Kedua mata Gladys terbuka perlahan. Melirik sekitar. Kamar yang sempit, berdinding kayu dan bambu, tapi bersih, tidak ada alang-alang, tidak tercium aroma debu. Sinar matahari masuk lewat sela-sela jendela kayu yang terbuka sedikit. Kerainya disibak angin, menari halus. Suara burung-burung di luar terdengar sampai telinganya.
“Dia sadar! Dia sadar! Panggil Marlina, cepat!” Suara itu tergesa-gesa, Gladys mengalihkan pandangan, melihat seorang perempuan usia lima puluhan mendekat, berwajah keriput, tapi tegap seperti masih muda. Perempuan lain lari-lari kecil keluar kamar, berteriak-teriak memanggil seseorang yang bernama Marlina.
“Kau baik-baik saja?”
Gladys menatap perempuan itu ketakutan, menggeser tubuhnya sedikit. “Jangan tangkap aku!”
“Saya bukan penjahat, Nak.” Perempuan itu sebenarnya mau memegang tangan Gladys, menenangkannya, tapi karena tidak mau Gladys lebih takut. Maka dia mundur sekian jengkal.
Suara langkah cepat dari luar kamar terdengar mendekat, lantas datanglah seorang perempuan muda usia dua puluhan, namanya Marlina. Melangkah cemas sambil menata kerudungnya yang turun dengan satu tangan. Ia berdiri di samping ranjang, melihat Gladys yang meringkuk, kedua mata Gladys was-was melirik perempuan muda itu. Di tangan kanannya memegang satu batok berisi air kelapa muda.
“Minum ini dulu, Mbak.” Marlina mendekatkan batok itu ke mulut Gladys.
Sejenak Gladys melirik wanita berjilbab itu. Dua matanya bulat lembut, dan selalu tersenyum ramah. Sedikitnya dia merasa curiga dengan ekspresi itu. Bisa jadi dia menipu, tampak bersahabat, padahal menusuk dari belakang. Gladys menggeleng cepat, menolak. “Kalian mau apa?” Dia menggeser tidurnya, bergidik takut.
“Dia yang menemukanmu pingsan di hutan.” Perempuan usia lima puluhan itu bicara.
Marlina meletakkan batoknya di nakas dekat kasur, lalu menyodorkan tangan. “Namaku Marlina. Aku yang menemukanmu di hutan dua hari yang lalu.”
“Dua hari yang lalu?” Suara Gladys terdengar lemas, seperti tak percaya.
“Iya. Orang-orang hampir mengira kau sudah mati. Tapi badanmu hangat, walaupun sedikit pucat, sih. Maka kami biarkan dulu kau terbaring, berharap cepat sadar. Lalu, maaf kemarin kami terpaksa mengganti pakaianmu yang kotor, dan membuangnya karena sudah sobek-sobek. Tidak apa-apa, kan?”
Gladys tidak menjawab. Sekilas mengamati baju yang dia kenakan. Hanya kain dipotong sekedarnya, lalu dijahit tanpa ada gambar, renda, atau pita yang menghias. Sederhana sekali. Seperti yang dipakai Mbok Ija biasanya. Tapi bagi Gladys ini jauh lebih hangat sebab berlengan panjang, dan tertutup sampai leher.
Marlina masih menyodorkan tangan. “Kau siapa?”
“Aku haus. Boleh minta minum?”
Cepat-cepat Marlina mengambil batok itu, menyuapi Gladys. Melupakan perkenalan mereka dulu. “Ini air kelapa. Bagus untuk memulihkan tenagamu.” Suara Marlina lembut terdengar. Gladys merasa tak perlu curiga lagi. Dia pasti wanita baik-baik. Lagipula musuhnya kali ini orang-orang Jepang, bermata sipit, berwatak keras. Beda jauh dengan dua mata Marlina yang bulat, dan suaranya yang gemulai.
Dalam beberapa detik, satu batok habis. Gladys menghela napas lega, merasa lebih baik. Tenggorokannya basah. Bau pesing seperti hilang begitu saja. Dia minta lagi. Marlina menyuruh perempuan tua itu mengambil air kelapa lagi.
“Minta di Pondok, Mak Ni! Masih ada beberapa buah.”
