Inilah permulaan yang menyebabkan hatiku kacau sejak bertemu Mas Wildan untuk pertama kalinya setelah lima belas tahun kepindahanku di Surabaya. Mas Wildan membantuku untuk menuntaskan teka-teki pencarian Ayah. Aku berharap ia masih menjadi sosok Kakak yang akan menjagaku saat hatiku luluh lantak, namun tidak aku salah. Pertemuan ini sebagai awal harapan melambung tinggi, angan-angan yang ia susun justru terbuang bersama harapan yang sudah direncanakan. Awalnya aku mengira dia hanya sebatas apa yang kupikirkan, nyatanya hatiku lebih dari itu.
Keesokan harinya, Gadis melayani para pembeli yang mengambil pesanan. Satu persatu mereka keluar dari Fiona Florist, meninggalkan bunyi lonceng tiada henti. Wildan menatap Gadis dari pintu kaca, ia mendorongnya dengan satu lengan, membuat Gadis mengucapkan motto Fiona Florist seperti biasa. Gadis mengerjap saat mengetahui Wildan datang membawa satu minuman dan meletakkannya di atas meja.
“Buat kamu, diminum ya.” Wildan menaikkan alis, menatap Gadis lekat-lekat.
“Mas, ada apa ke sini? Mau beli bunga lagi?” ucapnya khawatir sambil celingukan.
“Mau antar itu lho.” Wildan menunjuk cup minuman.
“Ya sudah, sana keluar. Jangan lama-lama.” Gadis mengusir paksa Wildan. Sebenarnya tak keberatan jika Wildan mengunjunginya, tapi seragam tentara yang ia pakai akan memancing para staf di sana.
“Kenapa emang? Handphone-mu mana?” Wildan nyengir, menengadahkan tangan. Gadis menatap curiga.
“Sini lah, pinjam sebentar. Habis ini aku keluar, serius.” Tangannya melayangkan angka dua di udara. Gadis memberikan ponsel, lelaki itu menekan tombol beberapa kali. Tak lama suara ponsel Wildan berbunyi.
“Kalau butuh apa-apa kabari aku.” Wildan meletakkan ponsel di atas meja, ia mengusap lembut puncak kepala Gadis dan pergi meninggalkan Fiona Florist.
“Ternyata dia nggak berubah,” gumam Gadis.
…
Malamnya, Wildan menatap kos pelangi dari jauh. Rasanya ingin sekali bertemu Gadis, tapi ia tau satu jam lagi ada jadwal piket, ia harus bergegas menuju provos Asrama Brigif Linud 18. Wildan menggunakan seragam tentara lengkap dan berjalan menjauhi kos pelangi.
Di kamar, Gadis tengah memakan mi instant sambil menonton televisi. Rambutnya dililit handuk, ia menggigil kedinginan karena hujan baru saja turun. Gadis tersenyum kecil sambil menelepon Alma. Mereka bercanda saling mengolok, seperti halnya Kakak Adik pada umumnya.
Gadis keluar kamar menuju dapur di koridor ujung, mencuci bekas piring yang baru saja digunakan. Gadis kembali ke kamar sambil bersenandung kecil. Aroma pasir bekas terkena hujan sangat menyejukkan hati. Ia menghirup udara sambil memejamkan mata, berlari kecil ke arah kamar.
Suasana hatinya berubah saat ia menuju nakas di samping tempat tidur. Di sana terdapat buku biodata TNI, foto ukuran 3x4 cm serta 4r dan juga buku yasin. Empat benda itu menjadi petunjuk awal di mana Gadis nekat mencari tau seluruh kebenaran yang sudah lama ia pendam. Sejujurnya Gadis hanya ingin bertemu dengan Ayahnya. Itu saja. Perihal Aat memiliki keluarga baru, dia sudah tak peduli. Rasa rindunya sudah memuncak, tak bisa diredam hingga belasan tahun lagi.
Ponselnya berdering, ia menatap sekilas. Gadis tak ingin menjawab telepon itu. Deringnya berhenti, dilanjut dengan notifikasi pesan dari Wildan. Gadis tersenyum, ia membiarkan pesan itu, sedangkan di kamar yang jauh dari lokasinya, Wildan masih menunggu balasan dari Gadis.
….
Mentari memunculkan sinarnya, memperlihatkan aktifitas Asrama Brigif Linud 18 dengan para tentara yang menggunakan pakaian loreng-loreng sedang berjaga di pintu masuk kawasan. Termasuk Gunawan yang berpamitan pada Novi untuk memulai apel pagi. Orang tua Wildan yang sering memamerkan keromantisan itu membuatnya tetap serius mencuci motor tanpa menoleh.
Eza yang hanya berjarak lima rumah dari Wildan menghampiri sahabat kecilnya. Eza bertegur sapa dan bertengger memegang setir motornya.
“Dan…” sapa Eza terkekeh. Wildan menoleh sekilas, tak menyahut. Ia masih asyik mencuci motor.
“Masih ingat sama cewek yang ini nggak….” Eza membantu Wildan memegang selang air dan mengucurkan tepat di motornya.
“Heh…arek iki rek! Wes, wes, minggir, ojok ganggu ae!” Wildan memarahi Eza.
“Aku dulu pengin dekat sama cewek yang sering main sama kamu, Dan. Ingat nggak?” ucapnya dalam bahasa jawa.
“Cewek?” Wildan seakan berpikir.
“Hmm, dia dua tahun lebih muda dari kita.” Eza memberikan petunjuk ingatannya.
“Siapa sih?” ucapnya menoleh pada Eza.
“Ini lho, yang katanya dia pindah ke Surabaya karena ada masalah di asrama. Kamu waktu itu mau cerita tapi nggak jadi.” Eza mengangguk-angguk, merasa ucapannya benar. Wildan masih belum mengerti maksud pembicaraan Eza.
“Namanya Gadis.” Eza menekan nada bicaranya, membuat Wildan terperangah.
“Oh, ya Gadis. Kenapa emangnya?” Wildan mengambil selang yang dipegang Eza.
“Aku ketemu dia tiga hari yang lalu.” Lelaki itu nampak melamun.
“Sudah ketemu Gadis, Dan?” lanjutnya. Wildan mengangguk.
“Bangsat!” Eza meninju lengan Wildan, tertawa kecil.