Gadis Biola

Auni Fa
Chapter #15

Ingatan

Siapa tak kenal nama Gladys di pondokan ini? Semua tahu. Baik santri laki-laki, apalagi perempuan. Namanya melesat, menjadi buah bibir yang tak bisa ditahan-tahan. Jika Gladys pergi mengaji, memasuki gerbang pondok, melewati banyak santri, seperti biduan dia dipandangi, disapa seramah-ramahnya. Orang segan, kagum tidak sekedar kepada parasnya saja, tapi juga otaknya yang di luar daya tampung rata-rata otak penduduk sini.

Pernah suatu sore Gladys berjalan melewati beberapa santriwati yang sedang kebingungan menata kitab-kitab. Jumlahnya puluhan, kebanyakan berbahasa Arab, buku-buku materi Kyai Hisyam ketika belajar di Mesir. Semua kitab itu diletakkan di sebuah rak di samping kiri masjid. Tampaknya mereka tak begitu ingat letak-letak kitab ini di sebelah mana.

“Kau yakin ini berkaitan dengan nahwu sorof? Di sebelah sini?” salah satu dari mereka seperti ragu meletakkan kitab-kitab itu di rak bagian tengah. Jika ternyata salah, takut Pak Kyai menegur kekeliruan ini.

“Aduh … mana kutahu? Aku bahkan belum bisa baca yang beginian.” Seseorang lagi membuka-buka buku yang semuanya bertuliskan arab. Garuk-garuk kepala.

Gladys pernah dua tiga kali mengamati rak-rak buku. Biar pun rata-rata kitab di sini menggunakan tulisan Arab, tapi dia tahu betul letak-letaknya. Melekat di dalam otaknya. Bagaikan sebuah potret yang disimpan dalam satu album, lantas jika sewaktu-waktu ingin mengingat detil suatu gambar, tinggal diambilnya album itu, dibuka-buka lagi seperti membuka sebuah buku.

“Aku tahu, Mbak. Boleh kubantu?”

Beberapa santriwati itu menoleh bingung. Antara ingin sekali mendapat bantuan, dan tidak percaya yang menawarkan bantuan tersebut adalah Gladys, seorang murid yang terhitung baru di pondok ini.

“Kau benar-benar tahu, Mbak Gladys?” salah satu dari mereka bertanya.

“Tentu.” Lantas dia memilah-milah kitab yang bertumpuk-tumpuk di lantai itu, sigap mengambili satu-satu, dimasukkan ke dalam rak. Satu per satu. Tanpa ragu, tanpa sedikit pun merasa kebingungan. Beberapa santriwati itu melongo.

“Yang ini bukan masuk nahwu sorof.” Gladys mengambil beberapa buku yang sudah dimasukkan di dalam rak. Lantas meletakkan dua kitab itu di rak ilmu fiqh, dan satu di rak tafsir.

Sore itu, Gladys dan beberapa santriwati itu saling bantu menata kitab-kitab di rak. Paling tidak, kepercayaan diri Gladys memilah-milah ratusan kitab itu sedikit banyak membuat beberapa santri tadi lebih lega.

Lain cerita di masjid dengan apa yang dialami Marlina sendiri di hutan. Ketika pagi itu dia mencari jalan menuju tempat sarang lebah madu hutan yang tak sengaja dia temukan seminggu lalu saat mencari kayu bakar bersama Gladys. Sengaja kali ini dia membawa serta beberapa penduduk. Barangkali rumah lebah itu ketemu, mereka bisa langsung memanennya.

“Apa benar Non Marlina tahu letaknya? Ini sudah terlalu jauh dari tepi desa, Non.” Salah satu penduduk merasa ragu. Menelan ludah.

“Sepertinya di sini, Pak. Tapi aku tidak melihatnya lagi. Apa mungkin sudah ada yang mengambilnya?”

Beberapa orang di belakang Marlina hanya mengedikkan bahu.

Hari berikutnya, Gladys menawarkan diri ikut mencari madu itu. Kembali Marlina mengajak beberapa penduduk. Kali ini Gladys berjalan paling depan. Dia mengingat setiap langkah menuju tempat bersarangnya kerajaan lebah. Bahkan Marlina beberapa kali protes.

“Kau yakin ini jalan yang benar?”

“Sssttt!!” Gladys menoleh ke belakang, memicingkan mata sambil menutup mulutnya dengan telunjuk. “Kau berisik! Ini agak berbeda dari yang seminggu lalu kita lewati. Mungkin itu sebabnya kau kesasar, Marlina. Ada beberapa perubahan. Dua pohon sudah ditebas rantingnya di sebelah kiri. Dan satu semak-semak mulai rimbun.”

Seorang bapak-bapak di belakang Marlina angkat bicara. “Kemarin lusa saya ke sini, Non, nebang ranting buat kayu bakar.”

“Pohon yang itu, kan?” Gladys menunjuk salah satu pohon di dekatnya.

Bapak itu garuk-garuk kepala, mengernyit, coba mengingat-ingat pohon mana yang kemarin lusa dia tebang. “I … iya mungkin, ya …? Saya kok, lupa. Hehe.”

Pandangan mata Gladys mengedar, otaknya kembali membuka-buka lembaran seminggu lalu, menampakkan jalan menuju pohon yang menampung madu-madu hutan. Lantas dia kembali berjalan, melompati semak, menelusuri jalur penuh belukar. Dan orang-orang, tak terkecuali Marlina, terkejut bukan main saat Gladys menemukan sebuah pohon besar tak jauh dari mereka. Di bagian atas batang pohon itu, sarang lebah menempel dalam ukuran yang sangat besar. Para penduduk girang bukan kepalang. Mereka akan pesta madu selama beberapa hari ke depan.

Dua mata Marlina berbinar-binar. Bukan karena melihat sarang lebah yang mereka temukan itu, tapi karena tepat di hadapannya, berdiri seorang gadis muda cantik, baik hati, dan memiliki ingatan yang luar biasa. Sejak itu, Gladys menjadi sorotan. Namanya semakin dikenal banyak orang.

 

Seperti juga hari ini, dia kembali menjadi sorotan ketika memasuki pondok pesantren. Marlina menggandeng lengangnya, menariknya cepat-cepat menuju kediaman Pak Hisyam. Katanya ada urusan penting yang harus dibicarakan.

Lihat selengkapnya