Pencarian Aat Prawijaya sudah selesai dan Mas Wildan jadi sosok sejarah di hatiku. Sejak awal aku menulis ini adalah untuk mencari keberadaan Ayah dan cerita ini akan kuabadikan sebagai kisah dokumenter milik kita berdua. Mas Wildan, kamu ingat kalau aku pernah memintamu untuk tidak bercerita pada siapa saja mengenai kisahku. Tapi setelah ku pikir-pikir, kisah itu baru dimulai. Ada namamu yang menjadi tokoh utama dalam ceritaku dan aku bahagia saat aku menuliskannya.
Surabaya, April, 2022.
Empat bulan setelah kehilangan Wildan, Gadis menyibukkan diri dengan kursus dan pelatihan untuk lanjut kuliah S2. Gadis mendaftarkan diri pada Universitas di luar negeri. Selama ia pulang ke Surabaya, Gadis tidak pernah mengunjungi Aat lagi, ia masih trauma dengan setiap sudut di kota itu. Sebagai gantinya, ia membelikan ponsel baru untuk sang Ayah dan mengobrol melalui chatting.
Novi dan Gunawan juga masih sering menanyakan kabarnya. Kedua orang tua Wildan memutuskan untuk mutasi dari Asrama Brigif Linud 18 dan pindah ke Jakarta. Gadis sangat sedih mendengar kabar itu, tidak ada lagi yang akan mengunjungi pemakaman Wildan. Tapi kabarnya, Novi dan Gunawan akan menyewa orang untuk merawat nisan Wildan.
Sebelum kembali ke Surabaya, Gadis sempat mengunjungi lapangan Asrama Brigif Linud 18. Ia tersenyum manis dan duduk di bukit kecil mengingat tiap kenangan bersama Wildan. Gadis termenung, air matanya jatuh di pangkuan. Perempuan dengan nama lengkap Gadis Syeilandra itu memeluk dirinya sambil terisak. Wildan pasti menenangkan Gadis di saat seperti ini, rengkuhan dan pelukannya akan menenangkan Gadis.
Setiap memikirkan tentang nama itu, hatinya terasa pilu. Ia tak menyangka Wildan tutup usia saat sedang bertugas di Papua. Rencana yang sudah disusunnya dengan baik, meluap begitu saja bagai debu tertiup angin. Terkadang Gadis amat cemburu terhadap nakes yang Wildan selamatkan, ia merasa tak terima kenapa harus Wildan yang menolongnya. Oh, jadi begini rasa kekanak-kanakkan yang pernah ia lontarkan pada Wildan malam itu. Sekarang Gadis sudah merasakan apa arti takut kehilangan yang terpancar di wajahnya. Terima atau tidak pun, Gadis harus merelakan kepergian Wildan.
Gadis berjalan memasuki Dinas Perpustakaan Surabaya yang berada di pusat kota. Satu jam lagi tempat itu akan tutup, rencananya Gadis hanya mampir sebentar untuk menumpang Wifi. Gadis duduk di kursi pengunjung, ia membuka laptop lalu menatap layar lekat-lekat. Gadis mengusap matanya berkali-kali.
“Hah, ini serius?” Gadis menatap tulisan paling bawah, di sana tertulis nama lengkapnya.
“Aaaaaaaaaaaaaa,” teriaknya kencang, Gadis berdiri sambil memasang wajah sumringah. Seluruh manusia di dalam ruangan menatap Gadis sinis, lantas petugas perpustakaan mendatanginya.
“Tolong kalau mau bikin ribut jangan di tempat ini ya, silakan keluar.” Petugas itu menyuruhnya keluar dengan satu tangan.
“Pak, saya lolos S2 jalur beasiswa LPDP di luar negeri!” Gadis tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Petugas itu tersenyum, mengulurkan tangan. Ia menjabatnya dengan rasa senang.
“Selamat, ya!” Gadis mengangguk, ia mengucapkan terima kasih sambil sedikit membungkuk. Gadis membersihkan alat tulisnya dan memasukkan laptop ke tas. Ia juga meminjam beberapa novel untuk dibacanya di rumah. Gadis berjalan keluar sambil memikirkan kapan ia akan mengurus passport di kantor imigrasi.
Gadis menggulung rambutnya sampai ke atas. Ia berdiri di tepi jalan menunggu bis berwarna merah datang, fasilitas dari kota Surabaya. Saat menyusuri jalanan, Gadis melihat sesosok laki-laki yang sangat ia kenal. Dadanya tiba-tiba sesak, ia meringkuk, menghindari kontak mata. Gadis bersembunyi di balik tembok keliling di antara para pedagang kaki lima. Gadis mengintip lelaki itu yang terlihat memasuki perpustakaan sambil berlari. Gadis menghela napas lega, ia segera menaiki bis saat kendaraan itu berhenti tepat di depannya.
