SABTU, 28 AGUSTUS 2021.
18 : 00
Sebentar….
Nah, gak burem kan?
Itu apaan bang?
Itu gambar bukan kuah sop.
Mungkin orang awam atau kalian-kalian tidak ada efek apapun setelah melihat gambar ini. Sedangkan Koko, kekasihku terseksi luar dalam unyu-unyu wek-wek, ia mungkin akan sebal atau terparahnya akan berubah jadi saudaranya Godzilla.
Begini, dua tahun lalu ada sebuah pertandingan liga inggris ( premier league) dimana klub mempertemukan juara liga inggris empat kali berturut-turut dan klub gagal juara dua kali berturut-turut.
Yap. Arsenal vs Manchester City.
Malam itu, gue datang bersama dua teman bernama Bagas dan Rafi. Bagas adalah The Cityzen ( sebutan fan Manchester City ) sama kayak gue sedangkan Rafi adalah The Blues ( sebutan fan Chelsea ). Rafi mau ikut nobar karena yang gue ingat dia baru diputusin pacarnya gara-gara hutang bensin sudah sepekan tidak dibayar-bayar.
Bercanda.
Rafi putus dengan kekasihnya karena LDR. Gue yang mengetahui itu mengajak dia menghibur diri. Setiba disebuah kedai ramen yang menyelenggarakan nobar sederhana tersebut gue bersusah payah mencari meja karena suasana dalam kedai itu sudah hampir penuh. Bagas dan Rafi sudah mendapatkan tempat bersama fan Manchester City yang lain.
Tinggal gue yang kebingungan sendiri. Gue tak menyerah sampai akhirnya mendapatkan satu meja kecil, beda dari yang lain dengan dua bangku kosong. Gue bergegas duduk dan tak lama kemudian ada seorang perempuan sungguh manis luar biasa meminta izin duduk satu meja sama gue.
Perempuan bertubuh langsing, berambut panjang dengan poni hordeng dan berpakaian jersey ( seragam untuk pemain bola ) Arsenal berwarna merah dan putih.
“Aku numpang yah. Kelihatannya sudah penuh. Terlalu larut sore datangnya.”
Kalimat itu adalah pertama dalam pertemuan kala itu. Gue menatap ia sejenak tapi dalam. Menelusuri kedua bola matanya yang bulat sempurna dan gingsulnya yang menjadi ciri khas.
“Harusnya dari siang kali yah sudah disini.” Gue menimbrungi ucapannya.
Iya tertawa ringan. “Gak sekalian bawa kasur biar nginep.”
Gue juga menawarkan ia makan begitu waiters datang dengan buku catatan kecil di tangan kanannya. “Makan?”
Dia menerimanya dengan sangat ramah. “Boleh.”
“Saya ramen gorengnya yah. Pedas,” ucap gue.
“Aku juga ramen goreng. Pedas juga,” susul Koko.
Tiba-tiba mamang-mamang pelayan ini nyeletuk sebuah kalimat yang membuat gue dan Koko cukup salah tingkah.