Nama Gladys kian tenar di lingkup pondok Pak Hisyam. Selain cantik, sopan, dan gemar tersenyum, dia juga pandai dalam semua pelajaran. Mengingat doa-doa, menghafal ayat-ayat Al-Quran hanya dengan sekali saja melihat ustaznya melantunkan ayat. Kemampuannya melebihi rata-rata manusia biasa. Mampu merekam semua gerak gerik orang, menghafal di mana letak buku-buku di rak hanya dengan sekali lihat. Sekali pun itu sudah beberapa bulan yang lalu diubah.
Mungkin Gladys tak punya buku, belum cukup pandai menulis bahasa arab. Tapi ingatan yang kuat membuatnya menjadi buah bibir seluruh warga di pondok. Bahkan suatu ketika, Gladys mengingatkan seorang ustazah tentang ayat yang sedikit keliru dia lafalkan panjang pendeknya. Kekaguman akan gadis muda nan cantik itu semakin besar. Semakin terkenal namanya. Mereka benar-benar menyukai Gladys. Para ustazah sesekali meminta Gladys mengajari anak-anak di depan. Kadang kala mereka bersama-sama menyanyikan syair sholawat nabi bersama-sama. Gladys amat suka sholawat nabi yang dilantunkan dengan lagu-lagu. Terdengar halus di telinganya.
Percaya tidak percaya. Baru sekian bulan saja dia mengaji, sudah hafal beberapa juz. Tanpa menulis karena tak punya buku, tanpa memegang Al-Quran karena jumlah yang sangat terbatas di desa ini.
“Bagaimana kau bisa menghafal sebegitu banyaknya, Gladys? Padahal kau tidak punya Al-Quran.” Marlina bertanya saat sore itu mereka ada di kebun apel. Matahari sudah jingga, para petani desa, dan tiga santriwati yang membantu di kebun satu per satu beranjak pulang.
Di desa ini. Hanya ada 10 Al-Quran yang tersedia di pondok. Untuk keperluan mengaji. Tidak boleh dibawa pulang. Gladys mengusap peluh, napasnya berat. Dia baru saja selesai menggemburkan tanah-tanah di sekitar pohon apel agar tidak padat. Supaya air mudah diserap. “Kau ingat ceramah Pak Kyai di depan banyak orang desa lima bulan yang lalu?”
Marlina mengernyit, menggeleng pelan. Lupa. Bapaknya punya banyak sekali jadwal ceramah, sudah tentu ceramah lima bulan yang lalu meluntur dari ingatannya.
“Waktu itu Pak Kyai ceramah tentang metode menghafal rasul dengan cara talaqqin. Jadi tidak ada salahnya aku mencoba. Sejak itu, semua ayat-ayat yang ustazah berikan saat mengaji, kuingat-ingat dengan sangat detail. Kuhafal kalau mau tidur, selesai salat, atau ketika berkebun seperti ini. Daripada tangan bekerja mulut tak berpahala. Lebih baik seperti itu, kan?”
Alasan itu menggetarkan hati Marlina. Dipandanginya terus mata Gladys yang kecokelatan. Bening memantulkan bayangan dirinya. “Masya Allah.” Hanya itu kata yang berhasil dia ucapkan.
Sekian detik diam, dari satu pohon, Gladys pindah ke pohon lain. Sambil mengaduk-aduk tanah, dia mengamati pertumbuhan daun dan tangkainya. Terlihat hijau menundukkan badan mereka, tak bersemangat untuk tumbuh menjadi daun-daun muda yang tangguh. Jika angin datang meniup, daun-daun itu bergoyang lemas, pasrah.
“Malangnya nasib pohon-pohon kita, Marlina.” Kata Gladys. Marlina mendekat, jongkok di samping Gladys. Memandangi pohon di depannya.
“Kenapa?”
“Mereka tidak bersemangat. Seperti tak ada usaha untuk tumbuh menjadi pohon yang kuat seperti tiga induknya.”
“Mungkin airnya terlalu sedikit. Biar kuambilkan di pondok dulu!” baru sedetik dia berdiri, Gladys tiba-tiba memegang lengan Marlina, mencegahnya. Ada sesuatu yang mendadak dia ingat. Yang dulu sering dia lakukan di halaman depan rumahnya.
“Mereka pernah bilang, kalau bunga-bunga di halaman lebih mekar ketika aku bermain biola.”