Gadis

Melia
Chapter #11

BAB 10

Hari di mana pada akhirnya aku bisa menemukan Ayah setelah sekian lama berpisah. Sejujurnya, bukan karena ia telah gagal menjadi sosok Ayah yang kuinginkan, tapi cara bertahannya yang membuatku tersentuh. Ya aku berhasil. Aku berjumpa dengan Aat Prawijaya, Ayah kandungku. Aku tidak menyalahkan yang terjadi saat ia memutuskan pergi, aku tetap menghormatinya sebagai panglima tentara yang akan kujaga hingga nanti.

Gadis melihat Buku Yasin, Biodata TNI, foto keluarga, serta foto tiga kali empat milik Vita yang seluruhnya sudah Gadis ketahui sekarang. Aat dan Vita sudah resmi bercerai sejak tahun 2020, tangannya bergerak menyobek dua foto itu dan membuangnya ke tempat sampah, sedangkan buku yasin dan biodata itu tetap berada di atas meja. Hari ini adalah malam keberuntungan bagi Gadis, setelah berhari-hari melakukan pencarian, Gadis bertemu Ayahnya. Aat Prawijaya didiagnosis stroke, hancur hati Gadis saat melihat keadaan Aat untuk pertama kalinya. Ia mengenal sosok sang Ayah yang selalu berdiri tegap dan sehat kini dihadapkan dengan fisik lemah.

Gadis menatap jam dinding, pukul 23.00 WIB, ia mengambil ponsel yang sedari tadi belum diperiksanya. Gadis memasang charger dan meninggalkan handphone di atas meja. Ia merasakan pusing kepala yang amat berat dan memutuskan tidur. Ponsel memunculkan panggilan tak terjawab dan pesan notifikasi beberapa kali.

Keesokan harinya, Wildan menuju Fiona Florist. Wildan membuka pintu kaca sehingga lonceng berbunyi kencang. Ia tidak menemukan Gadis di tempat biasa, Wildan bertanya pada seseorang yang menggantikan posisi Gadis.

“Oh, si Gadis izin, Kak. Katanya sih ada urusan keluarga,” ujar si cewek.

Wildan segera meninggalkan Fiona Florist menuju kos pelangi. Lelaki itu menutup pintu mobil dan menghampiri Bu Retno yang tengah menyapu halaman. Wildan bertegur sapa pada Bu Retno.

“Eh, kamu lagi. Mau cari Gadis?” tanya pemilik kos ramah, lelaki itu mengangguk cepat.

“Gadis dari pagi sudah pergi sih, Mas.” Bu Retno menatap balkon kamar Gadis, lampunya masih menyala. Wildan berpamitan pada Bu Retno dan bergegas mengemudikan setir.

Wildan tiba di Panti Jompo Werdha Pangesti, ia memasuki instansi tersebut dengan langkah panjang. Wildan menghubungi ponsel Gadis, namun tidak aktif. Kekhawatiran itu memudar saat matanya menemukan Gadis tengah menyuapkan nasi ke mulut Aat. Mereka berada di taman dengan kolam ikan berada di sekelilingnya.

“Yah, pelan-pelan makannya.” Gadis tersenyum sambil sesekali mengusap mulut sang Ayah dengan tisu. Wildan berjalan pelan ke arah keduanya, ia mengambil sikap hormat menghadap Aat Prawijaya. Begitupun dengan Aat, tangannya ia sejajarkan searah kepala. Wildan lantas mencium tangan Aat, mereka saling menghormati satu sama lain. Gadis memandang Wildan lekat-lekat, lelaki itu duduk di sisinya. Wildan menatap kertas putih berisi tulisan-tulisan, ia membacanya sekilas lantas menatap Gadis.

“Berkomunikasi dengan ini, Dis?” tanya Wildan bingung.

“Iya, Mas. Ayah kesulitan berbicara,” ucapnya. Wildan mengangguk-angguk, mengerti.

“Hm, Mas Wildan sendiri ke sini?” tanya Gadis basa-basi.

“Iya lah, sama siapa lagi. Ponselmu rusak kok nggak aktif?” tanya Wildan curiga.

“Ya aku pikir Mas Wildan sama Eza. Eh, astaga aku belum balas pesan Eza kemarin.” Gadis menepuk dahinya. Aat menunjuk kertas dan pena di samping Gadis, Wildan memberikannya. Aat menuliskan sesuatu, mereka berdialog dengan perantara kertas.

Siapa Eza?

“Eza itu teman Mas Wildan, Yah. Dia itu baik,” Gadis sumringah saat membayangkan Eza. Wildan memukul kening Gadis pelan.

“Minum buat Ayah mana?” ucap Wildan, ia mencoba menutupi rasa cemburu.

“Oh, iya. Sebentar.” Gadis pergi ke dapur mengambil air minum.

Wildan berbicara pada Aat Prawijaya, sekaligus bercerita bagaimana Gadis dan dirinya bisa bertemu, juga memuji kecantikan Gadis di depan Aat.

Kau suka dengan Gadis, Wildan?

