SENIN, 27 SEPTEMBER 2021.
05 : 30.
Hal yang paling gue sebalkan ketika bangun tidur adalah mendengar kedua orangtua gue ribut soal uang kembalian nasi uduk yang Abah tak sengaja hilangkan seminggu yang lalu. Aduh, dia gak mikir rumahnya dekat dengan tetangga yah!!
“Makanya Bah, jadi orang jangan bloonnya pas tua-tua. Nyusahinnya dobel.”
“Kalo lo merasa pintar. Jangan suruh-suruh gue buat beliin ¹lebokkan lo.”
“Yeh, gini nih yang gue gak demen. Udah bikin sekeluarga susah sekarang malah salah, gak terima. Gue gak mau tahu. Ganti tuh duit. Gue buat beli beras.”
“Gue duit darimane. Anak-anak lu belom pada gajian. Gue mau minta sama siape?”
“Minta sama nenek moyang lo sono di kuburan.”
Lagi-lagi kakak gue yang menengahi sekaligus memberikan ceramah paginya. Udah pada tua bukannya banyakin ibadah malah debat kusir terus. Ternyata benar, akan dimana kita akan kembali seperti bayi atau anak-anak. Fisiknya yang sebelumnya bugar saat sudah tua tiba-tiba kaki susah diajak berdiri dan maunya merangkak kayak anak bayi.
Begitupun mental. Kedewasaan hilang berganti jadi sifat kekanak-kanakan. Salah dikit baper, merengek-rengek tanpa pikir ia malu sudah uzur.
Gue yang menggantikan uang kembalian Emak dan memilih sarapan di bersama Koko di jalan nanti. Kalo dibandingin keluarga gue sama Koko itu sangat terlihat jauh berbeda. Yang selama gue lihat sampai sekarang, keharmonisan ada dipihak mereka. Gue jadi ragu untuk mengenalkanya pada orangtua gue.
Gue memarkirkan motor di pinggir jalan Kuningan. Ke tempat nasi uduk langganan gue sarapan. Koko turun dari motornya dan langsung berjalan mencari bangku yang kosong.
“Kamu nasi uduk. Lauknya apa?” tanya gue.
“Apa aja. Ikut kamu aja,” balasnya cukup ceria.
“Ikut aku terus.”
“Yah, aku kan pacar kamu.”
Gue hanya tersenyum tersipu sampai ibu penjual nasi uduk yang sudah kenal gue menegur dengan guyonan khas ibu-ibu. “Aduh, dipuji bokinnya pagi-pagi. Ahayyyyy!!!”
“Yah kayak gak pernah muda aja nih Ibu.” Gue menimpali.
Dua porsi nasi uduk dengan lauk telur dan ayam semur serta beberapa gorengan tahu dan bakwan. Koko terlihat antusias dan ucapan terima kasih yang tak pernah lupa ia ucapkan setiap gue membawakan sesuatu untuknya. “Aku bakalan kenyang sampe siang ini mah. Porsinya gede banget. Pasti mahal.”
“Enggak. Aku udah biasa makan disini. Lagian, aku udah bayar semuanya.”
“Pagi-pagi sudah ditraktir. makasih lagi yah. Nanti kapan-kapan gantian aku yang traktir.”
“Sip. Selamat sarapan.”
“Selamat sarapan.”
Disela-sela sarapan itu ada obrolan dimana Koko ingin ketemu sama kedua orangtua gue. Gue ingin bertepuk jidat tapi jangan karena bisa timbul curiga. Gantinya gue diam merenung sebentar sampai berani mengeluarkan jawaban atas pertanyaan itu. “Kalo mau main. Bisa. Kapan?”
“Next dating bisa kok. Kamu kan main ke rumah terus bahkan hampir setiap hari. Kamu sudah tahu keluarga aku, silsilah keturunan keluarga aku. Sekarang aku boleh tahu dong tentang keluarga kamu. Kali saja kita tembus pelaminan.”