Gading

rintan puspita sari
Chapter #1

Hujan

BAB 1: Hujan

“Aku iri setiap kali melihat temanku terlihat akrab dengan ayah mereka,” suara dalam otak Audrey ketika melihat teman sekelasnya Cindra terlihat tersenyum bahagia setiap diantar ayahnya ke sekolah. Adegan mencium tangan dan senyum akrab mereka terasa seperti bambu yang ditusuk tepat ke dalam hati Audrey.

***

Sorak sorai dan suara tepuk tangan terdengar riuh dari luar pagar SMA Hope. Tampak klub basket SMA Hope tengah bertanding dengan SMA Bona. Penampilan Timur, kapten tim basket SMA Hope yang berkulit sedikit gelap tapi manis itu selalu mencuri perhatian.

Di sela-sela pertandingan, Timur selalu terlihat melempar senyum dan mencuri pandang pada Audrey, sang kekasih, setiap kali berhasil mencetak nilai. Senyum tipis yang saling mereka tukar seakan cukup menjawab betapa dua remaja itu saling mencintai meskipun saat ini hubungan mereka telah memasuki tahun kedua.

Gadis remaja yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-16 itu tampak manis, rambut lurus sebahu dan poni depan duduk manis di bangku paling depan. Tak terusik dengan begitu banyaknya teman wanita dari sekolahnya ataupun sekolah lawan tanding yang begitu mengagumi kekasihnya.

Audrey dan Timur merupakan dua orang yang menjadi idola di sekolah sejak hari pertama ospek. Sama seperti Timur, tak sedikit juga siswa SMA Hope yang berusaha mendekati Audrey. Uniknya, Timur jauh lebih terlihat terbuka pada teman-temannya dan selalu dikelilingi banyak teman pria ataupun wanita. Sedangkan Audrey seakan hanya memiliki Timur dan seorang teman bernama Sinta yang tak begitu dekat.

Dengan dua karakter yang berbeda, kisah cinta mereka sebenarnya dimulai dengan cukup sederhana. Timur dan Audrey sama-sama memiliki alergi dingin yang membuat keduanya kompak bersin di jam-jam pertama pelajaran.

Timur duduk di belakang Audrey, dan mereka sering bersahutan ketika bersin. Sesederhana itu cara Cupid menembakkan panah asmara pada keduanya.

Selain itu, benih-benih cinta semakin tumbuh subur ketika mereka sama-sama menjadi anggota OSIS. Pulang sekolah, mereka habiskan waktu kalau tidak berkumpul dengan anak-anak OSIS, mereka pasti di lapangan basket. Timur selalu setia mengajarkan cara bermain basket pada Audrey.

“Hari ini Dimas ikut main basket ya,” ujar Timur usai pertandingan basket pada Audrey.

“Oke,” jawab Audrey dengan suaranya yang lembut dan berlalu dari Timur.

Berbeda dengan anak remaja lainnya, Audrey dan Timur memang lebih sering menghabiskan waktu di sekolah, ngobrol di kantin sekolah sampai tutup atau bermain basket. Satu-satunya hal mesra yang dilakukan Timur pada Audrey hanya bergandengan tangan.

“Kalian ini pacaran dua tahun masih begini-begini aja?” goda Dimas pada Timur dan Audrey.

Audrey dan Timur hanya bisa saling menatap dan tersenyum, seakan tahu ini bukan kali pertama Dimas menggoda mereka.

“Udah yuk pulang,” ucap Dimas kemudian kelelahan berlari kesana kemari di lapangan basket sekolah.

Audrey yang duduk di sisi luar lapangan tampak melihat jam di ponselnya yang terlihat angka 15.20. Sesekali dia terlihat menghela napas, tapi kemudian tersenyum menyambut ajakan pulang Dimas. Di sisi lain, Timur yang seakan paham dengan kondisi kekasihnya, hanya melihat dari kejauhan, bukan dengan tatapan iba, tapi menatap tulus seakan hanya ingin mencari cara membuat Audrey bahagia.

“Bye,” kata Dimas melambaikan tangan dan berlalu ke arah halte MRT. Sementara Timur terlihat menyamakan jalannya dengan Audrey, memperhatikan wajah kekasihnya dari samping, dan menggandeng tangannya, “ayok ikut,” ucap Timur sambil tersenyum.

