Pagi datang, Gladys memakai kerudungnya yang panjang menutupi dada. Dulu saja dia tidak mau, memakai kerudung karena takut telinganya dimasuki serangga. Tapi sekarang, baginya kain penutup itu adalah identitas, kewajiban bagi seorang muslimah. Marlina yang sudah siap berangkat memanggil-manggil dari ruang depan sejak tadi.
“Sebentar!” Gladys menjawab lantang. Sekian detik kemudian dia keluar kamar, melirik Marlina sengit. Tak pernah dia melihat Marlina se-terburu-buru begini. Semangatnya luar biasa.
“Kau semangat sekali? Kita kan cuma mencari kayu bakar. Sudah kebiasaan lama.”
“Tidak!” kata Marlina. “Pagi ini kita tidak mencari kayu bakar, Gladys.”
“Terus? Memasak sarapan?”
“Bisa suram hari ini kalau makan masakanmu,” ucap Marlina sambil tertawa. Gladys tak mau kalah lebar tawanya.
“Ikut aku!” Marlina menarik lengan Gladys keluar rumah. Jalan yang mereka lalui tidak menuju hutan, tapi ke arah pondok. “Bapak mau bicara.”
Ini masih terlalu pagi. Bahkan matahari masih belum tampak dari timur. Gladys tidak melihat gelagat buruk dari raut wajah temannya itu. Artinya, mungkin bukan kabar buruk yang akan dia terima. Tapi Gladys merasa aneh dipanggil sepagi ini ke pondok. Kalaupun ada pengajian, biasanya untuk para lelaki.
“Ada perlu apa, Lin?”
“Nanti juga kau tahu. Cepat!” Marlina tak sabar, sedikit berlari.
Sampai di pondok, halaman depan sudah ramai. Para santri bekerja seperti hari-hari biasa. Menyapu, olah raga, ada yang memanjat pohon pepaya, ditopang teman-temannya dari bawah seperti memanjat pinang. Gelak canda mereka memeriahkan pagi di halaman pondok.
Gladys dibawa ke ruang depan. Jendela dan pintu dibiarkan terbuka agar udara pagi masuk, dan sebentar lagi matahari membiaskan sinarnya ke dalam pondok, melalui pintu dan jendela yang terbuka itu.
Pak Hisyam dan istrinya sudah ada di sana, duduk sila. Tiga santri mematung takdim di belakang mereka. Marlina mengucap salam, masuk, disusul Gladys. Mereka duduk tak jauh di depan Pak Hisyam. Bersimpuh.
“Kau sudah diberitahu kenapa dipanggil ke sini, Nak Gladys?” tanya Pak Hisyam. Gladys menggeleng. Alisnya turun, bingung.
“Marlina tidak memberitahumu?”
“Tidak.” Jawab Gladys singkat. Marlina tersenyum tipis, menutup mulutnya seperti menyembunyikan sesuatu.
“Psstt.... apa?” Gladys berbisik. Tegang. Makin lebar senyum Marlina.