Gadis termenung selama perjalanan pulang, kepalanya tiba-tiba pusing. Sekelebat bayangan muncul mengingat kejadian beberapa bulan lalu. Tangannya gemetar, ia mendekap tas kuat-kuat. Gadis menatap sweater loreng yang ia pakai lantas beralih ke kaca jendela.
…
Momen di mana aku akan melupakan Mas Wildan, aku justru menemukan sosok laki-laki yang mengaku sahabatmu, Eza. Tokoh utama yang akan mewarnai hari-hari dan ceritaku selanjutnya. Aku masih belum sanggup menuang seluruh kisah baru tanpa Mas Wildan. Aku merasa genggaman tanganmu nyata, belum mampu kulepaskan kecuali kata ikhlas sebagai formalitas.
Eza memasuki perpustakaan, ia meletakkan KTP sebagai jaminan. Eza menelusuri tiap rak dan seluruh ruangan untuk mencari seseorang. Selama hampir setengah jam, Eza tak menemukannya, ia duduk dengan lemas di bangku pengunjung dan menelungkupkan wajah dengan satu tangan. Jarinya tak sengaja memegang sebuah benda, Eza mendongak. Laki-laki itu menemukan tanda pengenal seseorang. Tiba-tiba saja ia merasa pencariannya selama ini tak sia-sia. Eza menemukan kartu dengan nama Gadis Syeilandra, di sana tertera alamat rumahnya.
Eza segera menuju alamat rumah Gadis, ia keluar dari perpustakaan ke area parkir mobil. Eza sungguh bahagia telah menemukan jejak Gadis. Tak terasa, air matanya menetes, ia amat merindukan perempuan itu.
Rumah Gadis sangat ramai dengan beberapa orang. Nirina tengah melayani pembeli yang keluar masuk dari rumahnya. Nirina memberi selamat kepada Gadis karena lolos pada universitas yang ia inginkan, Alma juga bergantian memeluk Kakaknya. Eza menatap kehangatan itu dari jauh, ia mendekat perlahan. Nirina mengamati seorang laki-laki yang mengarah padanya.
“Assalamualaikum,” ucap Eza. Gadis menoleh ke belakang, ia terperangah menatap Eza berada di daerah rumahnya.
“Waalaikumsalam, iya, Mas. Mau cari siapa?” Nirina bertanya, Gadis membuang muka. Eza mencium tangan Nirina dan tersenyum padanya.
“Saya cari Gadis, Bu.” Eza menunjuk Gadis yang kini di depannya.
“Oh, iya.” Nirina menatap Eza dan Gadis bergantian lalu membimbing Alma masuk meninggalkan keduanya. Eza dan Gadis tak berbicara selama beberapa detik, mereka benar-benar bingung sikap seperti apa yang harus diambil.
“Pergi, Za.” Gadis sontak menjauhi Eza.
“Gadis…” Eza memanggilnya lembut.
“Kamu ke mana aja, Dis? Selama ini aku cari kamu, di kos nggak ada, di Fiona Florist nggak ada. Kenapa kamu nggak bilang kalau pulang ke Surabaya?” Eza mengeluarkan isi hatinya yang sudah ia pendam lama. Gadis masih diam, ia bingung harus bagaimana.
“Dis, tolong jawab. Jangan ulangi responsmu seperti saat pertama kali bertemu.” Eza terlihat kesal melihat Gadis yang hanya bungkam.
“Pertama kali bertemu? Aku malah berharap sejak awal kita nggak usah bertemu, Za.” Gadis tersenyum nanar. Ia melipat tangan di dada.
“Aku kangen kamu, Dis. Aku berharap kita bisa ketemu lagi. Tapi kenapa responsmu seperti ini.” Eza memandang Gadis pasrah.
“Jadi respons seperti apa yang kamu mau setelah kejadian itu berlalu? Kamu mau minta respons gimana? Respons ketawa haha hihi maksudnya?” tanyanya bertubi-tubi. Gadis pergi meninggalkan Eza, lelaki itu mencekal tangannya.
“Dis, empat bulan ini aku cari kamu. Kenapa nomor teleponmu nggak aktif? Aku ada salah? Tolong kasih tau gimana caranya supaya aku bisa tebus kesalahan itu?” Eza menatap punggung Gadis yang membelakangi dirinya.
“Eza, aku masih butuh sendiri.” Gadis melepas tangan Eza dan memasuki rumahnya. Ia menarik napas panjang. Lelaki itu masih berdiam diri di depan rumah Gadis. Sekitar lima menit, Eza memutuskan pulang. Gadis mengintipnya dari balik kaca. Ia menahan tangis, “Maafin aku, Za.”
