Gadis

Melia
Chapter #8

BAB 7

Tiap hari, aku menyesali pertemuan tak sengaja kita, andai saat itu Mas Wildan tidak mengenaliku mungkin aku masih mencari keberadaan sang Ayah. Kamu membantuku dengan sepenuh hati, kesetiaanmu benar-benar dipertaruhkan. Namun anehnya, Tuhan seakan merencanakan takdirmu yang berjalan cepat. Kalau boleh aku meminta, bisakah kita panjangkan waktu untuk bertemu dan berbincang lagi, Mas?

Keesokan harinya, Wildan membuka pintu Fiona Florist, lagi-lagi motto toko disuarakan. Namun suara itu bukan milik Gadis, Wildan menatap seseorang yang tengah menggantikan posisinya.

“Halo, Kak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap karyawan tersebut. Wildan memakai seragam tentara lengkap sambil memegang dua cup minuman untuk ia berikan pada Gadis.

“Gadis mana ya, Mbak?” ucapnya to the point.

“Oh, hari ini Gadis izin nggak masuk, Kak. Lagi sakit, katanya,” jelas karyawan.

“Oh, oke thanks.” Wildan membalikkan badan lantas berlari keluar. Ia segera meninggalkan Fiona Florist.

Lelaki itu memasuki halaman kos pelangi dan meletakkan motor khusus di tempat parkir. Ia menimang-nimang untuk mengambil strategi supaya tak dimarahi oleh pemilik kos lagi. Apalagi ia memakai baju tentara. Bu Retno tengah menjemur pakaian saat Wildan datang. Lelaki itu berjalan pelan menghampirinya. Ia berpikir dan mencari cara supaya diizinkan bertemu Gadis.

“Permisi, Bu,” ucapnya pelan.

“Iya ada, apa?” Bu Retno menoleh, menatap Wildan dari ujung kaki hingga kepala.

“Lho, sebentar. Kamu yang kemarin jemput Gadis kan?” tebaknya.

“Oh, jadi kamu ini TNI, toh.” Bu Retno menunjuk Wildan yang tersenyum mengangguk.

“Saya mau bertemu Gadis apa bisa, Bu? Tadi saya datang ke tempat kerjanya, ternyata Gadis sedang sakit. Saya takut Adik saya kenapa-kenapa,” ucapnya memelas.

“Ya sudah, kamu tau kamarnya kan? Ini lho tepat di atas rumah saya.” Bu Retno menunjuk balkon Gadis yang masih tertutup dengan lampu menyala.

“Terima kasih, Bu.” Wildan segera menaiki anak tangga dengan langkah cepat.

Lelaki itu mengetuk pintu Gadis berkali-kali tak ada sahutan, ia khawatir. Sekali lagi dengan ketukan paling keras ia mencobanya. Pintu dibuka menampilkan Gadis dengan piyama dan rambut acak-acakan. Wildan menghela napas lega, sedangkan lawan bicaranya justru kebingungan.

“Mas? Kenapa di sini?” Gadis menatap Wildan dengan raut muka bingung.

“Tadi aku ke Fiona Florist kamu nggak ada.” Wildan memasuki kamar begitu saja membuat Gadis melongo. Lelaki itu mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar Gadis.

“Heh, heh, Mas! Nanti kalau di lihat orang gimana, ini kan kos putri,” ucapnya sambil mengikuti langkah Wildan. Lelaki itu membuka tirai jendela dan mematikan lampu balkon.

“Ya makanya diam, jangan bawel. Nanti tetangga kos mu curiga kalau ada cowok di sini.” Wildan duduk di kursi kayu miliknya, sedangkan Gadis berdiri menatap Wildan heran. Tangannya menenteng kantong plastik yang terlihat mengembun hingga bulir airnya menetes ke lantai.

“Ini minum dulu. Kamu sakit?” tanyanya khawatir. Gadis menggeleng, ia mengambil cup es dari tangan Wildan lantas menyeruput minuman.

“Nggak usah khawatir, aku punya cara buat bantu kamu.” Wildan menatap Gadis serius.

“Nanti kamu datang ke kafe biru jam lima sore ya. Nanti aku di sana, tapi sekarang mau piket dulu.” Wildan beranjak, ia memegang kening Gadis.

“Aku nggak demam ya.” Gadis membuang tangan Wildan sembarangan.

“Waduh, waduh. Santai dong,” balasnya sambil tertawa.

