Di sanalah aku, menemukan kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan. Aku sempurna di matanya, aku hidup di jiwanya, aku rapuh di relung hatinya. Begitulah ungkapan yang bisa tergambarkan pada sosok Wildan Naratama. Aku bersedia menjadi istrimu, tapi ternyata kebahagiaan itu hanya muncul sesaat, kau mengulanginya lagi seperti apa yang terjadi di hidupku lima belas tahun yang lalu.
Seminggu sebelum Wildan melakukan penyidikan dan penyergapan di Papua, ia sering mengunjungi Gadis di Fiona Florist. Keduanya semakin akrab termasuk orang tua Wildan. Lelaki itu mengajaknya naik sepeda berkeliling asrama. Gadis duduk di depan, sedangkan Wildan mengayuh sepeda sambil meletakkan kepalanya di rambut Gadis. Mereka tertawa menyusuri jalanan di kawasan Brigif Linud 18. Wildan juga memanjat pohon untuk mengambilkan Gadis buah kersen. Ia mengumpulkan buah berbentuk seperti kelereng itu pada kantong berwarna putih.
“Ayo, Dis. Kamu mau ikut ke atas sini?” ajak Wildan. Gadis menggeleng.
“Nggak, nanti aku jatuh lagi,” tolaknya.
“Ya sudah.” Wildan mengedikkan bahu, pohon itu terlihat kecil bagi Wildan lantaran proporsi tubuhnya membesar beda dengan saat dirinya berumur sepuluh tahun.
Gadis dan Wildan sering mengambil foto selfie, keduanya tersenyum menghadap kamera. Gadis sering menemani Wildan saat berolahraga, melatih otot-ototnya sebelum pergi ke Papua. Gadis juga memberikan semangat pada lelakinya. Senyum tawa mengembang di bibir Gadis, Wildan lega bisa membuatnya tersenyum. Dalam hati ia berdoa, semoga selalu seperti ini sepanjang hari.
Di waktu senggang, Gadis pergi ke pusat perbelanjaan mencari sapu tangan. Ia memilih beberapa motif dan warna yang sesuai dengan kepribadian Wildan. Gadis menarik troli dengan banyak barang terletak di sana. Gadis juga memilih benang dan jarum senada dengan warna sapu tangannya. Selesai membayar, Gadis pergi menaiki angkot menuju kos.
Di kamar, Gadis asyik menjahit sapu tangan. Ia mengukir inisial nama W dan G di masing-masing sudut kain itu. Gadis mengambil gunting yang ada di atas televisi. Dirinya tersenyum saat melihat hasil karyanya sangat bagus. Gadis mengambil satu kotak berwarna putih dan memasukkannya ke dalam paperbag mini. Hadiah ini akan ia berikan pada Wildan saat berangkat ke Papua.
…
Tak terasa sudah di penghujung akhir tahun 2021 Gadis berada di kota Malang. Pagi ini Gadis akan menemani keberangkatan Wildan ke Papua. Gunawan dan Novi mengantarnya ke bandara. Wildan lebih dulu berangkat mengemban tugas, sedangkan Gunawan akan menyusul putranya beberapa hari ke depan untuk mengontrol penyidikan di sana. Mereka bertiga bertemu dengan tentara lain yang sama-sama ditugaskan di Pulau Papua.
Gadis berdandan dengan cantik, ia menatap wajahnya pada pantulan kaca. Rambutnya tergerai, membuatnya semakin mempesona. Gadis mengiyakan ajakan Eza untuk pergi bersama. Eza membunyikan klakson mobil tepat di depan kos. Gadis segera mengambil tas dan bergegas keluar kamar lantas menuruni anak tangga dengan hati-hati. Gadis membuka pintu mobil Eza dan tersenyum padanya. Mobil melenggang pergi dari kos pelangi menuju bandara Abdulrachman Saleh.
Eza dan Gadis mengedarkan pandangan, mencari sosok Wildan. Di tengah ramainya tentara yang menggunakan seragam lengkap, Wildan meneriaki Gadis. Ia menoleh ke belakang, tersenyum pada Wildan. Lelaki itu membentangkan tangan, terlihat Gadis berlari menghampiri, meraih pelukan itu. Wildan menangkap tubuh Gadis lantas mengayunkan badannya. Gunawan dan Novi tertawa melihat momen keduanya. Eza tersenyum dari kejauhan, ia menghampiri pelan.
“Heh, sudah-sudah. Belum saatnya.” Gunawan menempeleng kepala Wildan.
“Oh ya, ya maaf.” Wildan melepas pelukan sambil mengusap rambut Gadis.
“Pa, cantik ya,” tanya Wildan pada Gunawan. Novi tersenyum dan memegang lengan Gadis. “Sama sepertiku saat masih muda kan, Pa?” tanya Novi pada suaminya.
“Ya, ya kalian semua cantik. Sudah.” Gunawan memegang dagu lantas tertawa. Wildan memberikan paperbag berwarna pink pada Gadis, ia tersenyum malu saat orang tuanya menggoda lelaki itu.
“Apa ini, Mas?” Tangannya mengambil hadiah itu ragu-ragu.
“Nanti dibuka waktu sampai kos aja.” Wildan membelai pipi Gadis pelan.
“Makasih ya, Mas.” Gadis tersenyum manis.
“Oh iya, ini aku juga ada sesuatu buat Mas Wildan, sebentar.” Gadis merogoh kotak kecil di tas.
“Nih.” Gadis memberikan hadiah yang sudah disiapkannya beberapa hari lalu.
“Wah, apa ini. Makasih ya sayangku.” Wildan tersenyum dan berteriak senang. Lelaki itu melayangkan kotak putih ke udara, menunjukkan pada orang-orang di sana dan mengisyaratkan bahwa Gadis juga mencintainya.
