Gading

rintan puspita sari
Chapter #2

Kabut

BAB 2: Kabut

“Jujur, terkadang aku lebih memilih melihat orang tuaku bercerai.”

***

Memasuki masa ospek seharusnya dinikmati saja, toh tak akan terulang lagi. Tapi ada kalanya hati dan pikiran Audrey ingin ini segera berakhir dan sudahlah kuliah saja. Pakai baju hitam putih, berangkat pagi, rambut dikepang dua, pakai tali rafia dengan papan nama di dada.

Meskipun sempat melepas impiannya untuk bersekolah di luar kota Jakarta, tapi beruntung bagi Audrey, dengan hanya sekali mencoba ujian masuk universitas, Audrey langsung diterima di salah satu universitas bergengsi yang ada di Jakarta.

Kehidupan sebagai mahasiswi baru tentu menyenangkan, termasuk bagi Audrey, lingkungan kampus yang nyaman, tak perlu lagi memakai seragam. Belajar mandiri karena jauh dari orang tua. Sebagai anak jurusan desain komunikasi visual, Audrey bisa menyalurkan bakat menggambar yang dimiliki, tak perlu lagi menghitung dengan rumus yang sulit.

Karena berbagai pertimbangan, ibu Audrey akhirnya memutuskan agar anaknya itu tinggal di apartemen yang lokasinya tak jauh dari daerah sekitar kampus dan pulang seminggu sekali.

Ini berarti Audrey bisa hidup setidaknya sedikit lebih normal, meskipun dia sesekali akan pulang ke rumah untuk sekedar menjenguk ibu dan adiknya. Karena jauh di sisi lain hatinya, Audrey masih menyimpan rasa takut, peristiwa dulu sewaktu-waktu terulang dan sang ayah kembali mencelakai ibunya yang tinggal di rumah hanya bersama seorang asisten rumah tangga dan satpam yang jauh dari rumah utama.

Pertama kali menjalani hidup jauh dari ibunya tentu saja sulit bagi Audrey, tak hanya harus belajar mengatur keuangan sendiri, belanja keperluan harian, bulanan sendiri. Meskipun sesekali pulang ke rumah, Audrey berusaha tak menyusahkan ibu atau asisten rumah tangga yang ada di rumah.

Audrey juga hampir tak pernah mengeluh dengan uang saku bulanan yang diberikan ibunya. Meskipun terkadang dia harus lebih hemat karena kebutuhan membeli barang-barang kuliah yang tak murah. Ibunya bahkan tak tahu soal itu.

Dalam pemikiran Audrey dia sadar betul saat ini ibunya bekerja seorang diri, karena entah sejak kapan tepatnya ayah Audrey lagi-lagi menghilang dari rumah. Ibunya juga masih harus membayar kuliah kakaknya yang tersisa satu tahun lagi jika tak terlambat.

Entah dapat ide dari mana, tapi Audrey tiba-tiba mencoba melamar ke beberapa kafe kekinian. Ini selain dilakukan untuk menambah uang saku, Audrey juga ingin menyibukkan harinya. Apalagi sekarang tak ada lagi Timur. Mereka menjalani hubungan jarak jauh sejak Timur memutuskan melanjutkan kuliah di Bandung. Biasanya Timur akan pulang ke Jakarta seminggu sekali dan mereka akan bertemu di mana saja bisa bertemu. Hubungan mereka tetap manis meskipun kini terpisahkan jarak. Timur masih rutin mengirim pesan singkat, pagi dan malam. Terkadang mereka melakukan panggilan telepon.

Entah sudah berapa lama ayahnya tak pulang ke rumah, yang pasti ketika Audrey mencari kampus, masuk kampus, hingga semester awal kuliah dia lama tak melihat ayahnya. Dan ibunya juga seperti tak peduli, tapi Audrey juga tidak tahu pasti seperti apa dalam hati ibunya, terlebih kini dia juga jarang pulang.

Banyaknya tugas kuliah ditambah pekerjaan sampingan, terkadang membuat pikiran Audrey teralihkan dari banyak masalah yang dulu membelenggunya. Tapi ketika dia kembali ke apartemen, ada rasa kosong di hatinya yang dia sendiri tidak tahu apa sebabnya.

Terkadang dia mulai melempar barang-barang, tapi kemudian memungut dan menatanya ke tempat semula. Bagi Audrey itu adalah cara dia melepaskan penat di hati dan pikiran.

Menggambar juga menjadi salah satu cara Audrey melepaskan stress. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggambar. Hal yang paling dia suka adalah pergi ke toko buku dan mencari beragam alat menggambar dan mewarnai.