Keduanya asyik bermain arcade di salah satu pusat perbelanjaan sampai akhirnya jam di ponsel Audrey menunjuk pukul 20.00.

“Kamu aku anter ya hari ini,” ucap Timur, disambut dengan anggukan Audrey.

Keduanya terdiam selama perjalanan pulang, sama-sama melihat ke arah luar jendela MRT. Lampu-lampu kota terlihat indah, tapi tatapan Audrey kosong, dan Timur yang sesekali menatap Audrey tahu itu. Tak menggenggam tangannya dan tak berbicara apapun, keduanya hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sampai di rumah, Audrey meminta mbak memberikan air minum untuk Timur yang duduk di taman rumah mereka, sementara Audrey duduk di depan Timur, keduanya berbicara dan bercanda lagi.  

Tak lama mereka duduk, jelas terdengar suara piring pecah, tak cuma satu, entah kali ini berapa banyak yang dipecahkan. Suara teriakan dan saling membentak begitu jelas terdengar dari arah taman depan rumah mereka, tempat Audrey dan Timur duduk.

Audrey tiba-tiba diam, tangannya gemetar, matanya hanya terus menatap Timur. Tak ada air mata, hanya tatapan malu, kecewa, sedih. Timur yang bukan pertama kali mendengar pertengkaran orang tua Audrey, meletakkan kedua tangannya di telinga Audrey, menatap Audrey seakan memintanya untuk percaya, dia akan selalu menjaga Audrey.

Di tengah situasi itu tiba-tiba suasana hening, pikiran Audrey sudah tak tahu pergi kemana, biasanya disaat hening seperti ini satu diantara mereka akan pergi keluar, menendang pintu manapun, membantingnya dengan keras, sementara yang lainnya terdiam, duduk diantara piring dan perabot lain yang hancur berkeping di lantai. Tatapan yang membuat hati Audrey terluka setiap kali melihatnya.

***

Pagi kembali datang, wajah Audrey yang murung karena insiden semalam semakin terlihat jelas ketika di depan pagar sekolah dia melihat Cindra, salah satu teman sekelasnya terlihat tersenyum hangat dan manja dengan ayahnya. Mencium tangan, dan sang ayah mencium kening Cindra.

Ini bukan pertama kalinya Audrey menatap aktivitas rutin itu. Setiap kali tak sengaja bertemu di depan gerbang sekolah, adegan itu selalu menyita perhatian Audrey yang biasanya cuek, terpaksa mengalihkan pandangannya pada adegan tersebut.

“Aku iri setiap kali melihat temanku terlihat akrab dengan ayah mereka,” suara dalam otak Audrey.

Sambil berjalan, tatapan Audrey masih jelas melekat pada adegan tersebut.  

Entah perasaan apa yang ada di dalam hati serta pikiran Audrey. Yang jelas adegan itu cukup menyita perhatiannya hingga dia tak sadar ada Timur yang selalu mengamati gerak-gerik kekasihnya itu dari kejauhan. Ya, itulah yang selalu dilakukan Timur sebagai kekasih.

Bukan mencampuri, bukan juga berusaha menghibur, tapi mengamati dan mencoba memahami apa yang ada dipikiran kekasihnya tanpa menyinggung apalagi menyakiti perasaan dan harga diri Audrey yang tinggi.

Timur bukan tipe kekasih romantis untuk remaja seusianya. Dia hampir tak pernah memanjakan Audrey dengan bunga atau cokelat ketika Valentine tiba. Mereka hanya menghabiskan waktu untuk berjalan kaki, melihat hewan-hewan di kebun binatang, makan es krim di kafe es krim favorit. Sesekali Audrey juga menemani Timur bermain bersama anak-anak band-nya.

***

Angin sepoi menyentuh lembut rambut Audrey yang tak pernah lebih dari sebahu. Timur hanya mengamati kekasihnya lalu memotret diam-diam sang kekasih dengan tatapan penuh cinta. Mendengar suara kamera, Audrey spontan menoleh ke arah Timur. Senyum manis yang berhasil tertangkap kamera handphone Timur.

Keduanya terlihat tersenyum dan melihat hasil foto tersebut. Mereka juga terlihat mengambil foto bersama, sampai akhirnya Timur berhasil mengucapkan, “kamu baik-baik saja?”.

Satu pertanyaan yang hampir jarang dilontarkan Timur pada kekasihnya itu apapun masalahnya. Karena Timur percaya, akan selalu ada waktu yang menurut Audrey tepat untuk bercerita tanpa dia harus mendesaknya.