“Mas Wildan hati-hati ya,” ucap Gadis, lelaki itu mengangguk.
“Sampai jumpa lagi, Sayang.” Wildan memeluk Gadis untuk kesekian kalinya.
“Jangan macam-macam, Za!” ancamnya pada Eza.
“Siap!” balas Eza singkat.
Mereka berempat melepas kepergian Wildan. Gadis melambaikan tangan sambil melakukan gaya cium jauh. Wildan tertawa, ia berjalan memegang pundak tentara lain yang masih satu letting[1] dengannya. Entah kenapa Gadis merasa Wildan makin menjauh dan takkan kembali. Ia melamun, tangannya tiba-tiba menyentuh dada, merasakan sakit yang belum pernah ada selama hidup. Ia menatap paperbag pink lalu ganti melihat Wildan yang menghilang dari pandangan. Firasat apa ini, gumamnya. Eza menyadarkannya lantas mengantarkan Gadis pulang.
…
Detik-detik di mana aku harus menerima takdir, merasakan sakit lebih parah lagi dari sebelumnya. Aku dengan hati penuh kebahagiaan justru mendapat penderitaan secara tiba-tiba. Aku tak sanggup menuliskan ini, membayangkan saja membuat hatiku terpuruk sedih. Namun aku harus menceritakan ini kepada kalian, cerita yang awalnya tidak ingin kubagikan kepada siapa pun, berkat Mas Wildan aku sanggup bercerita tentangnya.
Hari-hari berjalan seperti biasa, Gadis sering mengunjungi Ayahnya di Panti Jompo Werdha Pangesti. Semua kegiatan itu ia lakukan dengan tenang, pergi bekerja di Fiona Florist adalah hal menyenenangkan selama hidupnya. Gadis juga pergi ke rumah Gunawan untuk mengunjunginya sejenak. Mereka menyambut Gadis dengan baik dan selalu bercengkerama penuh tawa.
Wildan menelepon Gadis sepulang bekerja, laki-laki itu senang saat mendapat sapu tangan dari gadisnya. Wildan selalu membawa benda itu ke mana pun dia berada. Ia amat menyukai pemberian dari kekasihnya.
Sudah empat hari Wildan bertugas di Papua, ia tak pernah absen mengabari Gadis. Apa pun topik yang mereka bicarakan tidak membuat keduanya bosan. Sampai pada suatu hari, di Minggu sore ketika Gadis baru selesai mandi, ia bersenandung kecil sambil menyalakan televisi, terlihat saluran menyiarkan berita sore.
“Berikut kejadiannya: Seorang TNI telah disergap oleh OTK atau Orang Tak Dikenal secara tiba-tiba, pasalnya mereka sudah mengantongi izin dari warga setempat dan menyatakan bahwa tidak ada kendala apa pun dengan masyarakat di sana. Dan penyerangan ini diduga dilakukan oleh oknum KST atau Kelompok Separatis Teroris. Hal ini bermula saat Letda Wildan Naratama memergoki nakes yang berada di tenda kesehatan tengah menyiapkan cairan untuk vaksin, diserang diam-diam oleh kelompok tersebut. Ada pun berikut kondisinya akan dilaporkan oleh Rudi Samsudi. Halo Rudi, bagaimana keadaan di sana?” ucap pembawa berita.
Gadis mendengar nama seseorang yang tidak asing di telinga, matanya mengarah pada reporter yang meliput keadaan di Papua. Bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi. Ia mengangkat telepon, reaksinya memunculkan kekhawatiran. Gadis bergegas mengambil tas, mengunci kamar dan membiarkan tv menyala, menampilkan seorang laki-laki tergolek lemas di tandu berwarna hijau army.
Gadis berlari memasuki satu gedung yang sering ia kunjungi. Langkahnya menuju kamar Aat Prawijaya, ia menatap sang Ayah yang terlihat pucat pasi di tempat tidur. Gadis menitikkan air mata saat memegang badannya yang demam. Ia segera pergi ke lokasi saat petugas panti menghubungi dirinya. Gadis merawat sang Ayah dengan hati-hati dibantu para staf.
Gadis menyuapi sang Ayah dengan pelan lalu memberikan obat serta air putih. Ia berbicara lembut, Aat menjawab dengan sekali anggukan dan gelengan kepala jika tak sesuai dengan pertanyaan Gadis. Saat Aat tertidur pulas, Gadis memberikan pesan pada staf untuk menghubunginya besok, ketika Ayahnya sudah bangun. Ia segera pulang karena malam telah larut.
Ini pertama kalinya Gadis menggunakan sweater pemberian Wildan. Gadis pikir, obrolannya waktu itu hanya sebuah candaan, ternyata Wildan menepati janji untuk membelikan dia sweater khas TNI. Ia sangat menyukai hadiah itu. Jika ia pergi sendirian, Gadis selalu memakai sweater bermotif loreng-loreng dari Wildan. Model sweater-nya modern, sangat pas di badan Gadis.
Entah kenapa cuaca beberapa hari ini selalu dingin, padahal hujan tidak mengguyur kota Malang. Gadis berjalan lemas menunggu ojek online di depan gedung. Ponselnya berbunyi, ia menatap nama Eza di layar telepon. Gadis segera mengangkat panggilan tersebut.
“Halo, Za?” jawabnya, Gadis tidak mendengar apa-apa di seberang. Ia menatap ponselnya kembali, handphone-nya mati. Keningnya berkerut, kenapa Eza menelepon malam-malam. Untungnya ojek yang Gadis pesan sudah datang, apa jadinya jika ia tidak bisa menghubungi si tukang ojek. Gadis duduk di boncengan dan melenggang meninggalkan panti.