Sampai suatu hari badai itu datang lagi…

**

Pertengkaran hebat kedua orang tuanya beberapa tahun lalu masih jelas tergambar dalam ingatan Audrey. Dia juga tak bilang ke ibunya saat itu ada teman-teman ibunya yang datang ke rumah hanya untuk sekedar ‘kepo’ menanyainya dengan berbagai pertanyaan yang seolah rasa keprihatinan. Saat itu Audrey hampir menangis dan ingin bercerita, tapi dari lubuk hatinya dia sadar, tak ada ketulusan dari tatapan mata mereka. Audrey saat itu hanya bisa berkata “enggak apa-apa tante, mama papa baik-baik aja.” Sungguh Audrey tak mengerti kenapa ada orang seperti itu. Belum lagi ketika orang-orang berhenti dan melihat kejadian pertengkaran kedua orang tuanya, dimana sang ibu terkadang sampai lari ke luar rumah untuk menyelamatkan diri. Pandangan orang-orang saat itu terhadap keluarganya membuat Audrey semakin terluka.

Pernah suatu ketika saat ayahnya tak kunjung pulang ke rumah dan melihat ibunya kewalahan mengurus pekerjaan, adiknya yang masih kecil dan juga pekerjaan sampingannya sebagai pebisnis, Audrey sempat melontarkan pertanyaan dimana jawaban dari ibunya terus terngiang dan tertanam dalam hatinya.

“Mama, mama kenapa enggak cerai aja? Aku enggak apa-apa enggak ada papa, toh selama ini kita sudah terbiasa tanpa papa?” tanya Audrey.

“Enggak, mama enggak akan cerai,” jawab ibu Audrey.

“Kalau cerai artinya mama kalah sama perempuan itu. Nanti kamu, kakak kamu kalau nikah siapa yang akan menikahkan? Kamu kan tahu papa kamu seperti apa, pasti akan susah minta dia datang kelak. Mama begini demi kalian,” ucap Mama Audrey saat itu.

Jawaban yang terus disimpan dan kelak akan kembali dipertanyakan Audrey ketika kejadian serupa terulang.

Dan entah di semester berapa Audrey akhirnya bisa melihat ayahnya lagi di rumah. Kedua orang tuanya berbaikan seolah apa yang terjadi selama ini bertahun-tahun belakangan ini bukan hal besar.

Justru hal palsu yang mereka tunjukkan pada orang-orang di luar rumah itu membuat Audrey merasa mual. Di dalam rumah mereka terkadang bisa berbincang lagi, bertengkar lagi, saling mendiamkan, tapi di luar mereka selalu terlihat bahagia.

Suatu hal yang tak bisa dimengerti Audrey sama sekali.

**

Kehidupan kuliah Audrey yang menyenangkan mulai terusik dengan munculnya teman dari masa SMA-nya yang kini telah menjadi seorang polisi. Teman yang hanya dikenal Audrey sepintas lalu, tak popular, ya setidaknya tidak seperti Timur. Tiba-tiba pria bernama Rama datang dalam kehidupan Audrey yang sepi sejak Timur semakin sibuk karena aktivitas bersama kelompok pecinta alam di kampusnya.

Timur tak lagi rutin pulang ke Jakarta seminggu sekali seperti dulu karena akhir pekannya dihabiskan dengan mendaki gunung atau latihan-latihan lainnya, camping dan sebagainya. Audrey yang sudah kesepian, semakin kesepian. Terlebih sejak ayahnya kembali ke rumah dan mengetahui Audrey bekerja sampingan di sebuah kafe kopi langsung marah dan menyuruhnya berhenti.

Akhirnya kehidupan Audrey benar-benar hanya kuliah dan kuliah.

Suatu sore ketika Audrey sedang duduk di sebuah kafe sambil menyeruput Americano dingin kesukaannya dan menggambar dengan tabletnya, seorang pria menghampirinya. “Rama” ucap Audrey terkejut ketika melihat Rama memegang tab miliknya, spontan Audrey menengadahkan kepala dan melihat sosok teman SMA-nya itu yang kini terlihat gagah dengan seragam polisi.

Audrey tak memiliki kesan apapun di pertemuan pertama mereka setelah lulus SMA itu. Terlebih sudah dua tahun lebih mereka tak bertemu.

“Kamu sama siapa? Timur mana?” tanya Rama.

Berusaha memasang wajah tanpa ekspresi, Audrey berusaha keras agar wajah heran bercampur kesalnya tak terlalu terlihat. Audrey memang tak terlalu suka bertegur sapa dengan orang yang tak akrab dengannya.

“Apaan sih, sok asik banget,” kata Audrey dalam hati, tapi kemudian yang keluar dari mulutnya hanya jawaban atas pertanyaan Rama,”sendiri, Timur kan di Bandung, kuliah.”

Jawaban singkat Audrey sepertinya tak berpengaruh pada Rama. Buktinya dia tetap duduk di depan Audrey sambil menyeruput es cappuccino miliknya.