Mak Ni bergegas pergi membawa batok yang sudah kosong.
Hening. Gladys sama sekali tidak bicara. Dia melamun, melihat tak pasti ke arah langit-langit, lantas dua matanya bergerak mengelilingi seluruh ruangan. Ini rumah gubuk. Benar-benar tidak ada temboknya. Kamarnya juga tak besar. Bahkan langit-langit pun hanya berupa kayu-kayu panjang yang disambung. Lantas bagian atasnya genting-genting tua bekas. Tidak ada listrik di sini. Bagaimana kalau malam? Gladys berpikir. Diliriknya lampu tempel di dekat pintu masuk. Alisnya turun. Hanya lampu itu? Begitu dalam hatinya.
Tapi paling tidak ini lebih baik ketimbang ruang pengap tahanan Jepang. Lebih bersih, punya nakas, kasur empuk, dan lemari pakaian yang ada cerminnya.
Marlina tersenyum tipis, bangkit, bergerak ke jendela, membukanya lebih lebar, menyibak kerai sampai sinar matahari benar-benar masuk menerangi seluruh kamar sempit ini. Udara segar mengalir tenang.
“Kalau sudah pulih, kau boleh keluar, jalan-jalan. Akan kutemani.” Marlina kembali mendekati Gladys, duduk di sebelahnya. “Lagipula ini masih pagi, Mbak. Udaranya segar. Kau bisa menciumnya dari sini, kan?”
Gladys mengangguk. Masih kosong menatap langit-langit. Ingat kejadian saat dia memukul jenderal Jepang, lantas kabur lewat jendela kayu. “Bagaimana dengan Jepang? Apa mereka datang ke sini?”
Marlina mematung. Dua matanya yang bulat bening, memandang heran. “Jepang? Kau bersama mereka?”
Gladys mengangguk. Menoleh pelan, melihat wajah Marlina yang terheran-heran. “Tapi kau tidak seperti mereka, Mbak. Matamu tidak sipit, kau bahkan mirip orang-orang Belanda menurutku.”
“Aku bukan berasal dari mereka. Tapi disekap oleh tentara-tentara biadab itu.”
Marlina menelan ludah, memegang pundak Gladys yang tampak sedih. Tak lama kemudian Mak Ni kembali membawa air kelapa muda. Gladys cepat meraihnya, langsung diteguk sampai habis. Tenaganya semakin pulih. Hening sesaat.
“Kalau tidak mau jalan-jalan, kau boleh istirahat lagi. Nanti kalau kondisimu sudah benar-benar pulih, aku akan kembali.” Marlina lalu kembali menyodorkan tangannya. “Ngomong-ngomong, namaku Marlina. Kau siapa?”
“Gladys.”
Mereka berjabat tangan. Marlina tersenyum tipis. Tak berhenti menatap wajah cantik Gladys. Terlihat sekali kalau dia suka punya teman baru. “Istirahat saja dulu. Pulihkan tenagamu,” katanya, lantas dia beranjak pergi, berdiri tepat di ambang pintu kamar. “Jangan kuatir Gladys, kau aman di sini. Tentara Jepang tidak tahu desa ini. Istirahatlah. Aku akan menemuimu lagi, nanti.”
Marlina pergi, tersisa Mak Ni yang masih menunggu Gladys menghabiskan air kelapanya. Setelah habis, Mak Ni menyuruh Gladys kembali tidur. Dia bergerak keluar, menutup pintu, membiarkan Gladys terlelap di kamar dengan jendela terbuka.
Baru juga semenit dia memejamkan mata. Suara berisik menggelitiki telinganya. Gladys terjaga. Melihat di jendela yang terbuka itu, beberapa anak kecil mengintip sambil terkekeh. Laki-laki perempuan. Kira-kira ada empat anak.
“Aku gantian! Kau sudah, Pok!” salah satu anak yang tak kebagian jendela, mendorong anak lain yang bernama Tlepok. Lalu wajah anak itu berhasil mengisi bingkai jendela. Tertawa bersama anak-anak lain sambil melihati Gladys.
“Ayune! Wong endi iku?” pertanyaan itu keluar dari mulut salah satu dari mereka.