Tangan Aat lancar menulis. Wildan mengangguk dan tersenyum. “Kalau putri Om saya lamar, boleh ya?” tanya Wildan terus terang.

Saya percaya sama kamu.

Aat mengangguk, Wildan mencondongkan tubuhnya membaca tulisan di kertas lantas tersenyum. Gadis kembali sambil membawa air minum di gelas. Ia juga mengambil sedotan untuk memudahkan sang Ayah. Gadis melirik kertas di sisi Wildan, ia membacanya sekilas dan tertegun saat sang Ayah menanyakan suatu hal yang tidak pernah terpikirkan di benak Gadis. Wildan terlihat memijat kaki Aat Prawijaya.

Mobil memasuki kawasan Asrama Brigif linud 18, Gadis bingung saat mobil melenggang jauh ke dalam asrama. “Mas, kenapa kita ke sini? Kamu nggak antar aku pulang ke kos?” Gadis menoleh ke kanan dan kiri.

“Tadi aku sempat menanyakan kartu asabri[1] pada om Aat, ternyata kartu itu sudah dibakar oleh Istri keduanya, Bu Vita. Sebenarnya kalau Asabri itu bisa diuangkan, nanti bisa digunakan untuk pengobatan Ayahmu, Dis,” terang Wildan menatap lurus ke depan.

“Aku mencoba mengusahakan kartu itu ke Papa. Apa kamu masih ingat wajah Papaku, Dis?” tanya Wildan.

“Wajah Mas Wildan aja aku lupa, gimana sama wajah Papamu?” tanya Gadis polos membuat Wildan tertawa.

Mobil menyusuri tiap jalan yang Gadis ingat kala itu, semua titik di kawasan asrama mengingatkan Gadis saat kecil. Gadis terdiam saat mobil melewati Sekolah Dasar Kemantren, tempat belajarnya dulu selama dua tahun, lantas melewati sel tahanan prajurit tentara yang tergabung dengan koperasi. Gadis menunduk mengingat sekelebat bayangan saat ia mengantarkan makanan ke Ayahnya lima belas tahun lalu.

Gadis membuka jendela dan merasakan udara masuk ke dalam mobil, rambutnya beterbangan menyibak ke belakang, Gadis tersenyum. Wildan menepikan mobil tepat di depan rumah dinas.

“Assalamualaikum, Pa.” Wildan masuk rumah sambil terkekeh. Hari ini ia mengambil cuti sehari tanpa pemberitahuan Gunawan. Ia hanya takut diinterogasi lebih dalam.

“Waalaikumsalam, ya allah kau ini ke mana saja. Jam segini baru pulang, mobil dari pagi di cari sudah nggak ada. HP di telepon nggak di angkat. Ke mana saja kau ini!” Gunawan sudah bersiap memukul Wildan dengan bantal sofa, namun mengurungkan niat saat melihat perempuan muncul dari balik punggung Wildan.

“Siapa dia, Nak? Kau apakan dia? Jangan-jangan kau mau minta pertanggungjawaban sama anak saya?” tuduhnya kepada Gadis.

“Apa sih, Pa. Ini Gadis, putrinya Om Aat Prawijaya. Papa masih ingat nggak?” Gunawan memandang Gadis lekat-lekat, Novi yang mendengarkan putranya berbicara dari kamar sontak keluar menatap perempuan di samping Wildan.

“Ha? Gadis? Mana?” Novi menghampiri dan menatap Gadis lama, ia memeluknya. Gadis tersanjung dengan sikap Novi.

“Ini serius Gadis putrinya Bu Nirina?” tanya Novi sambil memegang wajah Gadis yang mengangguk pelan.

 “Ya ampun Gadis, kau tumbuh dengan baik. Kau sangat cantik, pasti Ibumu merawatmu dengan hati-hati.” Novi mengusap rambut Gadis pelan, ia membimbingnya duduk di sofa.

“Oh ya, kemarin Ibu ada titip salam rindu buat Tante sama Om.” Gadis tersenyum, keduanya sontak menjawab salam dari Nirina.

“Kau sudah bertemu dengan Ibunya Gadis, Nak?” tanya Gunawan pada Wildan.

“Sudah, Pa. Kemarin waktu Wildan ke Surabaya sama Gadis.” Gunawan menggelengkan kepala melihat tingkah putranya.

“Ya beginilah Wildan, Nduk. Dari dulu tidak pernah berubah, dia masih bandel sejak kecil. Ingat sekali aku, waktu kau diganggu olehnya sampai menangis.” Gunawan tertawa mengingat kejadian itu. Gadis cemberut menatap Wildan yang hanya dibalasnya dengan tawa. Wildan mencoba menemukan momen yang tepat untuk bercerita bagaimana pertemuan keduanya dengan Gadis sekaligus pencariannya menemukan Aat Prawijaya. Penjelasan Wildan membuat orang tuanya tertegun.

“Pa, kira-kira kalau kartu Asabri hilang, bagaimana?” tanya Wildan.

Lihat selengkapnya