesaat mengelilingi kamar sang ibu, Vic menemukan segelas air putih yang masih utuh dan pil di atas saurce. Sambil memakan apel di genggaman, Vic duduk di list jendela dan bertanya pada Kanya.

"Kenapa nggak diminum, Mom?" pancing Vic.

"Oh ... Mama mau menunggu Amy dulu. Tadi dia pamit pergi ke pesta ulang tahun teman SMA-nya, tapi sampai larut malam begini dia belum pulang?" Kanya menengok dari balik teras kamar.

Vic tertawa pelan atas benarnya jawaban yang melayang di atas kepalanya tadi. Hanya karena Amy.

Dari arah dapur, Bi Sumi melihat Amy berlari memasuki ruang tamu dengan menjinjing gaun dan menenteng sepasang high heels nya naik ke tangga.

Lihat selengkapnya