Sambil mengalihkan pandangan ke arah bawah, air mata Audrey terlihat menetes di atas rok abu-abunya. Timur yang melihat hal itu, hanya bisa memeluknya dari arah samping.

Mereka tak banyak bicara, bahkan Audrey menangis tanpa suara, hanya air matanya yang jatuh bercucuran. Hal itu cukup menjawab pertanyaan Timur yang menandakan kekasihnya tak baik-baik saja.

Dan sama seperti biasanya, Timur dengan setia menemani kekasihnya itu pulang. Kali ini Timur tak mengantar sampai rumah, karena dia tahu harus menjaga perasaan Audrey yang mungkin sedang berkecamuk dan bingung menerjemahkan apa yang sebenarnya terjadi pada orang tuanya.

Sebenarnya, menginjakkan kaki ke rumah bukan hal mudah bagi Audrey. Menghela napas, pikiran kosong tapi berkecamuk dengan berbagai kemungkinan yang dirancang di otaknya setiap kali harus pulang ke rumah, Audrey tak tahu apa yang dia rasakan. Sedihkah? Takutkah?.

Tapi satu pertanyaan yang dia yakini selalu ada setiap kali pulang ke rumah adalah “apa hari ini mereka bertengkar lagi?”.

Jantung berdebar membuka pintu besar rumahnya. Hening. Matanya seperti sedang menyensor seluruh rumah, melihat adakah posisi pajangan atau perabot lain yang berubah atau berkurang, adakah bekas-bekas kekerasan lagi. Ini seperti sudah menjadi kebiasaan yang dilakukannya sejak SMP kelas 2.

Hari ini yang ditakutinya tak ada. Entah kemana perginya kedua orangtuanya. Sampai akhirnya ketika menginjak lantai dua rumahnya, mata Audrey tertuju pada pintu kamar orangtuanya yang sedikit terbuka.

Takut tapi juga penasaran karena dia mendengar suara palu yang diadu dengan keramik lantai.

Mengepalkan tangannya yang dingin, Audrey memberanikan diri mengintip dari sedikit celah pintu yang terbuka.

Hati Audrey seakan ditimpa alat berat, sebut saja apapun itu. Kakinya lemas, entah apa yang dia rasakan, Audrey juga tak tahu.

Adegan yang tersimpan jelas dalam ingatannya bertahun-tahun kemudian. Sang ibu terduduk lemah di kamar mandi, memegang palu dan memukul-mukul celana dalam milik ayahnya yang diletakkan di lantai kamar mandi.

***

Beberapa minggu berlalu sejak kejadian itu, rumah mereka tenang, Audrey lama tak mendengar pertengkaran atau barang-barang pecah di rumahnya.

Tapi kejadian hari itu beberapa minggu yang lalu masih menyisakan tanya dalam pikiran Audrey. Dia bahkan tak menceritakan hal itu pada kakaknya. Audrey memendamnya sendiri.

Hari-hari sekolahnya berjalan seperti biasa, dengan nilai yang tinggi, Audrey mendapat tawaran dari guru kelasnya untuk ikut mendaftar seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Dengan antusias Audrey mengiyakan tawaran gurunya itu. Karena sejak lama dia ingin pergi meninggalkan rumahnya, jauh dari rumah, kemanapun tak masalah, asal itu berarti tak perlu lagi tinggal di rumah.

Memandang jauh ke arah lapangan basket dari lantai dua sekolahnya, Audrey menatap dengan tatapan kosong.

Terlintas sejenak di pikiran Audrey, “apa rasanya seandainya aku jatuh dari ketinggian ini?”, “apa akan ada yang mencariku?”, “Atau sadarkah mereka aku tak lagi ada di dunia ini?”.

Pemikirannya seketika teralihkan dengan pelukan hangat dari arah belakangnya. Audrey menatap tangan dengan otot-otot yang terlihat menghiasi punggung tangan yang kini ada di depan dadanya. Tangan Timur, kekasihnya. Diam-diam Timur memeluknya dari arah belakang, menyandarkan kepalanya ke sisi samping kepala Audrey, kemudian berkata,” I love you, Audrey, so much”.

Audrey menyentuh punggung tangan kekasihnya, tersenyum tipis dan membalas ucapan Timur,”I love you too.”

***

Lihat selengkapnya