Bentuk perhatian kecilmu itu menghunjam seluruh tubuhku, siapa yang tidak luluh dengan rasa sayangmu yang jelas-jelas tertuju padaku? Aku merasa dihargai, perasaan tersanjung itu datang lagi setelah sekian lama tak pernah diketahui.
Wildan membuka pintu Fiona Florist, ia membawa kantong hitam di tangan. Gadis tersenyum senang mengetahui siapa yang datang. Seminggu ini Wildan tidak menemui Gadis karena tugas negara, namun Eza tetap mendatanginya untuk menanyakan kabar. Ia mengambil minuman dari tangan Wildan.
“Gimana kemarin?” tanya lelaki itu sambil mengusap kepala Gadis.
“Apanya yang gimana?” tanya Gadis.
“Penelusurannya lancar, nggak? Ketemu sama Ayah?” Wildan menatap Gadis lekat-lekat.
“Nggak ketemu,” jawabnya singkat.
“Ya sudah nggak papa, pelan-pelan aja nanti ketemu.” Wildan tersenyum.
“Mas, aku kayaknya mau ambil cuti dua hari deh,” ujar Gadis tiba-tiba.
“Cuti? Untuk apa?”
“Mau pulang ke Surabaya.” Gadis memalingkan muka, Wildan tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
“Oh, hari apa? Aku antar ya sekalian ketemu Tante.” Wildan menawarkan diri. Gadis memutar bola matanya ke atas, seakan berpikir.
“Boleh, deh.” Gadis menyetujui.
Wildan berjalan mundur sambil melambaikan tangan. Pintu lonceng berbunyi, Wildan meninggalkan Fiona Florist dan menaiki sepeda motornya. Lelaki itu menatap Gadis dari kejauhan, ia masih menikmati minuman pemberian darinya. Gadis sesekali tersenyum merasakan air es masuk ke dalam mulut. Wildan terenyuh, ia berjanji tidak akan membiarkan Gadis sendirian lagi.
…
Wildan menghampiri kos Gadis dengan ketukan di pintu. Lelaki itu enggan memanggil namanya karena takut memancing banyak perempuan di kos putri. Gadis menyahut dari dalam kamar untuk menunggunya sebentar. Tak lama, pintu dibuka menampilkan Gadis dengan dress selutut serta lengan di tutup cardigan. Wildan mengerjap beberapa kali, ia menatap lama Gadis.
“Kenapa, Mas? Nggak pernah lihat cewek cantik, ya?” Ia tersenyum manis. Gadis keluar kamar lalu mengunci pintu.
“Sering sih, tapi kenapa yang barusan ini lebih cantik, ya?” Wildan tertawa, Gadis mencubit lengan lelaki itu dan turun lebih dulu.
“Dis, tunggu!” Wildan mengejar Gadis menuju tempat parkir mobil, mereka tertawa bersama. Momen itu berganti saat usia mereka masih delapan dan sepuluh tahun. Keduanya berlarian di lapangan. Saat Wildan berhasil mendapatkan Gadis, ia memeluk dan tidak melepasnya. Keduanya lagi-lagi tertawa.
…
Surabaya, 2021.
Siang itu Wildan dan Gadis berjalan memasuki gang bertuliskan nomor tiga. Empat bulan sudah Gadis meninggalkan Surabaya, kini ia kembali menemui Nirina dan Alma karena rindu. Rumah sederhana dengan warung sembako di depan teras menyejukkan hati Gadis. Mengingatkan dirinya yang selalu membantu Ibu membereskan dagangan. Matanya menangkap sosok Nirina yang tengah melayani pembeli. Gadis berhenti sesaat, menunggu para pembeli keluar dari rumah. Wildan mengikuti gerakan Gadis.
“Ibuuuuuu!” teriak Gadis lantas berlari memeluk Nirina. Perempuan yang kini berusia 42 tahun menoleh ke sumber suara. Nirina menghampiri putrinya dengan tangis haru.
“Kamu ini kenapa nggak pernah pulang? Ibu kan kangen.” Nirina tak melepas pelukannya. Ia masih betah berdiri mendekap Gadis. Nirina melihat seorang laki-laki di belakang putrinya.
“Nduk, ini siapa?” Nirina melepas pelukan. Gadis menoleh, Wildan terlihat mencium tangan Nirina.
“Tante, ini saya Wildan.” Lelaki itu memperkenalkan diri, membuat Nirina tersentak.
“Wildan? Wildan putranya Pak Gunawan?” Nirina menatap Gadis dan Wildan bergantian, lelaki itu mengangguk.
“Ya ampun, bagaimana kabarmu, Wildan? Dulu kau masih kecil sekali sekarang sudah dewasa seperti ini.” Nirina berdecak kagum menatap Wildan yang lebih tinggi darinya. Wildan tersenyum menggaruk kepala.
