Gadis Bercadar Merah

Slamet Agung Priyono
Chapter #2

Bab 1 : Muthia

“Nah, kita sudah sampai,” ujar ayah Muthia, seorang laki-laki yang memiliki jenggot serta mengenakan peci berwarna putih. Pria 47 tahun itu mematikan mesin mobil dan membuka kunci pintu mobilnya.

Muthia dan kedua orang tuanya keluar dari mobil itu. Sebuah koper besar di seret oleh Muthia, berisi baju dan perlengkapan Muthia yang akan mulai masuk ke pondok pesantren terkenal ini.

Muthia memandangi pondok yang terlihat sederhana itu. Bangunannya tidak terlalu modern, tetapi masih enak dipandang dan bersih.

Alhamdulillah, Muth. Akhirnya kamu bisa masuk ke pondok pesantren ini,” ujar ayah Muthia yang bangga dengan anak semata wayangnya itu.

Pondok Pesantren Hasanah merupakan pondok pesantren yang susah di masuki karena tesnya yang ketat, tetapi Muthia berhasil memasukinya dan mendapatkan beasiswa, sangat membantu ayahnya yang berpenghasilan tidak terlalu besar.

Sebenarnya, orang tua Muthia lah yang mengarahkan anaknya untuk bermimpi agar masuk pondok pesantren dan menjadi hafidzah muda, karena ini adalah nazar mereka ketika mereka menginginkan anak. Mereka menikah saat umur 25 tahun, tetapi tidak kunjung diberikan keturunan. Mereka terus berdoa dan bernazar untuk membuat anak mereka menjadi hafidzah, setidaknya salah satu dari anak mereka.

Lima tahun kemudian, Muthia lahir. Kedua orang tuanya sangat senang dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Setelah berumur 15 tahun, Muthia tumbuh menjadi anak yang manis, cantik, dan juga hormat kepada orang tua. Sebagai orang tua yang menyayangi anaknya, mereka tidak ingin Muthia terpapar pergaulan anak muda sekarang yang sudah mulai rusak, sehingga mereka bekerja keras untuk memasukkannya ke pesantren. Selain untuk melindungi anak manis mereka, pesantren juga akan membantu mereka memenuhi nazar mereka. Untunglah Muthia adalah anak yang cerdas, sehingga dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Pondok Pesantren Hasanah.

“Ini semua juga berkat Ayah dan Ibu, aku selalu semangat ketika Ayah dan Ibu selalu berdo’a untukku,” balas Muthia dengan senyum hangat.

Wajah putih Muthia yang berkacamata sangat berseri. Matanya yang bulat menggambarkan kejenakaan di dalam dirinya. Bibirnya yang agak kemerahan membuatnya terlihat merona. Ditambah lagi, Muthia cerdas dan juga sangat senang memasak kue. Memiliki anak sesempurna itu tentu suatu kebahagiaan yang besar bagi ayah dan ibu Muthia.

Namun, melepaskan Muthia sampai tiga tahun ke depan di pondok pesantren merupakan hal yang sedikit berat untuk mereka. Apalagi Muthia adalah anak mereka satu-satunya. Ibu Muthia memegang erat telapak tangan anaknya ketika mereka berjalan masuk ke dalam pesantren.

Lihat selengkapnya