Perasaan yang awalnya mengecil ternyata melebar hingga memenuhi hati. Luka yang selama ini tertutup rapat, memang terbuka dan menuai keluar. Tapi setelah aku bertemu Mas Wildan, luka itu justru terkunci dan berhenti di tempat selamanya.
Gadis menyendiri di kamar kos, ia termenung menatap balkon. Hujan deras menyelimuti perasaan Gadis yang makin tenggelam. Gadis belum berangkat kerja sebab ia tak memiliki payung untuk menempuh jalan ke Fiona Florist. Ia sudah bersiap pergi, namun hujan menyuruhnya untuk tetap tinggal. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Gadis menoleh. Ia membuka pintu sambil mendongak keluar.
“Mas Wildan?” ucap Gadis kaget.
“Yuk, berangkat. Aku antar.” Wildan membawa satu payung besar, ia mengenakan seragam tentara lengkap. Gadis mengerjap lalu mengangguk. Tangannya mengambil tas dan segera mengunci kamar.
Wildan menuruni tangga lebih dulu, berhati-hati lantaran licin terkena rintikan air. Lelaki itu menuntun dan menggenggam tangan Gadis erat, mereka berlari menuju mobil. Wildan memeluk Gadis supaya tak terkena air hujan. Keduanya sudah berada di dalam mobil, Gadis mengambil tisu dan membersihkan tangan. Ia juga memberikan benda itu kepada Wildan.
“Lagi nyetir, Dis,” ucapnya tanpa menoleh. Wildan tengah membelokkan kemudi keluar dari pelataran kos. Gadis memajukan badan berinisiatif membersihkan wajah Wildan dengan tisu. Lelaki itu terperangah, ia berusaha menutupi kegugupannya.
“Sudah bersih, Mas.” Gadis tersenyum manis.
“Hmm,” Wildan hanya berdeham, ia salah tingkah, namun Gadis tak mengetahui gerak-geriknya.
“Nanti pulang kerja jam berapa? Aku jemput aja sekalian cari Ayah.” Wildan memberhentikan mobil tepat di depan Fiona Florist.
“Mas, kalau aku cari Ayah sendiri nggak papa kan? Aku nggak mau bikin Mas Wildan repot. Aku juga nggak mau sampai ganggu waktu kerja Mas Wildan,” pinta Gadis lembut.
“Dis, aku nggak pernah merasa keganggu. Kamu jangan bilang gitu, kalau pun aku nggak bisa, aku selalu minta tolong Eza, kan? Kenapa? Apa Eza bikin kamu kesal?” tuduh Wildan.
“Nggak, Mas. Ini kan masalahku, jadi mending aku selesain sendiri aja ya,” ujar Gadis pelan.
“Ya sudah, bawa payung ini. Kamu harus kerja sekarang.” Wildan mengambil payung di bangku belakang dan menyerahkan pada Gadis.
“Mas…” Gadis menerima payung itu dari Wildan.
“Aku sudah tau Ayahmu di mana, nanti kita pergi sama-sama.” Wildan menatap lurus ke depan. Gadis menunduk, ia membuka seatbelt dan keluar dari mobil. Gadis berlari kecil menuju teras Fiona Florist. Wildan memundurkan mobil sambil menatap Gadis yang berdiri memegang payung.
Wildan menyetir kemudi memasuki kawasan Asrama Brigif Linud 18, ia menyapa beberapa orang yang sedang jaga di provos. Wildan menuju rumahnya, mengganti kendaraan roda empat dengan sepeda motor. Ia lantas pergi ke Sekolah Dasar yang menjadi fasilitas putra-putri TNI untuk belajar di sana. Sekelebat bayangan muncul saat Gadis kecil mengejar Wildan untuk meminta uang. Saat itu Wildan merasa Gadis hanya beban baginya, dan selalu menghabiskan jajan miliknya. Namun entah kenapa, ia membiarkan Gadis bersikap bebas padanya. Lelaki itu tersenyum saat melihat Gadis kecil menatapnya dari balik pintu kelas. Ia berlari dengan beberapa teman yang sedang bermain petak umpet. Wildan menggelengkan kepala, tersadar dari lamunan. Lelaki itu pergi dari Sekolah Dasar Kemantren, meninggalkan seluruh kenangan saat bersama Gadis.
…
Semakin hari aku semakin bersemangat untuk pergi ke mana pun bersama Mas Wildan. Sampai ia berjanji untuk menjagaku selalu, tapi ia tidak berjanji untuk menjagaku selamanya. Doanya tidak utuh, tidak terdengar oleh Malaikat dan tidak di ijabah karena kalimatnya kurang spesifik. Bukan Mas Wildan yang salah, kalimatku yang kurang melengkapi doamu.
Gadis terdiam, ia memandang ke arah pintu kaca. Jam dinding telah menunjukkan pukul 15.45 WIB, lima belas menit lagi jam kerjanya habis. Gadis bersiap membersihkan seluruh bunga yang berserakan di meja, menata ulang pot bunga yang bergeser dan mengambil beberapa tangkai bunga yang tercampur di pot lain. Gadis bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka. Ia menguncir satu rambut ke belakang. Ponselnya berdenting, ada satu pesan dari Eza. Gadis tersenyum manis saat membaca pesan dari Eza. Pintu Fiona Florist berbunyi akibat loncengnya, Gadis melihat Wildan menghampiri dirinya.
“Sudah tutup kan, Dis?” tanya Wildan. Lelaki itu sudah mengganti seragam TNI dengan kaos hitam lengan pendek dan celana cargo.
“Sudah, Mas. Yuk, berangkat?” Gadis meletakkan ponsel dalam tas, ia belum membalas pesan dari Eza. Tak lupa, Gadis membalikkan papan tulisan dari open menjadi closed.
“Mau makan dulu, Dis?” tanya Wildan.
“Nanti aja, Mas. Kalau Ayah sudah ketemu aku mau sekalian makan sama Ayah.” Gadis tersenyum senang membayangkan dirinya akan bertemu Aat Prawijaya. Wildan menarik napas panjang, perasaannya tidak sama dengan apa yang dilontarkan Gadis barusan. Lelaki itu hanya takut ekspektasi Gadis terlalu tinggi, ia tidak melanjutkan pembicaraan.