Muthia merasakan perutnya amat sakit, setelah berkali-kali muntah. Ternyata, isi dari kresek hitam di tempat sampah itu bukan hanya sebuah benda fisik, melainkan juga beban mental yang sangat berat baginya. Sisa daging dan darah busuk serta belatung. Muthia merasa perutnya terasa kosong, hampa, dan terasa begitu ringan setelah mengalami episode muntah yang intens.
“Ih… perutku…,” keluhnya dengan suara terengah-engah, merasakan perutnya yang terasa hampa dan perlahan mulai terasa kembung setelah serangkaian muntah yang dialaminya.
Dua orang santriwati yang mendengar suara Muthia yang muntah mendekati dia dengan ekspresi campuran antara kejijikan dan penasaran. Salah satu dari mereka memberikan omelan dengan wajah sinis, "Apa sih yang kamu lakukan? Jorok sekali!"
Muthia, yang masih lemah dan terpukul oleh apa yang baru saja dia temukan di dalam koper Nita, hanya mampu menundukkan kepala, tidak mampu menjawab omelan tersebut. Beban rasa bersalah dan kebingungan membuatnya semakin terpuruk.
Namun, santriwati yang satunya lagi menawarkan bantuan dengan lebih empati, "Kalau kamu sakit perut, aku antar ke UKS, ya?" Tawaran tersebut disertai dengan senyuman yang mencoba memberikan sedikit dukungan pada Muthia.
Muthia mengangguk lemah, "Terima kasih... Aku butuh istirahat sebentar." Dia mencoba tersenyum ke santriwati yang menawarkan bantuannya. Meski masih dibayangi ketegangan dan rasa takut, Muthia merasa bersyukur ada santriwati yang memberikan pertolongan dan menunjukkan kepedulian.
Tidak lama setelah itu, terdengar suara jeritan keras yang mencuat dari kamar asrama. Suara itu tidak asing bagi telinga Muthia. Detak jantungnya berhenti sejenak, dan wajahnya yang pucat kembali dipenuhi oleh kekhawatiran.
“Syifa!” serunya sambil berdiri.
“Syifa? Kenapa Syifa? Bukankah dia sudah diobati oleh Kyai Rochim?” tanya salah satu dari mereka, tampak kebingungan dan mencoba mencerna situasi yang tiba-tiba berubah.
Rasa mual yang tadi dirasakan oleh Muthia menjadi sirna, digantikan oleh perasaan panik yang tumbuh setelah mendengar jeritan dari kamar Syifa. Tanpa ragu, Muthia langsung mengambil langkah cepat menuju kamar Syifa, meninggalkan dua santriwati yang masih bertanya-tanya dan mengangguk-angguk panik di tempat.
“Kalian panggil Kyai Rochim!” seru Muthia sambil berlari, suaranya penuh urgensi dan kekhawatiran. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi perasaan buruknya semakin menjadi-jadi setiap detik. Dengan langkah cepat, dia menembus koridor menuju kamar Syifa, mencari jawaban dari jeritan yang begitu keras.