Asumsi yang hanya sekadar dugaan itu membuat Hara tidak tahan untuk menanyakan langsung kepada sumbernya untuk mengetahui kebenarannya. Setidaknya Hara bisa saja mengancam Maryu jika ia melihat Maryu terlibat berkelahian dengan Liu tadi pagi hingga membuat posisi Maryu tidak aman lagi dimata polisi.
Sebelum sampai di rumah Maryu, Hara sudah mendapati apa yang ia cari dalam perjalanannya. Maryu terlihat sibuk dengan ponselnya sambil langkahnya sedikit demi sedikit mulai memasuki gerbang rumahnya.
“MARYU?!” Teriak Hara membuat Maryu menoleh siapa yang sedang meneriaki namanya.
Maryu tanpa reaksi melanjutkan kembali perjuangannya membuka pintu rumah yang sedari tadi gagal. Setelah pintu berhasil terbuka, Maryu masuk seperti biasa tanpa menganggap Hara ada. Meskipun begitu, pintu rumah yang tidak ditutup kembali membuat Hara semangat bahwa Maryu mempersilahkan ia masuk dan menyetujui untuk menjawab semua pertanyaan yang ingin ia ajukan.
Tanpa berganti pakaian, Maryu terlihat begitu lelah langsung menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam sofa panjang di ujung ruangan. Matanya menutup seakan ia ingin terlelap.
Hara yang sudah mengambil duduknya seperti biasa - kursi samping pintu yang terbuka. Tidak berani mengusik Maryu yang bungkam.
“Bukan aku pelakunya.” Suara Maryu memecah keheningan akhirnya.
Kalimat itu tentu saja membuat Hara terkejut, persis seperti pertanyaan dalam otaknya akhirnya terjawab.
“Aku tidak akan percaya sampai kau menjelaskan dengan rinci segala sesuatu yang masuk akal.”
“Liu memarahiku karena aku mengambil ponselnya.”
“Buat apa?”
“Entahlah. Yang jelas aku merasa posisi Liu sedang tidak aman berada dalam grup Pejuang Nilai jadi aku ambil ponselnya dan kuhapus semua data terkait bisnis kita.”