Gadis Bercadar Merah

Slamet Agung Priyono
Chapter #13

Bab 12 : Teror

Syifa yang tengah sibuk mengepel kaget ketika pintu tiba-tiba terbuka tanpa ada ketukan sebelumnya. Dia segera menoleh ke arah pintu dan melihat Nita berdiri di sana, wajahnya tertutup oleh cadar merah misterius. Rasa kaget dan takut seketika melanda Syifa, membuat tubuhnya gemetar dan lututnya terasa lemas. Dia merasa ketakutan menghadapi sosok Nita yang begitu misterius dan menakutkan.

“Uh… Ni-Nita…,” ucap Syifa lirih, pandangannya tertunduk, dan badannya mengecut, rasa takut mulai membuncah di dalam dirinya.

Seluruh tubuh Syifa seolah terasa dingin, telinganya tegang, dan pori-pori di tangannya menonjol. Dia tidak pernah membayangkan bahwa ketakutannya akan menjadi kenyataan, yaitu berada sendirian dengan Nita di dalam ruangan yang semakin terasa terselimuti oleh aura ngeri yang mencekam.

Nita hanya berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam, tanpa sepatah kata pun. Suasana sunyi seolah memperbesar ketegangan di antara mereka. Syifa mencoba menyembunyikan ketakutannya, tetapi bayangan Nita yang berdiri di sana dengan cadar merah membuat suasana semakin menyeramkan.

Dengan gerakan pelan, Nita menutup pintu kamar dan menguncinya. Langkah-langkahnya yang tenang dan mantap membuat Syifa sampai bergidik. Dia kemudian mulai mengelilingi Syifa yang tengah meringkuk, memeluk erat tongkat kain pel sebagai bentuk perlindungan diri.

“A-apa yang kamu lakukan, Nita?” tanya Syifa dengan suara gemetar, mencoba memberanikan diri untuk mengetahui maksud Nita yang semakin misterius dan menakutkan.

Nita tidak memberikan jawaban langsung. Sebaliknya, dia hanya terkekeh kecil sambil mendongak ke atas. Tawanya terdengar sangat tidak nyaman di telinga Syifa, membuat jantungnya berdebar-debar seakan-akan ingin melompat keluar dari dadanya. Atmosfer yang tadinya penuh ketegangan semakin intens, dan Syifa merasa tubuhnya menjadi terasa berat, seolah-olah sebuah beban besar turun menekannya. Bahkan, napasnya mulai terasa sulit ditarik.

Dalam keadaan ketakutan, Syifa memutuskan untuk mengintip, dan dengan mengejutkan, dia melihat bercak darah di tangan Nita yang menetes ke lantai. Detik itu juga, atmosfer mencekam semakin berkembang di ruangan itu, membuat jantung Syifa semakin berdegup kencang.

“Dua hari lalu, saat malam hari. Kamu memberikanku seluruh tabunganmu untuk membeli tiket kereta. Kamu juga membantuku untuk memanjat tembok belakang pesantren. Di saat itu, aku benar-benar mengagumi keberanianmu sebagai teman,” ucap Nita dengan nada yang tak terduga. Dia terus berjalan pelan mengitari Syifa, membuat suasana yang semakin suram dan menakutkan.

“Aku sangat berterima kasih kepada kamu karena kamu membantuku untuk kabur dari hukuman,” ucap Nita dengan suara yang terdengar terhenti. Dia berhenti melangkah, menghadap Syifa, dan kemudian meraih pipinya dengan tangannya yang masih berlumuran darah busuk kehitaman. Syifa terperanjat kaget sampai memejamkan matanya erat, rasa takut yang melanda membuatnya merengek seperti anjing yang kakinya terjepit. Ketakutan yang tak terbayangkan merasuki hatinya, membuat dadanya terasa sakit seolah-olah ada yang menjepit erat jantungnya. Air mata yang tidak terbendung mulai mengalir ke pipi Syifa, memperlihatkan jejak-jejak kepedihan.

“Tapi, saat sebuah mobil menabrak tubuhku dengan keras, kenapa kau diam dan tidak membantuku? Aku sangat berharap kepada temanku yang paling dekat, loh…” tambah Nita dengan berbisik ke telinga Syifa. Kata-kata itu disampaikan dengan nada yang begitu pelan namun menusuk hati, membuat bulu kuduk Syifa merinding.

Lihat selengkapnya