Setelah kesepakatan tak tertulis kemarin. Hari ini Hara pikir akan terjadi sesuatu antara dirinya dan Maryu. Nyatanya saat bertemupun, Maryu begitu berbeda dari yang kemarin ia berbicara dengannya. Kepribadian ganda Maryu masih terus membuatnya bertanya-tanya sampai tidak fokus membaca. Presentasinya ditertawakan seisi kelas karena kesalahan mengeja ‘menggunting’ menjadi ‘menguping’.
Bukannya malu, naluri Hara justru menuntun matanya menatap Maryu. Dia sama sekali tidak tertawa meskipun tampak lucu bagi yang lainnya. Mata yang sedang adu tatap dibuyarkan oleh Pak Winki yang menyuruhnya segera melanjutkan presentasi.
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Hara sengaja tidak keluar kelas cepat seperti biasa. Ia memilih diam menunggu waktunya berdua saja dengan Maryu. Biasanya Maryu adalah orang terakhir yang meninggalkan kelas karena memilih melanjutkan gamenya. Tidak ada alasan lain.
Rasa canggung menyelimuti tubuh Hara, tapi sepertinya tidak dengan Maryu. Bahkan mungkin dirinya tidak menyadari masih ada orang lain duduk diam di sana. Saking sunyinya, detak jarum jam terdengar begitu keras memecah keheningan di siang yang panas. Di luar masih terdengar suara-suara tawa namun di dalam kelas seperti berada pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
Sudah dua puluh menit berlalu. Masih sama.
“Katakan saja!” Suara Maryu memecah dinding es antara keduanya.
Hara cukup terkejut mengetahui Maryu menyadari keberadaannya sedari tadi. Benar-benar pengamat yang hebat.
“Aku hanya bingung. Setelah interaksi kita beberapa kali, kupikir kita menjadi akrab, atau setidaknya bertegur sapa. Tapi kau benar-benar bisa membuat keadaan seperti tidak terjadi apa-apa. Dan aku tak bisa.”
Maryu mem-pause gamenya untuk menjawab pertanyaan Hara. Tubuhnya berpindah posisi menjadi menghadap Hara yang berada di samping belakang kanannya.
“Jadi?”
“Jadi, apakah kau akan terus mengabaikanku?”
“Bukankah kau sendiri yang tidak suka terusik?”
“Benar. Tapi kali ini berbeda, bukankah kesepakatan kita serius? Setidaknya kau tunjukkan kita benar-benar partner kerja.”
“Justru kesepakatan kita yang serius tidak seharusnya kita terlihat bersama, mendadak pula. Kau tak ingat, Aldo kemarin curiga. Jika terjadi apa-apa nantinya, setidaknya namamu tidak ikut terseret. Mulai sekarang jangan merasa terbebani atau terus kau pikirkan mengapa aku begini. Diam saja. Itu sudah membantu.”
Setelah dicerna beberapa saat, perkataan Maryu ada benarnya. Kini Hara benar-benar tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Entah mengapa, perlakuan Maryu membuatnya frustrasi sendiri. Padahal sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah peduli dengan sesuatu yang menyangkut orang lain. Jangankan orang lain, untuk dirinya sendiri kadang tak peduli.