Berdasarkan permintaan Marlina, mulai hari itu Gladys tinggal di gubuk kayu Mak Ni. Senang bukan main Mak Ni akhirnya punya teman satu rumah. Dan untuk malam ini Marlina menginap di situ. Menemani Gladys yang katanya belum terbiasa tidur di suasana gelap.
Mak Ni memasak ayam goreng dan nasi putih. Dibelinya dengan harga mahal dari tetangga yang baru menyeberangi hutan.
“Malam ini ada tamu spesial. Jadi makanannya spesial juga.” Mak Ni berjalan hati-hati membawa bakul berisi nasi, ditaruh di meja ruang depan. Senyumnya mekar tak terhingga.
Di ruang depan itu ada Marlina dan Gladys yang sudah tak sabar menunggu makan malam. Kemudian Mak Ni lari-lari kecil kembali ke dapur, mengambil tiga piring, dan cobek dari kayu. Isinya sambal tomat. Aromanya sudah menguar, perut Gladys makin keroncongan.
“Ayam goreng Mak Ni!” Marlina tepuk tangan. Menggosok-gosok perutnya tak sabar.
Gladys hanya tersenyum. Baginya, ayam goreng tidaklah spesial. Biasa-biasa saja. Sering dia makan daging ayam. Jangankan ayam, sapi atau kelinci juga sering.
“Mak Ni ini jago masak. Kau mau kapan-kapan diajari?” Marlina mengambil piring, menciduk nasi.
“Diajari masak?”
Marlina mengangguk.
Gladys langsung tersenyum pendek. Menggeleng cepat. “Aku tidak bisa. Di rumah aku dilarang masak. Kata Ibu, tanganku ini bukan tangan koki.”
Dan mereka tertawa. Menikmati santap malam spesial ini bersama-sama. Setelah itu mereka saling bantu beres-beres. Meletakkan piring kotor di dapur, dekat dengan dua ember berisi air. Mak Ni dan Marlina langsung saling bantu mencuci piring. Gladys hanya menonton. Dia tak bisa cuci piring. Takut pecah.
“Kau perempuan. Tak bisa masak, tak pandai cuci piring. Jangan-jangan kau tak bisa semua tugas perempuan?”
Gladys tersenyum, merasa malu. Sebagai perempuan dia memang tak pernah mengerjakan hal-hal seperti itu.
“Lalu kau bisa apa?”
Berpikir sejenak. Dia hanya bisa bermain biola. Sejauh ini cuma itu yang dia tahu. “Aku bisa bermain biola.”
“Benarkah? Woow …” Marlina berdecak kagum. Sambil tangannya tetap tangkas mencuci piring.
“Kau bisa salat?”
Kening Gladys tiba-tiba turun. “Aku hanya pernah melihat Mbok Ija salat. Bagiku itu mirip olah raga.”
Marlina tersenyum tipis. Dia sudah selesai. Bangkit, mencuci tangan, lantas mengambil serbet, mengeringkan jemari tangannnya. “Besok pagi akan kuajarkan. Sekarang kita istirahat, yuk!”
Gladys mengangguk. Malam ini hening usai makan malam spesial tadi.
“Psssttt!! Bangun, Gladys!” sebelah tangan Marlina menggoyang-goyang badan Gladys. Satu tangannya lagi memegang lampu tempel. Kedua mata Gladys tak bisa dibuka. Suara ayam saling bersahutan, mengusik telinganya. Tapi hari masih gelap. Ini bukan waktunya dia bangun.
“Gladys! Ayo bangun!” Marlina menarik tangan Gladys, membuatnya terpaksa bangkit, duduk lemas, masih dengan mata terpejam.
“Ini masih jam berapa? Aku mau tidur lagi!” katanya lemas, kembali membaringkan badan. Tapi Marlina menarik tangan Gladys lagi.
“Perempuan mana pagi-pagi begini masih tidur? Ayo bangun! Ini sudah waktunya salat subuh!”
Gladys terpaksa bangkit lagi. Mengantuk dua matanya. Malam tadi tidurnya tak nyenyak. Suara-suara binatang malam bersahutan, seram, mengingatkan nasibnya waktu terdampar di tengah-tengah hutan. Dia seperti baru dua tiga menit lalu terlelap, tiba-tiba saja sudah dibangunkan.
Marlina menghela, geleng-geleng maklum. Lantas menggantung lampu tempelnya di dinding bambu, membuka jendela kayu lebar-lebar. Udara dingin masuk, menyentuh Gladys, merinding. Dan Oh God! Gladys melihat ke luar jendela. Hari masih gelap. Belum juga matahari tampak di balik pepohonan.
“Ini masih malam, Marlina! Kau tidak lihat langit masih gelap?”
Marlina cekikikan, seperti menganggap ucapan Gladys itu aneh. Lantas dia mengambil satu kain hijab panjang di lemari pakaian. Meletakkannya di pangkuan Gladys.