Gadis

Melia
Chapter #2

BAB 1

Inilah ceritaku, cerita yang lama terpendam kini akan tergali usai. Aku mencoba bungkam untuk menutup seluruh kesalahan yang menjadi pembenaran banyak hal. Aku yang memberanikan diri untuk memasuki dunia pilu demi sebuah kesengsaraan yang seharusnya tak terjadi. Aku yang menahan seluruh luka demi tampil di khalayak, memunculkan sifat berani yang selama ini kusembunyikan. Dengan diriku bercerita sebagai Gadis, aku harap di kehidupan selanjutnya, bahagia telah terlukis melalui senyuman yang terulas di bibir.

RS. TNI AD Tingkat II Dr. Soepraon Malang, 2006.

Gadis kecil berusia delapan tahun itu merangkak menatap jendela disalah satu kamar inap pasien. Tangannya bergerak ke kaca, melihat Ibunya terbaring tak berdaya di atas ranjang. Samar-samar sekitar dua orang di samping tengah menenangkan dirinya. Air mata jatuh tak tertahan membasahi pipi. Tanpa suara, tanpa kata, Gadis belum sepenuhnya mengetahui apa yang terjadi.

Dua jam sebelum kejadian, Gadis bersama Nirina dan juga beberapa Ibu persit lain mengunjungi sanak saudara di Rumah Sakit TNI AD Tingkat II Dr. Soepraoen Malang. Dokter Linda yang biasa menangani jadwal check-up Nirina melihatnya tengah berjalan santai sambil memegang tangan kecil milik Gadis. Nirina tersenyum dan menegur pelan Dokter Linda yang berjalan ke arahnya.

“Oh, Ibu Nirina.” Dokter Linda tersenyum. Raut wajahnya berubah khawatir.

“Ibu Nirina, bagaimana kabarnya? Lama sekali saya tidak bertemu Ibu. Kalau boleh tau, umur kandungannya sudah berapa bulan?” lanjutnya sambil mengusap perut Nirina yang membesar. Gadis kecil di sampingnya tengah memandang Dokter itu.

“Sepertinya hampir delapan bulan, Dok.” Nirina menatap rombongan yang sudah berjalan kian menjauh.

“Boleh saya periksa keadaan Ibu sebentar?” Nirina mengangguk, menyetujui tawaran sang Dokter. Nirina melepas tangan kecil yang digenggamnya dan berjalan pelan menuju ruang kandungan. Gadis tak ingin mengikuti langkah Ibunya, ia berlari ke arah rombongan Ibu-Ibu persit. Gadis meneriaki seorang perempuan yang sebaya dengannya. Keduanya tertawa bersama sambil mengayunkan tangan ke depan belakang.

Selang dua jam kemudian, Nirina melahirkan seorang anak perempuan yang cantik nan sehat. Nirina melirik bayi yang baru saja keluar di dunia, ia tersenyum dan menatap lekat anak keduanya. Tanpa dukungan seorang suami dan tanpa siapa pun yang ada di dekat Nirina, wanita itu menangis, mengusap pipi mungil di sisinya.

Speaker rumah sakit terngiang, membuyarkan lamunan Novi dan beberapa teman satu kompi. Novi mendengar suara dari pusat informasi yang memberitahukan terkait siapa keluarga dari Ibu Nirina. Novi menatap Gadis yang tengah duduk bersandar pada tembok, tak mengindahkan teman sebayanya yang sedang mengajaknya bermain. Novi bergerak menggandeng tangan kecil Gadis menuju satu ruangan dengan muka panik.

Novi menatap papan nama bertuliskan ruang UGD berwarna hijau. Gadis memberikan tatapan tak mengerti, namun satu hal yang dia ingat adalah Gadis mengikuti arah pandangnya. Ia merangkak menatap jendela, melihat Ibunya yang berbaring lemas mengusap air mata.

Aku tidak pernah merayakan masa lalu dengan begitu indah. Tapi ketika aku bisa bercerita dengan hati-hati, di sanalah aku menemukan keikhlasan yang selama ini kunanti. Aku tidak terpaksa menceritakan ini pada siapa pun, tapi ketika aku memutuskan untuk ya, aku sudah siap. Mulai saat itu, konsekuensi akan datang beriringan dengan tanggung jawab yang kupertaruhkan.

Asrama Brigif Linud 18, Malang, 2006.

Gadis pulang ke asrama tanpa Nirina, ia sendirian di rumah menanti sang Ayah. Sampai waktu sore, tak ada yang berkunjung untuk melihat dirinya. Gadis tak terbiasa dengan keadaan tanpa orang tua di sisinya. Sehingga Samadi, tetangga yang berjarak hanya serumah mengetuk pintunya dari luar. Saat ia membuka pintu, Samadi membawa Gadis pergi ke rumahnya untuk sementara waktu.

“Gadis mau makan apa? Bilang aja, nanti Tante masak yang enak.” Samadi tersenyum sambil mengusap rambut Gadis.

“Gadis mau ayam yang dagingnya banyak, Te,” ucapnya pelan.

“Oh, Gadis nggak mau yang kulit ya?” Samadi bertanya kembali. Gadis menggeleng dan duduk di ruang tamu. Ia melirik ke arah perempuan yang sebaya dengannya. Dina tersenyum dan terlihat menghampiri Gadis.

“Yuk, nanti kita main ya.” Dina memegang tangan yang seukuran dengannya. Gadis tersenyum, mengangguk pelan.

Gedung bernuansa hijau dan putih pada rumah sakit TNI AD Tingkat II Dr. Soepraoen Malang terletak di pinggir jalan raya. Deretan taxi berjejer rapi, siap menjemput siapa saja yang akan menyewa kendaraan paling mewah di sana. Becak dan ojek masih berkeliaran dengan bebas di depan gedung, tak menghiraukan klakson kendaraan yang menghalangi jalan mereka. Pohon besar yang menaungi hampir seperempat gedung membuat rumah sakit itu terlihat teduh.

Seorang laki-laki berusia 35 tahun berjalan dengan sigap memasuki ruang UGD. Seragam tentara yang dipakainya menambah kegagahan pada raut wajahnya. Nametag yang tertera di seragam tertulis AAT PRAWIJAYA. Pria itu membuka pintu UGD, menatap istrinya yang tergolek lemas. Bayi perempuan yang belum menginjak umur satu bulan berada dalam inkubator di ruangan yang sama. Laki-laki itu membaca sebuah gelang berwarna merah muda dan putih yang tersemat pada tangan istrinya bertuliskan:

Nama : Ny. Nirina

Usia    : 27 tahun

Lihat selengkapnya