Terdengar suara-suara dari sebelahnya. Suara tentang kekhawatiran orang-orang, juga alunan lirih doa-doa. Gladys pelan membuka mata, melihat Marlina, Mak Ni, dan beberapa santriwati dari pondok yang berdiri mengelilinginya. Marlina menghentikan doanya, tersenyum lebar, langsung memegang tangan Gladys yang berada di atas perut. Siang sudah datang. Terasa sekali hawanya sampai ke dalam sini. Panas matahari menyengat menembus langit-langit rumah.
“Alhamdulillah kau sudah sadar.”
“Aku di mana?”
“Di kamar tamu.” Mak Ni menjawab pelan, bibir keriputnya menampakkan senyuman, seperti ikut lega melihat Gladys sadar.
“Kau tadi pingsan setelah main biola. Setelah bercerita tentang Mbak... Bibah....” Kata-kata Marlina sempat terhenti, tertahan di tenggorokan, berpaling muka. Gladys bisa melihat sirat kepedihan dari sorot mata Marlina.
Hening, beberapa santriwati yang melihat kondisi Gladys membaik, beralih pergi menuju kamar Pak Hisyam. Menjenguk istrinya yang masih lemas dan shock. Menyisakan Mak Ni dan Marlina saja. Keduanya duduk di kursi kayu yang ada. Gladys bangkit, menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Menghela.
“Oh iya! Sebentar kuambilkan minum!” Mak Ni sigap bangkit lagi dari kursinya lantas mengambil air di atas nakas, diberikan kepada Gladys. Selepas minum, pulih tenaganya, Gladys mulai bisa berpikir jernih. “Bagaimana Bapak Ibumu, Marlina?”
Sejenak Marlina diam, tersenyum tipis seperti ingin membuat Gladys tidak terlalu khawatir. “Kau tenang saja. Ibu sudah mendingan. Bapak baik-baik saja. Sebenarnya tadi berniat balas dendam. Bapak dan beberapa santri membawa senjata apa adanya, hendak menuju markas rahasia Jepang itu. Tapi setelah dipikir-pikir, mereka tidak tahu jalannya, dan jumlah mereka juga cuma sedikit. Tak mungkin bisa mengalahkan kekuatan tentara Jepang.”
“Kau benar, kalaupun mereka jadi pergi, bagiku tindakan itu sangat ceroboh. Terakhir kulihat mereka mempunyai pedang dan senapan. Jumlahnya puluhan. Tak tahu sekarang berapa.”
Suara adzan berkumandang. Matahari sudah tergelincir dari pertengahan bumi. Marlina mengajak Gladys Salat. Melupakan dulu masalah Jepang dan Habibah. Membantunya berdiri. Memapahnya yang sesekali masih merasa pusing.
“Nanti malam ada doa bersama di halaman depan pondok. Kau ikut?”
“Dalam rangka apa?” Gladys menoleh, mengernyit. Dia merasa tidak ada perayaan apa-apa dalam beberapa minggu ke depan.
“Ya ... untuk mendoakan Mbak Habibah dan seluruh orang-orang kita yang ditawan Jepang. Bapak yang suruh. Katanya, tidak ada yang tahu nasib mereka. Masih hidup atau sudah mati. Sudah sepantasnya kita yang setanah air, berdoa untuk ketabahan mereka yang masih hidup, dan kemudahan mereka yang sudah mati, menuju syurganya Allah.”
Gladys mengangguk. Nasib mereka? Di samping Mbak Habibah, ada Sukma, dan beberapa orang lagi. Bagaimana kabarnya? Gadis kecil yang lugu itu, yang dulu masih berusia empat belas tahun. Hampir dua tahun terlewati. Semoga mereka baik-baik saja.
Di masjid pondok, para santri mulai berkumpul untuk salat. Marlina dan Gladys datang pelan-pelan. Orang-orang melihat ke arah mereka. Tepatnya ke arah Gladys. Tatapan mereka tak dapat dimengerti. Ada yang senyum-senyum saja, ada yang diam malu-malu mencuri pandang. Gladys menjadi sorotan para santri. Tak hanya laki-laki, tapi perempuan juga.
“Kenapa mereka melihatku begitu?” Gladys berbisik ke telinga Marlina. Mereka melangkah sampai tiba di tempat wudhu masjid. Marlina mengedikkan bahu. Tidak tahu.
Begitu sampai di masjid, usai wudhu, hendak memasang mukena, barulah Gladys tahu apa sebabnya ketika seorang santriwati mendekat, berbincang dengan Gladys. “Kami mendengar musik yang kau mainkan tadi. Subhanallah, Gladys. Tidak pernah kami mendengar suara seindah itu. Seolah-olah kami ikut hanyut dalam lantunan sholawat yang kau mainkan. Kapan-kapan kami boleh belajar musik itu, tidak?”