Gadis

Melia
Chapter #12

BAB 11

Kalau aku bisa menarik ucapanku saat itu, mungkin aku akan melakukannya. Namun ternyata malaikat menyetujui doaku dan tuhan mengabulkan itu terjadi. Aku tidak bisa membayangkan kesedihan yang Mas Wildan alami waktu itu. Maaf, aku membuatmu kecewa, padahal aku sudah tau Mas Wildan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bersamaku.

Minggu pagi para pedagang yang sering menggandrungi kos pelangi nampak sepi. Gadis bersiap-siap untuk lari bersama seseorang, ia menggunakan setelan olahraga berwarna abu-abu dan menguncir satu rambut ke belakang. Gadis mengunci kamar dan berjalan santai ke lokasi yang telah ditentukan.

Eza tersenyum saat Gadis membalas pesannya. Ia menyetujui ajakan Eza untuk joging bersama di kawasan Asrama Brigif Linud 18. Lelaki itu menawari untuk menjemputnya namun di tolak oleh Gadis. Eza akan menunggunya di depan provos.

Gadis menyeberang jalan sambil memasang headsheat. Ia menatap tulisan Brigif Para Raider 18 dengan besi yang melintang setengah lingkaran di pintu masuk. Jalanan itu terbagi menjadi dua, antara pintu masuk dan keluar. Saat memasuki asrama, matanya menangkap sosok tinggi yang ia yakini adalah Eza. Gadis menghampiri lelaki itu dengan perasaan senang. Eza terlihat tampan saat keringat mengucur di pelipis, rambutnya terlihat acak-acakan.

“Hai, Dis. Capek nggak?” tanya Eza setibanya Gadis di asrama.

“Nggak kok, soalnya aku jalan,” ucap Gadis tertawa.

“Oh, pantas aku tunggu lama banget.” Eza mengikuti tawa Gadis.

“Mau pergi ke lapangan belakang masjid?” Eza menawarkan, Gadis sontak melompat kegirangan.

“Yuk!” Gadis berlari mendahului Eza.

“Dis, tunggu!” Eza berteriak mengejar Gadis.

Mereka berlari kecil menuju lapangan, keduanya duduk di bukit sambil meneguk air. Gadis tersenyum melihat beberapa anak kecil main sepeda di sekelilingnya.

“Kenapa, Dis? Mengingat masa kecil?” tanya Eza.

“Dulu rumahku di samping masjid itu, Za.” Gadis menunjuk rumah dinas miliknya berada.

“Oh ya? Enak dong,” jawab Eza.

“Dulu aku juga sering main sepeda di sini, terus percaya nggak aku dulu pernah panjat pohon kersen lho!” Gadis berdiri di atas bukit, Eza mendongak.

“Sama Wildan?” tanya Eza iseng.

“Iya, sama Mas Wildan.” Gadis tersenyum, menatap lurus ke depan.

“Kamu tau? Tempat ini adalah pertama kalinya aku bertemu Mas Wildan setelah lima belas tahun lamanya.” Gadis membayangkan pertemuan singkat antara dirinya dan Wildan kala itu.

“Eh, Za ke rumah Mas Wildan yuk,” ajak Gadis sambil mengambil botol minum. Gadis lagi-lagi berjalan mendahuluinya. Eza menatap punggung Gadis yang kian menjauh dan tersenyum mengikuti.

Gadis dan Eza berjalan bersisian menyusuri rumah demi rumah, dari kejauhan terlihat Wildan tengah mencuci sepeda motor. Ia serius dengan busa di tangan sampai tak mendengar teriakan Gadis.

“Mas Wildan!” Gadis mengagetkan Wildan dari belakang. Lelaki itu menoleh melihat Gadis dan Eza berkeringat.

“Dis, kok bisa di sini?” tanya Wildan sambil mematikan keran air.

“Lagi joging sama Eza, Mas. Yuk ikut, yuk.” Gadis memegang tangan Wildan, Eza meliriknya sekilas. Wildan menatap Eza lalu membuang muka.

“Nggak, lagi malas,” jawabnya sambil melepas tangan Gadis.

“Pakai sepeda itu aja.” Wildan mengarahkan dagu ke garasi, terlihat sepeda gunung berwarna merah miliknya berjejer rapi.

“Tapi aku nggak bisa pakai sepeda itu, Mas. Terlalu besar, ikut yuk.” Gadis memelas.

“Ya sudah, sama aku aja, Dis. Kamu berdiri di belakang, ya.” Tanpa permisi Eza mengeluarkan sepeda Wildan. Ia bersiap membonceng Gadis. Wildan menatap keduanya serius. Gadis memegang bahu Eza dan mengangkat kakinya di pijakan. Mereka meninggalkan Wildan begitu saja. Jalanan yang mereka lewati seperti perosotan dan Gadis berteriak kegirangan saat angin menyibak rambutnya.

Mereka berdua menyusuri Sekolah Dasar yang dulu pernah ia tempati. Keduanya tertawa bersama, Gadis merasa hatinya sangat senang saat berada di sisi Eza, namun hatinya juga perih saat Wildan tak bersamanya. Tiba-tiba ia ingin kembali menemui Wildan.

“Za, boleh aku naik sepeda ini?” pinta Gadis. Eza mengangguk, ia memberikan sepeda itu. Gadis memegang kemudi sepeda dengan baik dan mulai mengayuh pelan. Gadis sudah jauh meninggalkan Eza sendiri. Saat akan melewati tanjakan, Gadis terjatuh. Eza berlari menghampiri lantas menggendong Gadis ke tepi. Ia menggulung celananya sampai ke betis. Celana Gadis sobek cukup lebar hingga membuatnya meringis kesakitan.

“Sebentar ya, Dis.” Eza berlalu meninggalkannya.

Wildan mencari Gadis dan Eza ke sekeliling asrama menggunakan sepeda motor. Mereka terlalu lama berduaan sehingga Wildan harus bertindak mencari. Matanya menangkap seorang perempuan di samping koperasi. Ia mendekati perlahan dan yakin saat melihat Gadis merintih.

“Dis, kamu kenapa?” Wildan menatap betis Gadis yang baret.

“Eza mana? Kok bisa sampai begini? Kamu diapain Eza?” cecar Wildan.

Eza keluar dari koperasi sambil membawa dua botol mineral, ia hendak membersihkan kaki Gadis yang berdarah. Wildan menatap Eza dari kejauhan, tangannya mengepal erat. Ia menghampiri dan memukulnya dengan satu kepalan tangan.

“Kok bisa Gadis terluka sampai lecet begitu, HAH?” Eza terhuyung ke belakang.

Lihat selengkapnya