Dari apa yang pernah aku alami, masih ada cerita yang kusembunyikan. Terkadang mengingatnya kembali membuat kepala sakit, namun jiwaku masih memaksa untuk mengeluarkan semua yang bergejolak di hati. Sejak hari itu, aku menutup diri dari keramaian, enggan menyapa siapa saja yang menjumpaiku lebih dulu bahkan menjauhiku karena sifatku yang tak terbuka.
Surabaya, 2007.
Di usia yang menginjak sembilan tahun, Nirina mendaftarkan Gadis ke sekolah dasar favorit di Surabaya. Nirina tau, ia sudah terlambat untuk mendaftarkan putrinya ke sekolah mana pun. Saat menemui kepala sekolah, beliau menggelengkan kepala, menyatakan bahwa sekolah itu sudah tidak bisa menerima siswa baru lagi mengingat memasuki kurikulum yang kedua. Nirina memohon, menempelkan kedua tangan di dada supaya putrinya diterima sekolah. Ia menangis, memegang pergelangan tangan Gadis. Tak ingin kalah dari situasi yang membuatnya begini. Kepala sekolah itu menganggukkan kepala, terlihat tulus saat menjabat tangan Nirina. Semenjak diterima di sekolah itu, dari kelas tiga sampai lulus, Gadis masih menyendiri, tak ingin siapa pun berada di dekatnya.
Surabaya, 2011.
Memasuki bangku menengah pertama, Gadis menginjak usia tiga belas tahun. Ia mencoba berdamai dengan diri sendiri. Perlahan semakin terbuka dengan kehadiran teman-teman barunya. Ia sering mengiyakan ajakan teman sekelas untuk pergi ke kantin. Selebihnya hanyalah gurauan pertemanan yang biasa dilakukan para siswa di sekolah. Sampai pada momen yang tidak disukai para siswa terjadi pada Gadis yaitu perundungan. Tanpa sebab, Gadis mendapat bully dari seorang kakak kelas dan juga teman sebaya, mulai dari jambakan sampai beradu mulut. Itu semua tak ditanggapi oleh Gadis. Sampai kelulusan tiba, kakak kelas itu mendadak meminta maaf padanya. Sebut saja, itu adalah ritual wajib yang harus ada tiap lulus sekolah.
Gadis pulang dengan berjalan kaki, mengingat rumahnya tak jauh dari sekolah. Ia selalu memakai jaket dengan topi untuk menghindari panas dan kontak mata dari siapa pun. Baginya, di rundung di lingkungan sekolah sudah cukup memuakkan dirinya. Gadis tak ingin mendapat perlakuan sama di lingkungan lain. Nirina menatap Gadis yang berjalan lemas memasuki rumah.
Sejak kepindahan itu, ia dan Nirina tinggal di rumah Neneknya. Alma baru saja memasuki taman kanak-kanak. Nama Adiknya itu baru saja diberikan Nirina saat ia pindah ke Surabaya. Bayi mungil yang kala itu belum bisa apa-apa kini akan bersekolah. Adik Gadis sudah tumbuh setinggi pinggulnya.
“Halo, Adikku yang cantik,” ucap Gadis sambil menowel pipi Alma.
“Kakak!” teriak Alma kegirangan.
Alma yang kehadirannya berada dalam musibah kedua orang tuanya, akan selalu ada perhatian lebih yang diberikan Gadis. Ia tak mau apa yang pernah dialaminya, dirasakan oleh Alma. Dengan mata besar dan rambut keriting, kemiripan itu lebih menonjol pada Aat. Sedangkan Gadis lebih mirip Nirina. Alma memiliki bentuk muka lonjong sama sepertinya. Gadis cenderung mengingat waktu lampau saat kasih sayang melimpah masih tercukupi di diri Gadis. Meskipun umur Alma dan Gadis terpaut delapan tahun, ia selalu menganggap Adiknya sebagai sahabat paling dekat.
...
Gadis tidak melewati segala hal yang umum dilakukan anak-anak seusianya seperti bermain, menonton bioskop dan pergi ke rumah teman hingga petang. Kala itu, pergi menonton bioskop harus menaiki bis antar kota untuk sampai ke tujuan. Masih teringat jelas, bahwa teman-teman Gadis seringkali menutupi logo seragam sekolah dengan sweater.
Pada tahun ketiga saat dirinya berada di kelas sembilan SMP, Gadis diharuskan mengikuti ujian nasional. Hari pertama ujian, Gadis dirawat di rumah sakit. Badannya terasa panas dan tak membaik, hingga ia terpaksa mengikuti ujian susulan. Kesal, kecewa dan pasrah. Rumah sakit tempatnya dirawat sangat dekat dengan kediaman, berjarak sekitar 200 meter.