“Ya sudah, aku pergi dulu,” lanjutnya. Gadis mengangguk perlahan.

Wildan pergi meninggalkan kos dengan perasaan senang. Ia membuang minumannya yang sudah habis ke tempat sampah dan menuruni anak tangga dengan langkah sigap. Wildan menatap ke arah balkon Gadis. Perempuan itu mengulas senyum dan melambaikan tangan dari balik tirai jendela. Wildan membalasnya sambil berjalan mundur. Lelaki itu melenggang jauh meninggalkan kos pelangi dengan tarikan bibir yang semakin mengembang.

Gadis menatap lekat-lekat tulisan Café Biru di atas pintu masuk. Ia bergegas ke dalam untuk menemui Wildan. Café itu tidak terlalu luas, hanya berbentuk kotak sehingga memudahkan seseorang mencari siapa saja yang berlalu-lalang. Gadis celingukan mencari keberadaan Wildan. Matanya menangkap sosok laki-laki yang ia temui beberapa hari ini. Gadis sontak membalikkan badan, ia memasang ekspresi khawatir. Eza menatap seorang perempuan yang berdiri menghalangi pintu masuk. Lelaki itu menyipitkan mata lalu tersenyum.

“Gadis!” panggilnya. Gadis terpaksa meminggirkan badan saat beberapa orang memaksa masuk. Perlahan Gadis menoleh, ia menutup wajah dengan satu tangan.

“Sini! Cari Wildan, kan?” teriaknya. Gadis mengangguk pelan lantas ragu-ragu berjalan menghampiri Eza. “Duduk aja.” Eza mempersilakan kursi di sampingnya, ia tersenyum.

“Oh, makasih,” balasnya.

“Mungkin Wildan masih di perjalanan, dia minta tolong aku untuk bantuin kamu,” terang Eza.

“Lho, Mas Wildan cerita?” tuduhnya.

“Sedikit, sih. Garis besarnya aja kok. Intinya Wildan bilang, kalau kamu lagi cari seseorang yang bernama Aat Prawijaya. Itu Ayahmu kan, Dis?” Eza menjelaskan dengan hati-hati. Gadis mengangguk pasrah. Eza menyodorkan menu café dan menunjuk satu minuman kepada barista. Lima menit kemudian, Wildan datang menggunakan kaos hitam dan celana pendek, ia meletakkan topi di meja. Wildan menatap Gadis yang tengah cemberut.

“Sudah pesan minum belum?” tanya Wildan.

“Masih dibikin sama barista,” jawab Eza cepat.

“Oh ya, Dis. Ini Eza, temanku waktu di Asrama. Kita dulu pernah satu kelas di sekolah,” terang Wildan.

“Tau, kok” jawabnya cuek. Wildan mengernyit, ia seakan mengetahui permasalahan Gadis. Wildan mendekatkan kursinya, ia menatap Gadis yang kini melamun.

“Dis, untuk alamat dari Bi Sumi masih kamu simpan, kan?” tanya Wildan halus, Gadis mengangguk.

“Oke, nanti Eza yang bakal bantuin kamu ya.” Wildan mempersilakan Eza untuk berbicara.

Yup! Ini rencana dari aku ya. Kita akan melakukan pencarian selayaknya detektif dan survei ke desa yang dituju dengan menyamar sebagai mahasiswa. Kita datang aja ke rumah warga satu-persatu untuk meminta kartu keluarga. Terus tiap KK kita foto aja, sebagai arsip. Kalau Gadis nanti mencurigai sesuatu, kamu tinggal bilang. Nanti aku bakal cari cara buat ngomong,” tutur Eza panjang lebar. Gadis menatap Eza kagum, tak lama ia memasang muka bingung.

“Tapi kenapa kok tiba-tiba kita minta kartu keluarga mereka?” tanya Gadis tak mengerti.

“Bilang aja kita mau melakukan penelitian tesis. Kebetulan aku mau wisuda dua minggu lagi. Jadi masih bisa beralasan untuk cari data tambahan,” ujar Eza sambil mengambil minuman yang diulurkan Barista.

“Apa warga nggak curiga? Kenapa kita nggak langsung ke rumah Kepala Desa aja untuk cari kartu keluarga?” ujar Wildan. Gadis mengangguk-angguk, mengiyakan usulan Wildan.

“Eh iya bisa juga tuh sekalian hemat waktu,” balasnya sambil menyeruput minuman.

Lihat selengkapnya