“Duh, ini anak kenapa malah duduk di situ,” kata Audrey menggerutu dalam hati. Audrey berusaha tak mempedulikan keberadaan Rama. Sampai akhirnya Rama mengatakan suatu hal yang membuat perhatian Audrey teralihkan.

“Aku sebenarnya suka sama kamu,” kata Rama sambil menatap Audrey.

Rasa pahit Americano yang baru diseruput Audrey terasa berhenti di tenggorokan, mencekatnya hingga ingin membuat Audrey menyemprotkan kembali minumannya keluar dari mulut.

Audrey berusaha tetap tenang, mengatur mimik wajahnya agar tak berubah apalagi sampai tersipu. Ini bukan pertama kalinya Audrey mendapat pernyataan cinta sejak jauh dari Timur. Beberapa kali kakak tingkat ataupun teman seangkatan pernah juga menyatakan cinta pada Audrey.

Tapi entah kenapa kali ini hati Audrey merasakan getaran yang berbeda. Tapi dalam hati Audrey dia berusaha ingat masih ada Timur di sana yang setia menantinya.

“Tiba-tiba gitu?” ucap Audrey dengan nada heran.

“Enggak tiba-tiba. Udah sejak lama, dari SMA kelas 2 waktu kita sekelas. Tapi kamu udah pacaran sama Timur dan kalian kelihatan selalu bersama,” ujar Rama.

“Ooh,” jawab Audrey singkat seakan tak tertarik dengan cerita yang mungkin saja hanya hasil mengarang indah.

“Kamu pasti enggak percaya. Mau aku kasih buktinya?” ucap Rama sambil membuka ponsel keluaran terbaru miliknya.

Audrey sebenarnya sama sekali tak tertarik, terlebih orang di depannya ini menemuinya dalam pakaian dinas. Satu pertanyaan yang sebenarnya cukup mengusiknya, “kenapa sih harus pakai seragam?” , tapi tak berani diucapkan Audrey.

Rama kemudian memperlihatkan foto kamar dengan lemari yang bertulis nama Audrey dan nama Rama.

“Haah, apa ini?” tanya Audrey.

“Ini lemari di barak aku. Aku sengaja tulis, karena beratnya pelatihan yang harus aku lewati terasa lebih ringan setiap kali ingat kamu,” ujar Rama yang semakin membuat Audrey tak habis pikir.

Mungkin saat ini kedua alis Audrey menyatu tanpa dia sadari, sampai akhirnya Rama berkata, “kamu masih enggak percaya?”.

“Enggak,” jawab Audrey singkat.

“Enggak apa-apa. Kamu juga pasti terkejut aku tiba-tiba datang di depan kamu dan menyatakan cinta. Tapi aku benar-benar semakin memikirkan kamu ketika mulai masuk akademi,” ujar Rama.

“Kamu tahu, aku belum pulang ke rumah, ini hari liburku dan aku langsung mencari tahu keberadaan kamu, hanya karena ingin memberitahumu ini,” jelas Rama.

“Aku akan nunggu kamu, sampai kamu dan Timur putus,” ucap Rama lagi.

“Kok doain aku putus?” kata Audrey kesal.

 “Karena aku lebih baik dari Timur dan bisa memperlakukan kamu lebih baik,” jawab Rama.

“Sejak lama aku perhatiin kamu, aku enggak bisa membiarkan kamu jatuh ke tangan pria lain,” ucap Rama kemudian.

Tak lama, Rama pamit setelah memberikan nomor telepon barunya pada Audrey yang ditulisnya dalam gelas kertas minumannya dan ditinggalkan di atas meja.

“Aku punya nomor kamu, kamu simpan nomor aku. Saat libur aku pastikan cari kamu lagi, aku akan merebut kamu dari Timur,” kata Rama.

Ucapan Rama saat itu tak dianggap sebagai hal yang serius bagi Audrey. Menurutnya itu hanya omongan sepintas lalu yang tak mau dia ambil pusing.

Sementara di sisi lain, hubungan Audrey dan Timur memang mulai renggang karena kesibukan Timur.

Audrey yang awalnya menaruh kepercayaan penuh pada Timur, perlahan mulai menaruh curiga.

Bermula dari ucapan seorang teman anak pecinta alam yang menceritakan tentang bagaimana kehidupan mereka ketika ada di gunung. “Pacar kamu anak pecinta alam? Waaah, pasti udah ng*w* sama temen ceweknya,” ucap seorang teman wanita.

“Haah? Kok gitu, emang apa hubungannya?” tanya Audrey.

“Ya biasanya sih ada yang begitu ya, apalagi kalau ada yang cewek dia suka di klub yang sama,” kata seorang teman.

Lihat selengkapnya