Aku merindukan tiap kenangan bersama seseorang yang kuhormati, aku juga mengenang tiap jengkal langkahnya saat menghampiriku. Seseorang yang harusnya menemaniku hingga dewasa, seseorang yang harusnya mengerti bagaimana tumbuh kembangku, seseorang yang harusnya mendampingi diriku disetiap senang dan sedih kini menghilang entah karena kesalahan atau karena merasa bersalah.
Aat, nama panggilan seorang laki-laki yang mengabdikan dirinya pada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Aat yang memiliki status sebagai Ayah dan abdi negara harus membagi waktunya untuk buah hati dan pekerjaan. Sejak 1992 Aat telah dinobatkan sebagai TNI dengan pangkat sersan dua hingga 2006, sebagai jabatan Bahari 18 Provoost. Aat merupakan salah satu putra yang berhasil menjadi “orang” dalam keluarganya. Dengan apa yang dimiliki, ia berhasil membanggakan keluarga sehingga menjadi manusia terpandang yang dihormati.
Sedangkan Nirina yang otomatis menjadi Ibu Persit atau Persatuan Istri Tentara Kartika Chandra Kirana, sebutan bagi perempuan yang suaminya menjabat TNI AD. Nirina sendiri saat berada di Asrama Brigif Linud 18 memiliki tugas sebagai istri abdi negara dengan cara mendukung kebijaksanaan pemimpin TNI dengan membina dan mengarahkan perjuangan istri anggota TNI Angkatan Darat, menciptakan rasa persaudaraan dan kekeluargaan, rasa persatuan dan kesatuan serta kesadaran nasional. Lebih dari itu tugasnya masih menjadi Ibu rumah tangga dengan keahlian lain yaitu menjahit rustic.
Satu hal yang Gadis ingat saat dirinya masih duduk di sekolah menengah pertama, ketika Gadis berharap Ayahnya datang mengambil rapot di sekolah dan menggantikan posisi Ibu sementara. Gadis merenung, menatap Nirina yang selalu setia menemani Gadis tanpa lelah. Nirina berhasil menjadi Ayah dan Ibu yang baik, tapi rasanya berbeda. Gadis masih berharap Ayahnya datang kembali suatu saat. Sakit hati yang teramat dalam ketika teman sebayanya mengolok-olok Gadis dengan umpatan.
“Wah, ini nih yang nggak punya Ayah. Eh, mana Ayahmu? Nggak punya Ayah kok bangga. Malu dong tentara kok nggak bisa jaga sikap!” umpat Sisil, tetangganya kala itu. Gadis tidak menanggapi hinaan yang keluar dari mulut Sisil, ia masuk ke rumah sambil menahan tangis. Saat beranjak dewasa ketika Gadis akan memasuki perkuliahan, ia mendengar bahwa Sisil hamil di luar nikah dan Ayahnya meninggal karena kecelakaan. Sisil terpaksa pindah dari tempat tinggalnya. Sejak saat itu Gadis merasa Tuhan adil memberikan balasan. Sudah tidak ada lagi yang akan mengganggunya hingga lulus kuliah.
Gadis membuyarkan lamunan saat ponselnya berdering kencang. Ia berjalan masuk dari balkon.
“Halo, Assalamualaikum, Bu?” Gadis menutup tirai jendela.
“Halo, Waalaikumsalam Nak,” ucap Nirina di seberang.
“Kamu gimana di sana? Sudah makan belum? Jangan sampai telat makan ya.” Nada khawatir sang Ibu membuatnya bergidik.
“Iya, bu, pasti. Alma mana, Bu?” tanya Gadis.
Alma yang di samping Nirina sangat bahagia ketika Gadis mencari keberadaannya. Nirina dan Alma tengah berada di ruang tamu, duduk bersila sambil menyantap mi goreng.
“Halo, Kak? Kakak sehat, kan?” tanya Alma penuh haru.
“Sehat, Alma. Kamu gimana sekolahnya? Yang pintar lho ya, jangan bolos sekolah.” Gadis berkata dengan iseng.
“Bolos? Alma nggak pernah bolos lho, Kak,” sungut Alma.
“Iya, iya. Berarti semenjak Kakak pergi, kamar Kakak sekarang dipakai Alma dong?”
“Iya lah, Alma pakai Kak,” jawabnya senang.
Alma dan Nirina bergantian telepon dengan Gadis, ketiganya tertawa bersama di tempat yang berbeda. Gadis mendongak, menatap langit dari kaca jendela. Rintik gerimis itu bertambah menjadi hujan lebat.
…
Gadis memasuki Fiona Florist dengan perasaan senang. Ia tersenyum saat bertemu Arneta dan pekerja lainnya. Gadis mengarah ke meja resepsionis, membenarkan bajunya yang miring serta merapikan rambut. Gadis mengambil kertas dan plastik untuk membungkus bunga, ia masih ingin merangkai buket bunga dengan lebih lihai. Ia memiringkan kertas berkali-kali, meletakkan pita untuk mengikat seluruh bunga mawar di tangannya. Gadis tersenyum puas, hasil karyanya sangat cantik.