…
Eza Ebrahim, laki-laki yang senantiasa mendukung Gadis kapan pun saat ia berada di Malang. Eza adalah orang yang pertama kalinya menemukan Gadis setelah Wildan. Sejak tragedi yang menimpa sahabatnya, Eza bukan lagi jadi sosok laki-laki pendiam, ia lebih bungkam dari biasanya. Menutup rapat semua pertemanan demi menyembuhkan hatinya. Konsentrasinya kacau saat ia tidak menemukan Gadis di segala tempat. Lelaki itu mencari Gadis setelah seminggu Wildan dikebumikan. Eza berlari menemui Bu Retno pemilik kos yang menyatakan bahwa Gadis sudah pergi ke Surabaya, ia juga mendatangi Fiona Florist untuk menanyakan keberadaannya.
Eza memberanikan diri berkunjung ke rumah Gunawan dan Novi, orang tua Wildan untuk menanyakan kabar Gadis. Mereka tidak tau rumah Gadis di Surabaya karena selama ini hanya Wildan yang tau alamat rumahnya. Gunawan memberikan satu kertas kecil yang ia yakini adalah tempat Aat Prawijaya berada. Eza berterima kasih sebab Gunawan telah membantu dirinya.
Eza menatap satu tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Mulutnya mengeja nama Panti Jompo Werdha Pangesti. Eza berjalan pelan mencari sosok Ayah Gadis, ia benar-benar sedih saat Gadis memblokir akses nomornya. Lelaki itu mengetahuinya saat Aat menelepon Gadis diam-diam dan nomor yang digunakannya masih nomor yang sama. Aat tidak bisa memberikan alamat rumah Nirina karena sudah lama tidak datang kesana. Eza terlihat stress saat Aat Prawijaya juga tidak bisa memberikan keterangan apa pun.
Berkali-kali Eza pulang pergi dari Surabaya Malang hanya untuk mencari Gadis. Hidupnya seakan tak ingin dilanjutkan sebelum ia bertemu perempuan itu. Gadis sudah mengacak-acak relung hatinya yang terdalam. Kenapa Gadis meninggalkan dia saat keadaannya terpuruk. Hingga di suatu hari ia menemukan seorang perempuan tengah menyeberang jalan dengan langkah cepat memasuki perpustakaan. Saat itu Eza mengemudikan mobil, ia terkena macet dan harus memutar arah untuk mengejar Gadis. Ia pikir dirinya akan bertemu Gadis, nyatanya tidak. Eza nampak putus asa sampai akhirnya menemukan tanda pengenal milik Gadis.
Sehari sebelum keberangkatan Wildan ke Papua, ia memberikan pesan pada Eza. Awalnya Eza bahagia menatap pesan-pesan itu, tapi jika kebahagiaan Gadis memang hanya Wildan, dia bisa apa. Eza tak meminta kejadian yang menimpa sahabatnya itu sebagai rasa syukur. Sungguh jika memang amanat itu untuknya, ia akan benar-benar melaksanakan apa yang Wildan sampaikan.
Seminggu ini tolong jaga Gadis untukku, Za. Tapi setelah aku pulang, jangan ganggu dia lagi. Gadis milikku.
Eza tersenyum menatap pesan itu tapi pikirannya bertanya ada apa. Ia membalasnya singkat.
Kalau kau pulang lebih dari Seminggu?
Eza menunggu balasan dari sahabatnya, ia mengetuk ponsel dengan jari tangan berusaha tenang.
Dia milikmu.
Eza mengernyit melihat kata-kata yang ditulis sahabatnya. Ia tak membalas pesan Wildan. Semenjak itu, Eza merasa harus mencarinya, ia tak ingin kehilangan Gadis lagi dan lagi. Saat dirinya berhasil menemukan Gadis, perasaannya masih sama. Eza melihat Gadis seperti orang yang berbeda, tak seperti biasa. Lelaki itu berteriak di dalam mobil sambil memegang kemudi.
…
Keesokan harinya, Gadis bersiap pergi menuju kantor imigrasi, ia memakai sweater loreng sebagai pengganti jaket. Gadis menatap pantulan dirinya di kaca, mencoba tersenyum manis. Lagi lagi, Gadis selalu menangis saat senyumnya mengembang. Ia merasa tak pantas tersenyum bahagia ketika mengingat kekasihnya jauh di sana.
Eza mengetuk pintu rumah Nirina beberapa kali. Perempuan yang seumuran dengan Bundanya itu menyapa hangat, mempersilakan masuk. “Oh, ayo masuk dulu.” Eza tersanjung atas perlakuan Nirina.
“Mau jemput Gadis ya?” tanya Nirina basa-basi.
“Oh, emangnya Gadis mau ke mana, Tante?” Eza mengerutkan kening.
“Ke kantor Imigrasi, oh dia bukan keluar sama kamu ya?” Nirina memastikan ucapannya, tak lama Gadis keluar dari kamar menatap Eza yang sudah duduk di ruang tamu.
“Kenapa kamu ke sini?” tanya Gadis dengan raut muka tak senang.
“Gadis…” Eza berdiri dan menghampiri. Gadis sontak menjauhkan diri.
“Pergi kamu dari sini!” Gadis menggerakkan tangan di udara. Eza terperangah, ia tak menyangka jika Gadis berperilaku buruk padanya.