JIKA masih hidup, wajah Len mungkin akan sama persis dengan pria asing di depannya ini. Alisnya berwarna cokelat selaras dengan iris matanya. Mata yang kecil memandang teduh seperti malaikat yang tidak bisa marah. Tubuhnya akan setinggi dan setegap pria ini. Rambutnya mungkin terlalu panjang. Andai Sinby bisa menyentuhnya sehelai saja, mungkin dia akan merasakan tekstur rambut yang sama dengan milik Len.
Pria itu menatapnya asing, tapi makin lama, tatapan itu berubah intens dan dalam, seolah-olah mereka memang saling mengenal.
Bertahun-tahun berlalu, namun tak sedikit pun Len melupakan apapun yang berkaitan dengan gadis yang menjadi wanita yang mewarnai masa SMA-nya.
Len hanya tidak tahu dua hal: bagaimana Sinby yang buta, berjalan tanpa tongkat dan bagaimana Sinby menatap kedua matanya. Dan, saat inilah Tuhan menjawab dua hal itu.
Tujuh tahun berlalu dan sekarang Sinby sudah mendapat penglihatannya kembali.
Len maju selangkah. Saat keinginan untuk memanggil Sinby memuncak, ucapan Vic saat di Bandara tiba-tiba terngiang di ingatan Len.
"Sinby hanya tahu namamu, Orlen Williams, pria brengsek yang memutuskan meninggalkan dia dalam keadaan hamil karena perbuatan kakak tirinya. Biar dia menganggap kamu sudah mati."
Ingatan itu datang di saat Len berusaha mengembalikan kewarasannya untuk menghadapi Sinby. Gadis itu tidak boleh tahu kalau dia masih hidup. Itulah kesepakatan yang dijalaninya dengan Vic, meski hanya tersirat.
"Loh, Mbak yang tadi jaga stan-nya bu Rita, kan?" tegur Ferry.
Len bersyukur karena game developer itu berhasil memutus interaksi intimnya dengan Sinby yang hampir tak terkendali.
"Kamu kenal sama cewek ini?" bisik Ferry melihat Sinby melempar tatapan ala-ala mantan kekasih pada Len.
Len menggeleng pelan. Dipandang lurus-lurus oleh Sinby bagai candu yang tak bisa membuatnya berpaling.
"Sepertinya nona ini salah orang." Len menjawab Ferry.
"Ya?" sahut Sinby masih dengan wajah linglung.
"Sepertinya Anda salah orang," ulang Len lebih meyakinkan. Kali ini menatap Sinby.
Suara itu milik Len. Tanpa sadar Sinby mengambil satu langkah mundur.
"Mbak kelihatan pucat. Mbak sakit? Ada yang bisa kami bantu?" tanya Ferry cemas.
Berbeda dengan Ferry yang bisa menunjukkan rasa empatinya, Len justru berusaha menutupinya, tapi nyaris tidak berhasil. Yang dikatakan Ferry benar. Sinby seperti mayat berjalan. Apa yang membuat gadis itu takut? Apa dia sedang menghindari seseorang? Len khawatir.
"Sinbiii!"
Mendengar suara Titha, Sinby langsung menoleh ke belakang. Gadis mungil itu terlihat berlari menghampirinya. Begitu sampai, Sinby langsung memeluk kuat Titha.
Dari balik bahu Sinby, Titha memelototi Len seperti melihat hantu. Begitupun Len yang sempat terpaku sejenak, lalu mengalihkan pandangan dengan kaku.
Senang bisa ketemu kamu lagi, Titha, gumam Len dalam hati. Sedikit menyesal karena pertemuan mereka harus sedingin ini, Len berharap Titha bisa membaca pikirannya.
Mereka tidak boleh terlihat saling mengenal di depan Sinby dan Ferry. Karena itu Len terpaksa mengunci rapat mulutnya dan menatap Titha tajam dan dalam.
Titha tampak kesulitan menghadapi rasa gugupnya sendiri. Dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Bersandiwara di depan sahabatnya dengan pura-pura tidak mengenal Len.
Seandainya Len membiarkan Sinby tahu bahwa selama tujuh tahun dia tinggal di California, reuni mengejutkan mereka tidak akan sebeku ini.
Sementara itu, Ferry merasa janggal dengan sikap Sinby. Mungkinkah mereka sebenarnya saling mengenal?
"Bi, muka kamu pucat banget. Kamu sakit?"
Sinby buru-buru menggeleng. "Tadi ... ada copet."
Titha memekik histeris. "Copet, Bi! Terus dompet kamu hilang? Atau handphone? Kamu sendiri nggak papa, kan?"
"Ng ... enggak, Ta. Aku ketemu copet, bukan dicopet." Sinby menunjukkan dompet dan handphone-nya di depan Titha. Lalu tangannya menggelayut di lengan si kecil, memberi kode untuk pamit pada dua pria di depan mereka.
Sinby mengangguk samar ke arah Ferry dan Len. Kedua pria itu membalas dengan sikap yang sama dan membiarkan dua gadis itu berjalan menjauh.
Sampai di stan, Sinby mencengkram kuat lengan Titha dan menatap gadis itu lurus-lurus.
"Ta, laki-laki yang tadi. Suaranya .... "
Titha mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Suaranya? Kenapa?"
"Kamu nggak menyembunyikan sesuatu dari aku kan, Ta? Len ... apa dia benar-benar sudah meninggal?"
"Len? Dia sudah meninggal, Bi. Waktu kamu melahirkan Aracelly, Orion berhasil menemukan tempat persembunyian kamu dan dia mau mengambil Aracelly dan juga kamu. Lalu Vic dan Len datang untuk mencegah Orion. Mereka berkelahi dan Len jatuh ke jurang. Itu yang aku dengar dari Vic."
Tangan Sinby terkepal erat di balik jaketnya. Berusaha tegar. Berusaha membuang jauh perasaan rindu yang tiba-tiba mencabik dadanya.
Titha hampir frustasi menutupi hal yang sebenarnya tentang Len pada sahabatnya. Dia duduk di samping Sinby. Menunggu Sinby tenang.
Tak lama setelah itu, Sinby menegur Titha.
"Yaampun Ta, sorry, aku kelupaan! Tadi Sasi telepon. Katanya kamu mesti ke Klinik sekarang!"
"Ke Klinik? Sekarang?!" pekik Titha.
x x x
Kejadian malam ini menyisakan trauma yang membuat Sinby tidak bisa bangkit dari kesadaran. Bahkan saat Titha merengek keras dan panik karena mesin mobil mereka tiba-tiba mati.
Seorang sukarelawan yang baru saja memeriksa keadaan mobil mungil Titha, baru saja keluar dari bangku kemudi.