Pagi itu, Gadis memandangi cairan infus yang menempel di tangan dan memegangnya pelan. Mungkin saja ia masih bisa mengikuti ujian nasional hari kedua, pikirnya. Karena kondisi tubuh yang masih melemah, mau tak mau Ibu harus mengantarkan surat izin ke sekolah.
Malam harinya, sekujur tubuh Gadis menggigil sehingga Ibu harus memanggilkan dokter. Sebelumnya Gadis telah memejamkan mata dan dokter juga mengira bahwa dirinya tertidur pulas sampai alat stetoskop menempel di dada. Awalnya biasa saja, namun Gadis merasa stetoskop yang dokter letakkan pada dada dibiarkan menempel di sisi tengah dan tangannya mulai menggerayangi bagian intim milik Gadis. Ia berpikir positif bahwa sang dokter tidak sengaja menempelkan telapak tangannya. Gadis merasa gusar dan mengelabuinya dengan pura-pura bangun. Gadis celingukan mencari keberadaan sang Ibu. Saat kejadian berlangsung, posisi Ibu membelakanginya, tengah istirahat pada ranjang kosong. Ibu tidak mengetahui tangan jahil yang dilakukan dokter.
Keesokan harinya, dokter itu kembali masuk, ia mulai mengakrabkan diri pada Gadis dengan mencoba memijat kedua kakinya. Perasaan tak enak menjalar di tubuh Gadis, tangan dokter bergerak naik hingga paha dan Gadis menepis tangannya. Dokter itu terdiam lantas pergi meninggalkan ruangan. Gadis tidak mengetahui siapa nama dokter itu, tidak ada identitas atau nametag yang terpasang di jas putihnya, namun raut wajahnya masih jelas di benak Gadis. Sampai Gadis memasuki bangku menengah atas, rumah sakit tempatnya dirawat telah tutup karena bangkrut. Gadis tersenyum kecut, entah masalah apa yang menyerang rumah sakit itu, ia bersyukur mungkin doa beberapa pasien telah terkabul salah satunya dari Gadis.
Surabaya, 2014.
Apa yang pernah kulalui sebelumnya adalah perjalanan yang menjengkelkan dan juga kebencian. Sebab pertanda itu adalah traumatik yang cukup menganggu masa depanku. Di sinilah aku mencoba mengubur seluruh rasa yang tak ingin berkeliaran di otakku, dan juga itulah alasan mengapa aku lebih sering memeluk diri sendiri dibandingkan mempunyai pelindung yang nantinya membangkitkan trauma itu.
Kisah pelecehan seksual, definisi itu yang baru saja diketahui Gadis saat menginjak bangku menengah atas. Saat sekolah menghadirkan pembicara yang mengangkat tema terkait kewanitaan, perasaan itu membuat hatinya teriris. Lagi-lagi ia menyalahkan diri sendiri yang tak mampu melawan kala itu. Seiring berjalannya waktu, Gadis berharap bisa membuang masa lalu yang akan mengganggu kehidupan selanjutnya.
Gadis yang menginjak umur enam belas tahun tengah berlatih sebagai pengibar bendera. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik, dengan kulit putih bersih dan rambut hitam lurus membuatnya makin di kenal seantero yayasan. Sekolahnya terdiri dari SMA, SMK dan SMP yang dinaungi yayasan yang sama. Gadis dengan keseharian pulang pergi naik angkot tak membuat dirinya malu atau bersedih. Menurutnya, waktu tiga tahun akan berakhir dengan cepat dan itu takkan membuatnya kenapa-kenapa.
Sampai suatu ketika, Gadis mendapat beasiswa dari sekolah yang mengantarkannya ke salah satu universitas negeri di Surabaya. Betapa senangnya momen itu yang ternyata tak ditanggapi halus oleh Nirina.
“Sebenarnya Ibu ingin kamu bekerja, Nduk. Mengingat kebutuhan yang kita pakai semakin banyak dan harganya juga bakal naik. Tapi apa boleh buat, kamu berhasil mendapatkan beasiswa, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Ibu bangga.” Nirina mengusap pundak Gadis.
“Ibu yakin kalau Gadis ambil beasiswa ini, Ibu nggak keberatan?” Gadis memastikan.
“Nggak papa, Nduk. Itu kesempatan yang tidak datang dua kali.” Nirina mengangguk, meyakinkan putrinya. Ibunya pergi meninggalkan Gadis yang termenung menatap selembar kertas berisi form beasiswa. Nirina melayani beberapa orang yang membeli dagangannya.
Semenjak pulang ke Surabaya, Nirina membuka toko kelontong. Ia hanya bergantung pada penjualan yang tidak menentu tiap bulannya. Namun beruntungnya Nirina memiliki Gadis yang berupaya penuh untuk tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena berhasil mendapat beasiswa.