BISA NGEBUT LAGI GAK BAWA MOTORNYA!!!!!
Koko teriak pas di belakang telinga yang membuat jantung gue latah kagak ketolongan. Teriakannya juga hampir bikin gue membawa dia ke rumah sakit.
“Aku takut jatuh kalo ngebut sambil bawa boncengan.” Gue menjelaskan.
“Jangan ngebut kayak Marquez juga kali. Kamu gak sehebat dia,” kata Koko tiba-tiba kedua tangannya memegang pundak gue.
“Jadi ngebut gak nih?”
“Iya.”
Merasa ditantang, gue tancapkan gas menjadi 50km/jam yang sebelumnya 30km/jam. Didukung jalanan Mampang Prapatan yang kebetulan lagi lengang. Seketika tangan Koko pindah ke pinggang gue.
Entah disengaja atau tidak, gue berusaha tidak mempersalahkan itu. Jadi pura-pura bodoh saja sepanjang perjalanan. Pegangan itu barud dilepas saat sudah sampai di gerbang rumahnya. Ia turun dari motor dan segera membukakan pintu untuk gue masuk.
Halaman rumahnya cukup luas. Rumahnya sederhana, tak bertingkat dan berhimpitan diantara dua rumah tetangganya yang super mewah dan bertingkat tiga bahkan lebih. Gue memarkirkan motor tepat dibelakang tempat jemuran kosong.
Koko masuk terlebih dahulu, meninggalkan gue sendiri di teras. Sekitar sepuluh menit menunggu akhirnya ia keluar dengan kedua orangtuanya. Gue yang duduk dilantai teras bergegas berdiri, menyambut kedatangan mereka yang menyapa gue hangat.
“Maaf nunggu lama. Nguburin Juned dulu dibelakang rumah,” kata Koko sedikit memasang wajah bersalah.
“Innalilahi. Turut berdukacita,” balas gue spontan.”
Mereka bertiga tertawa renyah. “Bukan, bukan orang yang meninggal.”
Hanya wajah kaget yang tak disengaja dan cengir kuda yang gue pancarkan jelas sebagai responnya.
“Itu kelinci Koko yang mati. Kakaknya bloon. Dia lupa pindahin sampe kehujanan,” sambar bokapnya Koko masih terlihat awet muda. Sang ibu mengajak gue masuk ke ruang tamu dan katanya mau diajak makan. Gue terima-terima saja meski perut kenyang dengan ramen.
Ada beberapa makanan cukup menggugah selera. Lima macam lauk pauk dan sesangku nasi putih masih mengepul-ngepul. Telor balado, ayam goreng mentega, sayur asam, urap daun singkong dan pepes tahu. Sungguh nikmatnya.
“Udah, jangan sungkan-sungkan. Makan aja. Anggap saja rumah aku,” kata Koko duduk disebelah gue.
“Emang rumah kamu.”
“YAYA!!!!!! MAKANNNNNNN LAGI NIH!!!!!!!!!! “
Buset, cempreng amat suara ibu mertua gue. Gue juga bingung kenapa keluarga ini baru makan hampir pukul sembilan malam. Biasanya gue sehabis maghrib, kumpul sekeluarga makan. Gue ingin mempertanyakan hal itu dengan Koko saat makan malam berlangsung tapi bokapnya sudah menjelaskan terlebih dahulu. Hebat, sepertinya ia bisa baca isi jeroan gue. Eh, isi pikiran.
Seorang pria yang mengaku Yaya hadir dengan gontai seperti tempe mendoan baru diangkat dari penggorengan. Ia duduk disebelah gue dengan headphone menggantung di pergelangan lehernya.
Tubuhnya kuris tinggi, putih dengan brewok tipis yang terkesan seksi. Wajahnya tampan. Mungkin kalo gue perempuan bakalan klepek-klepek kayak ikan lohan kekurangan air.
Nyokapnya menegur halus. “Makan lagi. Gamenya ditunda dulu. Lapar lagi kan?”
“Mama pulang jam berapa sama Bapak. Koko sampe kabur duluan nonton bola,” ucapnya sembari menyendok nasi dari sangku.
Walaupun teriakannya melengking tapi tutur dalam menjawab pernyataan anak-anaknya sangat halus dan lembut. Ia mencerminkan sosok ibu yang ramah dan bersahabat. Gue aja auto mau jadi anaknya jika diperbolehkan.
“Mama baru selesai dari rumah Ajung pukul setengah tujuh. Pal Merah kan jauh Nak. Jadi sampai sini setengah sembilanan. Maaf, yah Nak.”
Eh, bokapnya malah bar-bar. Seperti bapak-bapak betawi yang bicaranya nyablak. Kadang tidak beraturan dan seenak jidat. “Udeh, yang penting mama lo sama gue sampe kan. Koko juga udah di rumah diantar sama nih mas-mas baju biru. Nining?? Eh, Nining mane Ko. Lo gak bawa!!”
Suasana sekejap berubah jadi panik begitu nama seorang yang tidak ada diperkumpulan malam ini. Koko yang menjadi objek pertanyaan malah menjawab dengan santai sembari menyeruput sayur asam. “Masih di Tebet.”
“Sendirian?” Nyokapnya terus interogasi.
Koko mengangguk.
“Ah, gila lo. Masih perawan tuh bocah. Kasihan sendiri disana.” Yaya nyerocos diselingi suapan nasi.
Koko tidak membalas lagi ucapan bokap dan kakaknya itu. Ia meraih ponselnya lalu menghubungi Nining. Jujur saja, gue yang daritadi kayak manekin Ramayana hanya bisa menyaksikan kehangatan apa adanya keluarga ini. Bahkan gue sampai lupa menuangkan nasi ke piring yang masih kosong.