Bu Annisa tergopoh-gopoh lari menuju ruang tamu depan untuk menemui Nita beserta kedua orang tuanya. Dengan senyum ramah, dia mempersilakan mereka untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
"Alhamdulillah, Nita. Akhirnya kamu kembali ke sini," ujar Bu Annisa sambil tersenyum, mencoba meredakan ketegangan di udara. Nita, yang masih berselimut cadar merah, memberikan tawa kecil sebagai tanggapan.
Nathan dan Gita, orang tua Nita, duduk dengan ekspresi serius, siap mendengarkan penjelasan dari pihak pesantren. Bu Annisa berusaha memahami situasi dan menawarkan minuman kepada mereka.
"Saya akan buatkan minuman jika bapak dan ibu berkenan," tawar Bu Annisa dengan penuh kebaikan.
"Oh, tidak, Bu Annisa. Kami hanya sebentar," jawab Nathan singkat.
Gita menambahkan, "Saya sudah membujuk Nita agar dia mau belajar lagi di sini, mohon jaga dia baik-baik."
"Baik, Bu. Kami akan usahakan semampu kami," balas Bu Annisa sambil tetap menjaga senyumnya. Ia kemudian menoleh ke arah Nita, yang terlihat pucat dan tatapannya kosong.
"Nita, kamu sangat diterima di sini, tetapi kamu harus meminta maaf kepada Kyai Rochim atas perbuatan yang kamu lakukan," tambah Bu Annisa dengan lembut, mencoba mengarahkan Nita untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Nita kemudian mengangguk pelan dua kali. Suaranya terdengar rendah dan lemah, tidak seperti biasanya.
“Baik, Bu Annisa. Saya akan bertanggung jawab. Saya akan meminta maaf kepada Kyai Rochim dan saya bersedia menerima hukuman atas kelakuan saya yang tidak baik sebelumnya,” ucap Nita dengan nada penyesalan.
Meskipun suara Nita terdengar lirih dan wajahnya pucat, Bu Annisa mencoba memakluminya, mengingat kemungkinan bahwa Nita sedang dalam keadaan tidak sehat.
“Bagus. Kalau begitu, ayo segera bawa barangmu ke kamar. Kamu perlu istirahat untuk memulihkan energimu dahulu,” ujar Bu Annisa sambil berdiri. Ia ingin membantu membawa koper Nita, tetapi gadis itu menampik tangan Bu Annisa dan memilih untuk menggeret kopernya sendiri.
Bu Annisa merasa sedikit tersinggung oleh sikap Nita, namun dia mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya. Senyumnya memudar sejenak, tetapi kemudian dia kembali berusaha tersenyum.
“Mari, kita antar Nita ke kamarnya,” kata Bu Annisa, mencoba untuk meredakan ketegangan.
Mereka berempat kemudian berjalan bersama menuju kamar yang sebelumnya dihuni oleh Nita. Perjalanan itu terasa hening, dan suasana tegang masih terasa di udara. Bu Annisa semakin bingung kepada mereka bertiga. Mereka terlihat begitu pendiam, bahkan seperti mengeluarkan hawa kebencian yang membuat atmosfer menjadi lebih berat.
Di depan pintu kamar, Bu Annisa mengetuk tiga kali. “Asslamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam!” jawab dua orang gadis dari dalam kamar.
Sesaat kemudian, pintu terbuka, dan mereka melihat Muthia di balik pintu itu. Muthia langsung mengeluarkan senyumnya yang sangat manis, matanya sampai menyipit, dan dia sedikit mengangguk melihat dua wali santriwati yang ada di belakang Bu Annisa.