April, tahun 1945.
Matahari akhir-akhir ini menyengat, mencubit ubun-ubun. Udara yang biasa sejuk ketika dihirup, kini panas, menusuk-nusuk hati para penduduk. Kalau dirasakan, hawa di luaran sana bagaikan terbang mendekat, seperti ingin menyampaikan kabar menyedihkan kepada semua orang. Tentang kelangsungan hidup Ibu Pertiwi, tentang kondisi mengenaskan negeri ini.
Kata beberapa penduduk desa yang beberapa hari lalu sambang ke rumah saudaranya di sekitar perbatasan Batu-Malang, mendapat kabar tentang banyaknya perlawanan kepada Jepang di Jawa Timur. Para pejuang gugur, di beberapa titik penjajah berhasil mundur, tapi masih banyak yang mengalah atas kekejaman Jepang. Mereka memilih tunduk ketimbang ada pertumpahan darah.
Seluruh desa merasakan dukanya. Jika dulu di pagi hari suara burung terdengar riang, kini hanya sesekali berkicau, lebih rendah suaranya, makin sedih terdengar. Seluruh aktivitas menjadi setengah hati dikerjakan.
“Lalu apa yang bisa kita lakukan?” Gladys gelisah mendengar kabar itu tersebar cepat ke seluruh penjuru desa. Dia malas-malasan menyirami kebun. Marlina yang tak jauh darinya, hanya mengedikkan bahu.
“Tak lama, Jepang akan merenggut seluruh kota. Bisa jadi suatu saat nanti mereka tahu tentang kita. Tentang desa ini.” Gladys menoleh, melihat Marlina yang sibuk mengamati daun-daun apel, siapa tahu ada yang dimakan ulat.
“Kita mungkin hanya bisa berdoa,” jawab Marlina pelan. “Kalaupun mereka datang, kita bisa melawan dengan apa? Desa ini tidak dibangun untuk peperangan. Kami berternak, bercocok tanam. Orang-orang membawa cangkul dan arit, bukan pedang, apalagi senapan.”
Benar kata Marlina. Desa ini tercipta untuk menjadi petani. Tidak ada satu pun penduduk yang ahli silat atau pedang. Semua memanen pisang dan singkong, memotong ayam dan memasak telur.
Namun tiba-tiba saja angin bergulir kencang, lembab, udara menjadi dingin. Seperempat langit tertutup mendung yang terus merambat ke arah mereka. Gladys memprediksi sore nanti turun hujan. Cuaca benar-benar tidak menentu. Padahal ini masih Bulan April.
Peramal jaman dulu bilang, mendung bisa jadi pertanda bencana, atau tibanya masa-masa kelam suatu daerah. Gladys sebenarnya tidak percaya ramalan-ramalan semacam itu. Apalagi dia kini telah memegang teguh ajaran agama. Namun, tetap saja benang antara cuaca buruk dan kedigdayaan Jepang seolah-olah tersimpul. Mengganggu pikirannya, menyentil hati kecilnya.
Selesai berkebun, keduanya pulang tanpa saling bicara.
Di tengah-tengah desa, ramai warga berkumpul. Empat diantaranya tampak berkeringat, ngos-ngosan, panik menyampaikan kabar kepada penduduk bahwa mereka melihat dari jauh, puluhan tentara menerobos hutan sebelah Barat, membawa tas dan senjata api, menuju ke arah desa ini.
“Itu Jepang!” teriak salah satu dari mereka. Gladys dan Marlina berlari mendekat, membaur dengan suasana tegang itu.
“Kau yakin? Itu bisa saja tentara kita.” Yang lain punya keyakinan berbeda.
“Sejak jaman Belanda dulu, tak sekalipun tentara kita datang ke sini. Tidak ada yang tahu. Lagipula, apa kau tidak pernah dengar rumor tentang kekejaman Jepang?”
Langsung bungkam orang yang berkeyakinan berbeda tadi. Suasana tambah mencekam. Hening. Tampak sekali rasa takut di wajah-wajah mereka. Tidak laki-laki perempuan saja, anak-anak pun gentar mendengar kabar itu, memeluk ibu bapaknya sambil menunduk. Gladys mengambil sikap, berbicara selagi mereka diam.
“Bapak Ibu. Untuk sementara, kita bersembunyi saja dulu di rumah masing-masing,” katanya. Beberapa orang kompak mengangguk. “Kita lihat siapa yang datang. Dan jangan ada yang keluar. Kunci pintu, tutup kerai jendela. Sembunyi di mana pun yang kalian rasa aman.”
Keputusan itu langsung membuat semua orang bubar, bergegas menuju rumah masing-masing. Beberapa orang mencari anaknya yang bermain di tepi hutan, lantas kembali sambil menyeret tangan mereka, atau memukuli pantatnya sampai kapok agar tidak melawan disuruh pulang, lantas anak-anak itu lari cepat-cepat ke rumah sambil merengek.
Marlina mengajak pergi ke pondok, sembunyi di sana. Gladys menolak, memilih ke rumah Mak Ni, kasihan kalau perempuan tua itu sendirian. Maka keduanya berpisah di simpang jalan. Sekian menit kemudian, desa sepi lengang, menyisakan suara-suara ayam tetangga sebelah.
Sore hari ketika menginjak ashar. Benar sekali. Hujan turun deras, tanah basah, udara dingin, dan bertambah sepi desa ini. Tapi ucapan orang tadi tidak salah. Usai salat di kamarnya, Gladys keluar ke ruang depan, coba mengintip dari balik jendela rumah Mak Ni, melihat segerombolan tentara berjalan sambil mengamati sekitar. Di tangan mereka lengkap memegang senapan. Pakaiannya hijau lumut, sama dengan warna wajah-wajah mereka yang dicat hijau. Sebagian telah luntur kena hujan.
Tapi yang melegakan adalah, di lengan kiri para tentara itu, terikat pita tipis berwarna merah putih. Gladys tahu itu bukan tentara Jepang. Seragamnya pun tak sama dengan yang dia lihat dua tahun lalu. Mereka basah kuyup, tetap berjalan pelan tak peduli hujan deras.
Dia menutup kerai, memakai kerudungnya cepat-cepat, mengambil payung di dekat kursi ruang tamu. Lantas hendak membuka pintu.