Kedua mata Gladys terbuka, samar-samar melihat lilin menyelip di sudut kamar. Dia menoleh ke kanan, ada Marlina dan Mak Ni di kamar ini. Duduk menjaganya. Tampak senang melihat Gladys sudah bisa membuka mata.
“Alhamdulillah. Kau siuman.” Marlina memegang tangan Gladys, tersenyum lebar. Mak Ni buru-buru mengambil air putih di dapur pondok, lalu kembali.
Pelan-pelan dia bangkit, Marlina membantunya bersandar di kepala ranjang. Menghela panjang. Mak Ni membuka pintu kamar, membawa segelas air putih, menyuruh Gladys minum dulu agar lebih tenang.
Di luar hujan sudah reda, sebab tidak lagi terdengar suaranya memukul-mukul atap pondok. Habis segelas air, Gladys mulai bisa bernapas lega. Mak Ni meletakkan gelas kosong itu di atas meja. Lalu kembali duduk.
“Lama sekali kau pingsan, Nak,” katanya.
“Sekarang sudah malam,” tambah Marlina. “Kau melewatkan salat magrib.”
Sambil menyibak selimut, Gladys beristighfar, mau bergegas ke kamar mandi mengambil wudhu. Tapi kepalanya yang masih berdenyut-denyut, memaksa untuk terus duduk. Dia belum sanggup berdiri. Marlina memintanya kembali berbaring. Daripada pingsan lagi nanti.
“Tidak apa-apa, Gladys. Kau belum pulih benar. Nanti salatnya bisa dijamak.”
Seseorang mengetuk pintu pelan.
“Siapa?” Marlina bertanya. Semua orang menoleh ke arah pintu yang tertutup.
“Saya.” Suara Kapten Herman terdengar pelan, tidak setegas tadi ketika bicara di depan Pak Hisyam.
“Maaf kapten, kau tidak boleh masuk!” Marlina bergerak ke dekat pintu, cepat memutar kayu sepanjang telapak tangan untuk mengunci pintu. Takut tiba-tiba Kapten Herman membukanya. Dia tahu kebiasaan buruk orang yang tak punya tata krama. Langsung membuka pintu tanpa izin. Walaupun bukan berarti Kapten Herman tidak punya tata krama. Marlina hanya berjaga-jaga saja. Tak mau seorang pria tiba-tiba masuk kamar yang dihuni tiga perempuan yang bukan muhrimnya.
“Aku cuma ingin menanyakan kabar Mbak Gladys.”
“Dia baik-baik saja.”
“Aku juga ingin tahu informasi lain tentang markas itu dan Jendral Hit...”
“Gladys baru sadar,” Marlina langsung memotong. “Malam juga sudah hampir larut. Tak boleh ada obrolan di pondok ini. Tidak boleh lilin menyala terus-terusan. Tanyanya besok saja kalau kami punya waktu!”
Kapten Herman tidak menjawab, pergi begitu saja. Suara langkah kaki berat terdengar lirih menjauh dari kamar ini. Marlina menghela, mengelus dada lega. Sebagai anak Pak Kyai, seumur-umur tak pernah dia berbincang dengan laki-laki lain selain ayahnya ketika berada di kamar. Tentu pengalaman ini membuat jantungnya berdetak kencang. Sambil tetap mengelus dada, dia berjalan mendekati Gladys. Duduk di kursi.
“Memangnya, apa kira-kira yang ingin Kapten Herman tanyakan?” tanya Marlina. Gladys mengangkat bahu. Tidak tahu.
“Kita lihat saja besok.”
***
Pagi datang. Kegiatan penduduk desa tetap seperti biasa. Mencari kayu bakar, memanggul beberapa batang singkong, memberi makan ayam-ayam. Namun pagi ini jalanan lebih ramai orang. Sebab dari subuh tadi, para tentara sudah banyak yang bangun, menunaikan salat bersama Pak Kyai di masjid pondok. Gladys dan Marlina tak menyangka Kapten Herman juga ada bersama rombongan anak buahnya. Melaksanakan salat subuh berjamaah. Sekejap, pikiran buruk Marlina tentang para tentara tidak punya tata krama itu memudar.
Dalam perjalanan pulang mencari kayu bakar, matahari sudah muncul separuh. Menerangi seluruh desa. Gladys dan Marlina berjalan beriringan, memanggul kayu kering, melangkah lebih cepat dari biasanya. Sebab dengar-dengar, Mak Ni memasak ayam pagi ini. Mereka berdua tak sabar menyantap hidangan lezat buatan Mak Ni.
Di tengah perjalanan itu, puluhan tentara terlihat meramaikan desa. Jalan-jalan, olah raga. Dua tentara berlomba memanjat pohon kelapa memakai sepatu. Teman-temannya yang di bawah tepuk tangan, bersorak. Lalu ketika salah satu tentara yang memanjat itu tidak kuat, merosot di pertengahan pohon, teman-temannya bersorak semakin keras. Menertawai temannya itu.
Gladys dan Marlina ikut tersenyum. Tak disangka mereka juga punya selera humor. Padahal kemarin sore ketika rombongan ini datang hujan-hujan, terlihat seram sekali tampang mereka.
Juga, ada beberapa pasukan yang membantu warga berburu di hutan, membawakan hasil buruan mereka. Seekor rusa, kelinci, juga beberapa genggam madu hutan. Semakin ramai desa ini. Para tentara tidak tinggal diam. Bahkan ada yang menolong para petani di kebun mereka.
“Jangan-jangan hari ini kebun apel kita ramai, Lin.” Gladys menebak.
Marlina tergelak, sambil terus memanggul kayu bakar. Berjalan lebih cepat. “Biar saja. Asal tidak merusak. Kalau ketahuan merusak, akan kuminta mereka tinggal di sini, menanam lagi dari awal.”
“Hahaha!” Tawa Gladys melebar. Membayangkan tentara-tentara berbadan kekar itu mengaduk tanah, menanam biji, menyirami dan memetik apel. “Kau senang, bukan?”
“Senang?” Marlina memicing bingung, menoleh ke Gladys tak jauh di belakangnya. “Senang apa?”
“Kau senang kalau mereka tinggal di sini, kan? Setiap hari melihat pria-pria berbadan kekar di kebun. Membantu kita merawat apel.”
“Kau bercanda!” Marlina terkekeh.