Gadis Bercadar Merah

Slamet Agung Priyono
Chapter #1

Prolog : Sendiri

Fabiayyi 'aalaa'i Rabbikumaa Tukadzdzibaan, lantunan ayat suci surat ke-55 merdu menusuk sanubari dari sebuah kamar asrama. Nia duduk di tengah kamar sempitnya, membolak-balik kitab suci Al-Qur'an usang yang menjadi warisan berharga dari ibunya. Dalam keheningan malam, Nia menetapkan target ambisiusnya: menghafal surat Ar-Rahman dalam waktu satu minggu. Meskipun kamar kecilnya hanya diterangi oleh cahaya kuning lembut dari lampu bohlam, semangatnya yang membara tak pernah pudar.

Rekan-rekan satu kamar Nia sudah lama tertidur, mereka yang bersiap bangun untuk melaksanakan solat tahajud bersama, sebuah rutinitas yang dijalani dengan disiplin setiap malam. Hanya cahaya temaram lampu yang menyinari Nia, sementara dia terus berusaha memasukkan ayat-ayat suci ke dalam ingatannya, bahkan ketika kelelahan mengancam untuk menghentikannya. Namun, ketekunan Nia membuatnya mampu menaklukkan rasa kantuk dan kelelahan.

Setelah berhasil menghafal satu halaman, Nia dengan penuh kebahagiaan menutup mushaf tua yang sudah mulai usang dengan cover yang sobek itu. "Shodaqallahul’adzim… Alhamdulillah, tinggal setengah lagi," bisiknya penuh sukacita. Mushaf kesayangannya diletakkan dengan lembut di atas meja kecil di sudut kamar, yang memberikan sentuhan kehangatan pada kamar yang sebagian besar ditutupi oleh kegelapan.

Sejenak, Nia merenggangkan tubuhnya, merasakan kelelahan dari berbagai kegiatan yang dia jalani sepanjang hari. Hari ini benar-benar terasa sangat panjang, terutama dengan upayanya untuk tetap fokus pada hafalan ekstra meskipun jam tidurnya telah tiba. Melihat jam dinding yang menunjukkan hampir tengah malam, rasa panik menyelinap ke dalam hati Nia. "Astaghfirullah! Aku kemalaman!" serunya sambil bergegas menuju ranjangnya.

Namun, di sisi lain kamar, sepasang mata Nita masih terang benderang, tidak seperti kebanyakan mata yang terlelap oleh kelelahan. "Nita, kamu belum tidur?" tanya Nia, mencoba mengatasi kebingungannya. Tetapi, tak satupun kata yang keluar dari bibir Nita, hanya tatapannya yang terus menyelusuri tubuh dan wajah Nia tanpa henti, meninggalkan aura misterius yang menggelayut di udara malam itu. Nia pun mengernyitkan alisnya, merasa terombang-ambing dalam keanehan yang menyelimuti teman satu kamarnya itu.

Pandangan kosong Nita memikat Nia, mengunci mata mereka dalam ketegangan yang tak terucapkan. Seiring waktu, ekspresi aneh gadis itu semakin terungkap, dengan ujung bibirnya yang mulai naik ke atas, membentuk senyuman misterius, sementara matanya melotot pada Nia. Kedahsyatan tatapan itu membuat Nia bergidik ngeri, seakan-akan terperangkap dalam kehadiran yang tak wajar.

“Ummh… Nita, kamu masih mendengarkan aku, ‘kan?” tanya Nia dengan ragu, mencoba meretas keheningan yang menyeramkan. Bulu-bulu di sekitar tengkuk dan tangan Nia tegang, dan dia merasakan sensasi merinding menghampiri. Pori-pori di tangan Nia tampaknya merespons ketegangan, memaksa Nia untuk menggosoknya dengan telapak tangan dalam upaya putus asa untuk meredakan gejolak tubuhnya yang merespons bahaya yang mengancam.

Pandangan Nita tidak beranjak dari mata Nia, seolah-olah memiliki kekuatan magis yang menahan perhatian Nia. Suara cekikikan yang patah-patah dan lirih mulai mengalir dari bibir Nita, menciptakan nada yang mencekam di udara.

Hi hi hi… hi hi hi…” cekikikan mirip kuntilanak itu seperti angin dingin yang menyapu sepanjang tulang belakang Nia, membuat bulu-bulu di punggungnya merinding. Seakan-akan ruangan itu diselimuti oleh aura ketidaknyamanan dan ketegangan, dan pandangan Nia mulai terasa semakin gelap.

Nia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan teman sekamarnya itu. Gemetar, dia berusaha mendekati Nita dan dengan penuh ketegangan memegang pundaknya.

“Ni-Nit! Sadar Nit!” serunya, suaranya gemetar penuh kecemasan. Namun, Nita malah mengalihkan pandangannya, fokus pada jendela kaca di samping ruangan.

Lihat selengkapnya