FUTURAMA

MIURA
Chapter #1

MUSIM DINGIN HARI KEDUA

Jalanan ramai.

Langit cerah.

Butir-butir salju asyik berjatuhan.

Aku merapatkan jaket yang tebal dan beratnya bukan main, tapi anehnya tubuhku tetap saja menggigil. Langit musim dingin di hari pertama terlihat begitu menakjubkan, anak-anak dengan riang bermain dengan tumpukan salju yang sudah memenuhi teras rumah mereka. Boneka salju sudah menjadi karya tersendiri setiap musim dingin datang. Aku melangkah ringan sambil menikmati pemandangan, sesekali mengabadikan momen dengan kamera ponsel. Sungguh, diantara empat musim aku sangat menyukai musim ini.

Namaku Maza Sabita. Aku seorang pelajar. Usiaku dua puluh tahun. Tidak ada yang begitu spesial tentangku. Aku tak mudah bergaul, senang menghabiskan waktu sendirian, dan tidak juga sepopuler Oliv⎼artis kampus yang merangkap menjadi sahabatku. Hari ini aku sudah berjanji menemuinya di perpustakaan, kegiatan yang selalu kami lakukan di akhir pekan. Membaca buku dan berdiskusi tentang apa saja. Mungkin, lebih tepatnya bergosip.

“Sungguh kau membuatku menunggu hampir setengah jam, bahkan minuman yang kubawa telah habis.”

Oliv mengoceh menyambut kedatanganku, bahkan sebelum aku benar-benar duduk dengan baik di kursi perpustakaan. “Sepertinya kau sudah sangat rindu padaku yah? Sampai-sampai tak sabar menunggu.” Aku menggodanya sambil melepaskan jaket yang sedari tadi menyiksaku.

Ia tertawa hambar. “Lucu sekali,” katanya datar.

“Baiklah aku minta maaf.” Ujarku ringan. “Jadi hari ini apa yang ingin kau baca?”

“Hari ini aku tak ingin membaca apapun, entah kenapa mataku lelah hanya dengan melihat deretan buku itu.” Matanya menyoroti jejeran lemari yang ada di depan kami. Ia kemudian merogoh tas, mengeluarkan satu per satu isinya yang didominasi alat kecantikan.

“Nah ketemu!” ia menyodorkan dua lembar kertas bertuliskan ‘Art Exhibition on Winter’.

“Saat aku singgah membeli minuman di caffe samping perpustakaan, seorang laki-laki memberiku tiket ini, katanya daripada mubazir lebih baik dia memberikannya pada orang lain.” Aku menatapnya heran, mecoba menerka-nerka. “Yahh, kau mungkin berpikir kenapa aku menerimanya semudah itu, tapi seratus persen aku hanya berempati padanya,” Oliv berhenti sejenak, lalu menghembuskan nafas berat “Ia bilang ingin pergi bersama pacarnya tapi sayangnya si wanita mengalami kecelakaan saat berkendara, dan berakhir dengan kematian. Jadi aku menawarkannya padamu, siapa tahu kau tertarik untuk datang. Lumayan loh, gratis.”

***

Suhu hari ini lebih dingin dibandingkan kemarin, orang yang berlalu lalang di jalanan pun tidak ramai. Aku tebak orang-orang ini pasti sedang menghabiskan waktu bersama keluarga, memasang kayu bakar di dalam tungku rumah sambil bersantai menikmati kudapan musim dingin. Suasana yang terdengar sangat hangat, tapi itu tak berlaku untukku. Yah, bisa dikatakan sedari kecil aku sudah dibiasakan mandiri, setiap hari hanya ditemani oleh dengan Bibi Wats⎼asisten rumah tangga yang sudah bekerja untuk keluargaku kurang lebih sepuluh tahun. Ayah sibuk dengan relasi-relasi luar negerinya, sedangkan ibu telah meninggal saat aku berumur lima tahun. Tapi sudahlah aku tak ingin mempermasalahkan apapun saat ini, lagipula hidupku baik-baik-baik saja, meskipun keberuntungan hidupku tidak sehebat Oliv.

Berbicara tentang artis satu itu, dialah yang membuatku harus menembus dinginnya butiran salju hari ini. Memaksaku untuk menemaninya datang ke pameran seni.

Lihat selengkapnya