RABU, 23 FEBRUARI 2022.
18 : 30.
Sudah tiga hari gue bernegosiasi lagi sama Kang Asep tapi tetap saja, hasilnya tak membuat hatinya berubah pilihan. Koko juga merasakan prihatin sama gue khususnya kakak gue. Pas pulang kerja ia memberikan ide dengan mencarikan tempat baru tak jauh dari rumah gue meskipun semuanya akan sedikit berubah atau mulai dari awal lagi.
“Tapi aku gak tega Yank dia harus bangkit lagi. Cari pelanggan itu susah. Sama kayak cari pacar.”
“Yang penting kan ada dulu tempatnya sayang. Urusan cari pelanggan mah nanti. Dari pada kakak kamu melamun di rumah. Atau begini, kamu ke rumah aku. Ada hal penting yang mungkin bisa bantu kakak kamu.”
“Ya sudah. Makasih.”
Gue dipertemukan dengan Nining, kedua orangtuanya dan tentunya Koko dalam satu lingkaran meja di ruang tamu. Koko membantu membuka diskusi langsung ke intinya.
“Pak, Bu. Toko yang di Palmerah sudah jadi kan yah. Tinggal ditempati Nining. Aku punya saran Bu, biar Nining tidak sendirian, aku mau ajak kakaknya Kiky. Kebetulan kakaknya baru digusur tempat usahanya. Aku turut prihatin dan aku ingin membantu mereka. Bagaimana Bu.”
Bokapnya ingin langsung mendengarkan penjelasannya lebih detail dari gue.
“Emang benar kakak lo kena musibah usahanya?”
Gue menjawab dengan berani dan jujur juga detail, persis apa yang gue alami kemarin-kemarin. Gue juga berusaha meyakinkan Bapak dan Ibu juga Nining sampai akhirnya mereka mengungkapkan turut prihatin.
“Bapak bisa saja bantu. Tapi ini masalah lokasi dan dari Nining. Gimana Ning?” tanya Bapak serius.
“Nining gak ada masalah sih Pak. Lagian Koko juga susah diajak usaha bareng Nining. Daripada ngejar terus gak dapet-dapet mending kakaknya Bang Kiki saja. Kebetulan usahanya juga dibidang minuman. Bisa kerja sama dengan Nining yang jualan makanan.”
Kelegaan sedikit muncul saat pintu kemudahan sedikit terbuka. Tak ada kendala yang harus diatasi dari pihak mereka dan gue cukup terkejut dengan ide Koko malam ini.
“Dengarin Ky. Kalo Niningnya mau, Bapak juga harus ikuti Nining. Sekarang giliran lo tanya sama kakak lo mau apa enggak.”
“Iya Pak. Saya akan tanya kakak saya langsung selepas pulang dari sini.”
Setalah makan malam itu terjadi, gue langsung membahas tentang sore tadi di rumah Koko dihadapan Abah dan Emak juga. Gue berusaha meyakinkan kakak gue supaya tidak berpikir lama dalam mengambil keputusan.
“Kak, memang jaraknya cukup jauh tapi lo bisa nginap disana Kak. Nining bilang sama gue nanti dicarikan kamar di rumah saudaranya. Jadi gak perlu bolak-balik. Kak, Nining lagi butuh partner usaha. Kemarin udah ajak Koko tapi dia gak mau.”
“Bagaimana yah. Berat Ky. Gue harus mulai lagi dari nol. Gue masih berharap sih Kang Asep berubah pikiran.”
Ini yang gak suka dari kakak gue. Gue sendiri lihat betapa egoisnya Kang Asep menolak dengan alasan istrinya galak. Kakak gue juga tidak kalah egois dengan kukuh menanti pengharapan yang sebenarnya sudah mati.
Gue jelaskan sekali lagi dengan sedikit tegas supaya hati dan pikirannya terbuka dan sadar. .“Kak, lu pikirin gue juga lah Kak. Kalo lu nganggur, gue yang kerja sendirian. Ngurus keluarga dan rumah hari-hari. Kak, gue juga mau nabung buat nikahin Koko meski harus nunggu sampai ia 28 tahun kata bokapnya.”
Mungkin perkataan gue yang terakhir terlalu cepat untuk diumumkan tapi jika itu yang membuat ego kakak gue luluh, tidak masalah.
“Sorry Ky, gue harus pikir matang dulu,” ucapnya lalu pergi meninggalkan obrolan. Gue hanya menghela napas panjang supaya tidak kemakan emosi.
Abah sendiri juga berusaha mengalihkan topik obrolan agar gue tidak terus kepikiran.
“Emang umur Koko sekarang berapa?”