"Bahkan bayangan sendiri pun pergi saat kita berada di kegelapan."
___________________________________________________________
"Bar, bangun, Nak!"
Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita dari balik pintu. Gadis itu sudah bangun sejak pukul 05.00, tetapi memilih berdiam diri di kamar. Buku Matematika yang terletak di atas meja membuat perutnya mulas, ingin muntah. Entah mengapa, ia sangat membenci pelajaran itu.
"Bar!"
"Iya, Mak. Bentar lagi aku keluar." Gadis itu akhirnya menyahut daripada terus-terusan diteriaki, ia memilih keluar kamar.
Dengan perlahan ia berjalan melintasi ruang tengah, tak sengaja netranya menangkap sebuah bingkai yang tergantung di dinding kayu rumah mereka. Itu Ayahnya. Gadis itu menghampiri bingkai itu, mengusapnya pelan.
"Ayah, apa kabar?" Ia berucap lirih, kemudian berlalu ke dapur.
Sudah hampir dua bulan sang ayah meninggalkan mereka. Pergi untuk selamanya. Gadis itu masih ingat persis, belati yang tertancap di dada ayahnya, selalu membuat darahnya seolah ikut mengalir.
"Barba, buru buatin sarapan! Mak udah beli ikan teri kemarin," sentak Mak Ijah, ibunya. Wanita empat puluh tahun yang paling disayangi, yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih.
"Iya, Mak. Ini udah ke dapur," sahut Barbara sembari tersenyum kecil.
Pagi hari memang Barbara yang masak, sedangkan Mak Ijah sore hari. Bukan jadwal, sih, tetapi mereka sudah terbiasa begitu. Meski hidup pas-pasan, tetapi Barbara bahagia. Ada Mak Ijah dan dua adik laki-lakinya yang tengah duduk di bangku sekolah dasar.
"Mak, aku masih ngantuk." Suara Lolo, adik bungsu Barbara yang berumur delapan tahun merengek saat sang ibu membangunkannya. Ya, seperti biasa.
"Cepetan, itu kakak kamu udah masak ikan teri sambel. Yakin gak mau? Uh, nanti Bang Joe yang abisin." Mak Ijah mulai merayu dengan membawa-bawa nama Joe, adik Barbara yang duduk di bangku kelas lima.
Rumah mereka terbilang lumayan besar, berukuran 12 m x 8 m. Kamar Barbara ada di bagian depan, sedangkan ibu dan kedua adiknya ada di kamar dekat dapur. Meski berdindingkan papan dan beralas tikar plastik, tidur mereka tidak terganggu. Cukup nyamanlah dan sudah terbiasa.
"Beneran Kakak masak ikan teri sambal?"
Barbara sedikit tersentak saat Lolo ada di belakangnya. Anak kecil itu berjingkrak agar bisa melihat masakan sang kakak di atas kompor yang terletak di atas meja satu meter.
"Iya," jawab Barbara sembari mengangkat tubuh Lolo yang hanya berberat dua puluh kilo.
"Uwah, beneran!" serunya antusias.
Setelah diturunkan, ia berlari ke kamar mandi. Barbara menggelengkan kepala, sudah tahu apa yang akan dilakukan anak