Lonceng pintu berbunyi membuat Gadis harus sigap melayani customer. Ia meletakkan ponsel dan meminggirkan bunga yang tadi dirangkainya. Gadis tersenyum kepada seorang laki-laki yang datang, ekspresinya berubah saat matanya menangkap seragam warna loreng khas TNI. Topi baret yang tersemat di kepalanya membuat Gadis ingin menjauh. Pikiran itu ditepisnya saat laki-laki mengucap suara.
“Halo, Kak. Saya mau pesan karangan bunga untuk duka cita, besok bisa diambil?” Laki-laki itu tersenyum ramah.
“Bisa, Kak. Mau diambil jam berapa?” Gadis mengambil note dan menatap laki-laki itu, matanya tertuju pada nama yang terjahit di seragamnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak dan tubuhnya terasa lemas, dengan cepat ia mengalihkan pandangan. Laki-laki itu menaikkan alis, merasakan perubahan air muka Gadis.
“Untuk desain bunganya silakan pilih sesuai katalog kami ya, Kak.” Gadis menyodorkan satu brosur katalog yang dilaminating. Ia menunduk tak menatap lawan bicara. Laki-laki itu menunjuk satu desain yang membuat Gadis mengangguk. Gadis menuliskan nama, jenis pesanan, harga bunga dan juga tanggal pengambilan di komputer.
“Totalnya Rp 555.000, Kak.” Gadis menyodorkan struk.
“Oke, sebentar.” Ia mengambil dompet di saku celana dan memberikan uang dengan nominal pas.
“Terima kasih, Kak.” Gadis menyatukan kedua tangan di dada. Laki-laki itu menatap struk dari Gadis, keningnya berkerut.
“Maaf. Tadi anda belum menanyakan nama ya? Kok di sini sudah tertulis nama saya?” Laki-laki itu menoleh menunggu jawabnya.
“Nametag anda tertulis besar di dada kanan.” Gadis menunjuk seragam si laki-laki.
“Oh, iya juga.” Ia mengangguk. Laki-laki itu berjalan menuju pintu sambil tetap menatap struk. Matanya menangkap nama yang ada di paling bawah, tertulis nama Gadis Syeilandra sebagai kasir dan resepsionis. Ia membelalak menoleh ke arah Gadis. Lonceng pintu berbunyi beberapa kali membuatnya meminggirkan badan, mempersilakan beberapa orang yang masuk. Ia ingin bertanya kembali namun mengurungkan niat saat orang-orang berhamburan ke meja resepsionis.
….
Wildan menyimpan struk di saku celana, ia mengemudikan sepeda motor keluar dari halaman Fiona Florist. Wildan melamun di hiruk-pikuknya keramaian, ia sama sekali tak terganggu dengan kebisingan yang melanda. Ia memikirkan satu nama yang membuat hatinya tak karuan.
Wildan menjabat sebagai perwira pertama dengan pangkat letda[1] dari lulusan Akademi militer dua tahun lalu, berencana akan mengikuti pendidikan kenaikan pangkat lettu[2] selama tiga tahun asal lulus sesarcab[3]. Pangkat ini setara dengan Inspektur Polisi Satu di Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Tugasnya untuk menjaga kedaulatan negara baik dari gerakan teror, pemberontakan yang terjadi di dalam negara maupun potensi serangan dari luar, sehingga tentara dituntut agar mengikuti pelatihan militer untuk membangun berbagai keahlian khusus, seperti teknik bertempur, kemiliteran, pengetahuan persenjataan, pengetahuan intelijen, dan lain sebagainya.
Motor melaju memasuki kawasan Brigif Para Raider 18/Trisula. Wildan menyapa beberapa orang yang sedang jaga di provos.[4] Ia menuju rumah dinas orang tuanya, Wildan memarkir sepeda motor tepat di pelataran rumah. Ia masuk meninggalkan sepatu kulit militer di depan pintu.
…
Gadis berjalan lemas ke kos, ia memikirkan laki-laki yang tadi membeli karangan bunga di Fiona Florist. Nama laki-laki yang teramat jelas di otaknya, nama yang selalu tersemat dalam batinnya. Sekelebat bayangan muncul saat Gadis mengingat masa lalu. Ia menyeberang jalan sambil menepis tangan di depan wajah, mengusir ingatan-ingatan yang tidak ingin muncul dari kepala. Tiba-tiba seseorang menarik pergelangan tangannya secara kasar sampai berada di pinggir jalan. Gadis kebingungan menatap laki-laki itu. Eza menghela napas panjang, dadanya berdesir.