Sawi dan bayam tumbuh subur di halaman tetangga, juga singkong. Umbinya besar-besar. Terus terang, baru ini Gladys tahu ada singkong sebesar paha orang dewasa gemuk. Gladys membantu memanen semua tanaman itu. Selepas itu, pemilik lahan memberinya seikat daun singkong untuk dimasak, juga sebongkah singkong gemuk menggoda selera. Mak Ni jadi bersemangat. Tidak hanya singkong rebus yang selalu dia makan. Kadang bayam, kadang sawi.
Pagi ini Gladys membantu Mak Ni masak. Tapi kekacauan datang. Mak Ni tak tahu bahwa ini adalah kelemahan Gladys yang susah diperbaiki. Maka sarapan yang seharusnya membuat mereka semangat, kini suram seperti ada mendung di atas meja makan. Sayurnya terlalu asin, terlampau matang, Marlina tak tahan, memilih makan singkong rebusan Mak Ni saja. Gladys hanya garuk-garuk kepala. Ini memang bukan bakatnya.
Lupakan sarapan yang menyeramkan! Mari kembali ke hal-hal yang perlu dikenal Gladys dalam kehidupan barunya ini. Menginjak siang, Marlina mengajak Gladys ke sungai tak jauh dari desa. Ini adalah pengalaman baru baginya. Melewati pepohonan rindang, menuruni jalan berliku, berbatu-batu, sesekali mereka membelah semak belukar. Pakaian kotornya ditaruh di keranjang kecil, dibungkus jarik, diikat di punggung. Dalam perjalanan itu, mereka banyak bicara, bercanda, beberapa kali Marlina tergelak saat Gladys terpeleset mau jatuh. Akrab sekali dua belia itu.
“Kau yakin ini jalan yang benar?” Gladys mengusap peluh, jilbabnya basah oleh keringat.
“Sejak kecil aku sudah mengenal tempat ini. Aku lumayan sering mencuci baju di sungai itu!” Marlina melirik Gladys di belakangnya. “Kenapa? Kau takut tersesat?”
Gladys mengangguk. “Kenapa tidak nimba air saja? Cuci baju di rumah Mak Ni sama saja, kan?”
Sambil terus melangkah, Marlina menjelaskan. “Bisa-bisa saja. Tapi kau tidak bosan apa? Kalau begini kan bisa sambil jalan-jalan. Aku yakin tidak ada ruginya.”
Bagi Marlina memang tidak ada ruginya. Tapi lihat Gladys! Dia mengusap keringat, toleh kanan kiri dengan was-was. Kadang-kadang hutan masih juga mengingatkannya pada kejadian menemukan mayat dan minum air kencing waktu itu. Pengalaman yang mendebarkan. Dia menelan ludah dalam-dalam, menggeleng cepat, mencoba menyingkirkan ingatan itu dari atas kepalanya.
Sekejap Marlina tertawa, lalu mengibas tangan, tanda agar Gladys tidak khawatir. “Nanti pulangnya, kita lewat jalan memutar. Tidak menanjak seperti ini, tidak melewati pohon-pohon rimbun juga. Aku yakin kau akan lebih tenang. Kita juga bisa melihat air terjun jauh di lereng gunung.”
Tidak ada obrolan lagi. Gladys memilih diam, hemat tenaga. Napasnya sudah kembang kempis menuruni jalan ini, belum mencuci pakaian. Dia tak ingin di tengah perjalanan pulang nanti, pingsan gara-gara kehabisan tenaga.
Sungai di depan mata terbentang memanjang, berkelok seperti ular, mengalir menuju kegelapan hutan jauh ke selatan. Airnya jernih beriak, menerpa bebatuan, Gladys yakin sungai ini tidak dalam, hanya saja arusnya cukup deras. Sekali nyebur, dia bisa terseret. Tak jauh di tengah-tengah sungai, sebatang pohon pisang tampak hanyut, terseret arus, menabrak-nabrak bebatuan. Gladys menelan ludah. Benar, kan! Kalau jatuh, nasibnya bakal tak jauh beda dengan pohon pisang itu.
Marlina santai meletakkan keranjang cucian tepat di tepi sungai, melingkis lengan bajunya, jongkok, menoleh ke tempat Gladys berdiri. “Ayo, Gladys! Mau sampai kapan melongo seperti itu?”
Di pagi menjelang siang ini, keduanya mulai mencuci pakaian masing-masing.
Kurang lebih tiga puluh menitan Gladys mencuci sekeranjang pakaiannya. Setelah itu istirahat, meletakkan seluruh pakaian bersih tak jauh dari tepi sungai. Gladys duduk di sebuah batu kering di tepian, kakinya ditenggelamkan, menunggu Marlina selesai.
Dua matanya Gladya lekat-lekat memandangi arus sungai. Banyak batu-batu sebesar meja kursi tersebar di tengah. Pandangannya menyisir tepi seberang. Tidak ada tanda-tanda peradaban manusia di seberang sana. Yang tampak hanya hutan belantara, sepi, pohon-pohon menjulang tak beraturan. Sinar matahari tak mampu menembus, membuatnya tampak gelap dan seram. Tapi ketika itulah dia tidak sengaja melihat jauh di sana, di balik pohon-pohon yang menjulang tinggi itu, dua tiga buah sebesar genggaman tangan berwarna hijau bulat menggantung. Gladys berdiri, melangkah sedikit ke tengah sungai, memicingkan mata jauh ke depan.
“Kau lihat apa?” Marlina sekilas menoleh, sambil dua tangannya tetap mencuci. Masih ada dua helai baju yang belum dia cuci.
“Itu! Yang dibalik pohon tinggi-tinggi itu. Bukannya itu buah apel?”
Dua alis Marlina turun, bingung. Apel? Bahkan dia baru dengar nama itu. “Buah apa itu?” Marlina meninggalkan cuciannya, ikut berdiri, memicingkan mata.
Gladys maklum. Tidak semua orang kenal buah apel. Nama itu bisa dibilang baru. Bahkan mungkin saja ayahnya adalah petani pertama di kota ini yang menanam apel.
“Kau tahu jalan menyeberangi sungai ini?” tanya Gladys.
“Mau apa?”
“Tunjukkan saja, Marlina! Nanti kuberitahu di sana!”