Syifa sekarang beristirahat di dalam kamar, tetapi Muthia masih belum berani untuk masuk ke dalam kamar itu lagi. Dia duduk termangu di ruang UKS setelah kakinya yang tertusuk pecahan kaca diobati dengan cermat oleh perawat. Muthia merasakan getaran guncangan yang dahsyat, menyisakan trauma mendalam di dalam dirinya. Ranjang dingin di ruang UKS menjadi tempatnya merenung dan memproses kengerian yang baru saja dialaminya.
Perawat di sana, Bu Endah, mendekatinya dengan penuh empati. “Minumlah, kamu akan lebih tenang,” ujarnya sambil memberikan segelas teh hangat kepada Muthia. Gadis itu menerima gelas dengan gemetar, merasa keraguan dan ketidakpastian menghantui pikirannya.
“Luka itu, sangat mirip dengan luka yang Nia dapatkan setengah tahun lalu. Apa kamu juga bertemu dengan makhluk yang sama?” tanya Bu Endah penasaran, mencoba menggali informasi dari Muthia yang terlihat sedang dalam keadaan guncangan.
Muthia melirik ke arah Bu Endah, mengangkat alisnya dengan penuh keheranan. “Maksud Bu Endah, apakah makhluk yang memiliki mata merah?”
Bu Endah mengangguk dengan serius. “Benar. Dahulu, ada anak yang bernama Nia yang juga menempati kamar yang sama denganmu. Dia mengalami kejadian yang persis sama sepertimu, melihat makhluk dengan mata merah. Kemudian, dia mendapatkan luka bakar berbentuk telapak tangan di tubuhnya.”
Muthia menunduk merenung, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Kengerian yang tadi dialaminya menjadi semakin nyata, dan kisah seram tentang kamar itu terasa semakin terkait dengan kejadian-kejadian yang dialaminya sendiri. Gemetar, dia terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di pesantren ini dan mengapa makhluk tersebut tampaknya memiliki keinginan yang gelap.
Melihat Muthia yang mulai ketakutan, Bu Endah mengelus kepalanya dengan lembut dan berusaha menenangkan gadis itu. “Maaf, Ibu malah bercerita tentang itu. Kyai Rochim tadi sudah melakukan ruqyah ke Syifa dan tempat itu. Insya Allah tidak akan terjadi hal-hal seperti itu lagi. Kyai Rochim memiliki ilmu ruqyah yang tinggi, kamu tidak perlu khawatir,” ujarnya dengan penuh keyakinan, berharap dapat memberikan keberanian kepada Muthia.
“Tapi… siapa makhluk itu?” tanya Muthia dengan suara lirih, masih terbayang-bayang oleh pengalaman menakutkan yang baru saja dialaminya.
“Hmmm… dari cerita Kyai Rochim, mereka adalah jin usil yang ingin membuat santriwati di sini menjadi dengki satu sama lain, dan akhirnya melupakan tujuan mereka untuk belajar Al-Qur’an. Menurut berita dari para santriwati, penghuni kamar itu sering kehilangan hafalan dan kesulitan menghafal ayat, setidaknya sampai sebelum kamu datang,” jelas Bu Endah, berusaha memberikan penjelasan untuk menghilangkan ketakutan Muthia.
Sekarang jelas sudah mengapa Syifa dan Nita malah mengobrol di tengah orang-orang yang sedang menghafal Al-Qur’an. Mereka mulai diganggu ketika malam dan mendapatkan sugesti dari para jin untuk berhenti menghafal ayat-ayat Allah. Dengan begitu, iman mereka semakin tipis, dan akhirnya Syifa yang imannya lemah serta kesadarannya mulai hilang menjadi gampang dirasuki.
Namun, tetap saja pengalaman itu menjadi hal yang tidak akan pernah dilupakan oleh Muthia. Apalagi ini baru hari kedua dia pindah di Pondok Pesantren Hasanah ini.
“Jika kamu banyak berdo’a serta meminta perlindungan Allah, kamu tidak akan mengalami hal-hal mengerikan seperti itu lagi, Muthia. Percayalah dan tingkatkan imanmu,” tambah Bu Endah sambil tersenyum dengan penuh kehangatan, berharap dapat memberikan semangat dan keyakinan kepada Muthia yang masih terguncang oleh kejadian tersebut.