“Bu, kita ngobrol di dalam aja yuk.” Gadis membimbing Nirina masuk.
Gadis dan Wildan menjelaskan bagaimana pertemuan mereka saat di Malang, kecuali pada bagian penelusuran Aat Prawijaya. Gadis memegang tangan Nirina, mengusapnya lembut. Perasaan khawatir mulai mereda di wajah Ibunya. Gadis menyandarkan kepala di bahu Nirina.
“Gadis aman kok, Te. Saya ketemu Gadis seminggu setelah ia kerja di sana. Gadis bakal saya jaga terus.” Wildan melempar senyum ke arah Gadis. Nirina menatap putrinya yang terlihat salah tingkah.
“Wildan, makasih banyak ya sudah antar Gadis ke sini,” ucap Nirina lembut.
“Iya, Bu. Aku jadi irit ongkos.” Gadis tertawa.
“Hush!” Nirina memukul pelan bibir Gadis, membuat Wildan tertawa seketika. Alma datang mengucapkan salam sambil melepas sepatu. Terlihat beberapa sandal berserakan di teras. Ia mengernyit, apa ada tamu di rumah, pikirnya. Alma berteriak memanggil sang Ibu saat ketiga orang itu duduk di ruang tamu. Mata Alma membelalak ketika Gadis menghampirinya. Alma dan Gadis berteriak kegirangan. Gadis mencubit pipi Adiknya, meninggalkan bekas kemerahan. Tak lama, Wildan pamit pulang karena ia akan apel[1] malam di Asrama Brigif Linud 18. Alma mencium tangan Wildan dan mengantarnya ke depan rumah.
“Halo, cantik sekali kamu.” Wildan mengusap rambut Alma.
“Iya dong, Mas ini siapanya Kakakku? Pacar ya? Hayooo!” goda Alma.
“Emang Alma izinin Kak Gadis buat pacaran sama aku?” tanya Wildan malu-malu.
“Boleh kok, Kakakku kan baik. Mas baik juga nggak?” Alma balik bertanya.
“Baik dong! Doain supaya nanti Kak Gadis mau jadi pacar aku ya.” Wildan tersenyum, alma mengacungkan jempol tangan padanya. Gadis keluar menghampiri keduanya yang asyik mengobrol di kursi teras. Gadis memegang pipi sang Adik dan menyuruhnya masuk. Wildan beranjak dari kursi lalu menatap Gadis.
“Aku pulang dulu ya,” pamit Wildan.
“Iya, hati-hati ya, Mas.” Gadis tersenyum sambil berjalan lebih dulu. Keduanya keluar dari gang sambil bercengkerama. Gadis mengantarkan Wildan ke mobil yang terparkir di depan gang. Wildan memeluk Gadis erat, “Dis, hubungi aku kalau kamu mau pulang.” Gadis mengangguk pelan, ia terlihat salah tingkah saat lelaki itu melepas pelukan. Wildan melambaikan tangan meninggalkan kediaman Nirina. Ia mengemudikan setir menuju Asrama Brigif Linud 18 untuk melaksanakan tugas negara.
…
Sehari penuh di rumahnya, Gadis tak henti bercerita tentang suasana di Malang. Nirina mendengar tiap cerita Gadis yang seakan seru, ia juga melihat putrinya bahagia tidak seperti yang ia bayangkan. Wildan menjadi salah satu alasannya betah tinggal di Malang. Gadis merasa dirinya sudah lebih baik di mata Nirina, tapi ia menepis semua pernyataan itu.
Alma juga acapkali mendengar ocehan yang keluar dari mulut Kakaknya. Ia memangku tangan, menatap Gadis yang bersemangat. “Kak, kapan-kapan Alma mau ikut ke Malang dong,” ucap Alma seketika membuat Nirina sedih. Gadis menangkap raut wajah yang ditunjukkan sang Ibu. Ia lantas mengangguk senang, mengiyakan ucapan Adiknya.
Keesokan harinya, Gadis pamit pada Nirina dan Alma untuk kembali ke Malang. Ia harus mempersiapkan diri untuk kembali bekerja Senin depan. Wildan sudah mengirimkan pesan padanya untuk menunggu di stasiun Malang. Ia mencium pipi Nirina dan Alma bergantian.
“Nduk, kasih salam ke Om Gunawan dan Tante Novi ya, sudah lama Ibu nggak bertemu mereka,” ucap Nirina pelan.
“Siap, Bu!” Gadis mengambil helm yang diulurkan sang ojek. Ia tersenyum menatap Alma dan Nirina yang mulai menjauh dari pandangan.
Gadis menaiki kereta api dan duduk di gerbong sesuai nomor yang tertera di tiket. Dua jam perjalanan membuatnya tak mengantuk. Ia menggunakan headsheat untuk mengusir rasa bosan. Cuaca siang itu menyilaukan wajah Gadis dari pantulan kaca gerbong.
…