Gadis Bercadar Merah

Slamet Agung Priyono
Chapter #15

Bab 14 : Penyelesaian

Muthia kembali mengingat kejadian kemarin saat dia diserang oleh makhluk bermata merah. Rasa sakit pada tangannya kembali memanas. Secara perlahan darah mulai keluar dari balutan kain kasa yang menutupi luka-luka Muthia.

Napas Muthia terasa sangat sesak, dadanya seperti terhimpit dengan keras. Selain itu, dia juga gemetaran. Rasa trauma dan takut dengan serangan makhluk bermata merah kemarin membuatnya tidak bisa bergerak. Bahkan pikirannya kini menjadi kosong.

Astaghfirullah… astaghfirullah…” Muthia terus-menerus menggumamkan istighfar di tengah tawa sang kuntilanak dan teriakan-teriakan santriwati yang panik.

Bau amis dari darah yang menghitam, bau busuk daging berbelatung, bau bunga kantil, serta bau muntahan semuanya berkubang dalam ruangan itu. Namun, Bu Annisa tidak sempat memikirkan betapa menjijikannya bau-bau itu. Matanya terpana melihat sosok setan yang terbang ssampai menempel langit-langit itu. Ternyata Nita adalah sebuah makhluk ghaib yang biasa disebut kuntilanak. Apa lagi dia adalah kuntilanak dengan baju berwarna merah.

Jantung Bu Annisa serasa naik dan berhenti berdetak. Namun, dengan mencoba menguatkan hati, dia mulai membaca ayat suci Al-Qur’an.

“A’udzubillahiminasy syaithaanirrajiim…”

Bukannya takut, Nita malah tertawa terbahak-bahak semakin keras. Perlahan-lahan dia turun dan mendekatkan wajahnya yang melotot sambil meringis memperlihatkan taring-taring kotor bernoda darah kehitaman. Baunya amat busuk, seperti daging kucing yang sudah mati berhari-hari.

“Apa kau pikir bacaan dari orang yang kotor sepertimu akan mempan terhadapku, Annisa?” tantang Nita sembari terkekeh keras khas kuntilanak.

Bu Annisa bergetar hebat sampai air matanya keluar. Tubuhnya lemas dan jatuh terduduk.

Nita kemudian mengambil sebuah daging busuk lagi, lalu memegang dagu Bu Annisa.

“Pengawas pesantren yang tidak becus menjaga santriwatinya juga pantas mendapatkan hukuman!” tegas Nita yang langsung memasukkan potongan daging berbelatung itu ke mulut Bu Annisa.

Bu Annisa berusaha menolak, tetapi dorongan tangan Nita membuatnya terpaksa sampai menelan daging busuk itu. Bu Annisa mengerang sambil menangis, tidak mampu berbuat apa-apa.

Muthia yang melihat kekacauan itu tidak ingin terlarut dalam traumanya. Dia menoleh pada kakinya dan memukulnya beberapa kali.

“BANGUN! BANGUN!” teriak Muthia, berharap kakinga yang lemas gemetaran mau bergerak dan menolong Syifa serta Bu Annisa yang terjebak bersama dengan Nita.

Mata Muthia mulai berkaca-kaca saat dia mendapati kakinya tidak mau mengikuti perintahnya. Dia tetap terduduk lemas di sana tanpa tahu harus berbuat apa.

Nita kembali terbang dan tertawa terbahak-bahak, sementara Bu Annisa jatuh pingsan dengan makhluk-makhluk putih seperti ulat keluar dari mulutnya.

“Nita… tolong hentikan… ku mohon!” rengek Muthia sambil menangis. Muthia tidak tega melihat Syifa dan Bu Annisa seperti itu. Tergeletak lemas dan keracunan daging busuk.

Nita berhenti tertawa, lalu perlahan dia melirik kepada Muthia. Mata setan itu melotot tajam kepada Muthia, seolah sangat tidak suka dengan keberadaan gadis berparas manis itu.

Dengan suara keras yang melengking, Nita memekik, “Kenapa ada orang sepertimu di sini? PERGI!” Nita sampai melempar daging busuk yang ada di tangannya ke arah Muthia.

Namun, Muthia sendiri tidak bisa meninggalkan tempat itu. Setidaknya dia harus membawa Syifa dan juga Bu Annisa.

Lihat selengkapnya