Ayam-ayam beriringan masuk kandang. Para penduduk satu per satu beranjak pulang dari kebun dan sawah. Matahari lelah mau istirahat di balik kaki langit. Ramai sekali desa ini. Mereka berdiri di pinggir jalan, sebagian jongkok, melihat para tentara berbaris rapi dengan senjata api di tangan.
Banyak orang sengaja datang sambil membawa makanan. Singkong rebus, keliki, nasi putih dan madu hutan dalam wadah gendok. Sudah tentu pemberian itu disambut baik oleh Kapten Herman. Seorang prajurit semangat sekali membagi-bagikan bekal itu kepada rekannya, lantas dimasukkan ke dalam tas.
Kapten Herman memimpin barisan, menyampaikan perintah kepada seluruh pasukan dengan tegas dan lantang. Tak lama kemudian, rombongan itu berangkat menuju kedalaman hutan, meninggalkan desa.
Pak Hisyam meminta banyak orang membantu menyiapkan istighosah, mendoakan para tentara negeri ini agar selamat dan memenangkan pertempuan. Maka ramai sekali di pondok. Orang lalu-lalang. Karpet panjang digelar hampir menutupi seluruh halaman pondok.
Marlina membantu apa saja. Sibuk sekali. Tidak bisa diganggu. Jadwal mengaji hari ini libur dulu. Persiapan yang mendadak tentu membuat semua orang kalang kabut. Terpaksa untuk kali ini, Gladys sendirian berkeliling desa, memberitahu semua orang dari pintu ke pintu. Bilang kalau nanti ba’da isyak ada doa bersama di dalam pondok.
Di atas nampan banyak sekali buah dihidangkan. Kacang, singkong dan pisang goreng juga tak mau kalah. Berjajar-jajar mirip gerbong kereta api. Maka usai salat isyak malam ini. Para penduduk satu per satu memasuki pintu halaman pondok, melepas sandal mereka, lalu duduk di karpet yang sudah digelar. Seluruh hidangan diletakkan di tengah-tengah mereka.
Untuk yang perempuan, mereka menunggu di dalam, di kamar-kamar, atau di rumah masing-masing. Pak Hisyam menyuruh mereka berdoa sendiri, meminta kepada Allah supaya Kapten Herman dan pasukannya selamat.
Doa dipimpin langsung oleh Pak Hisyam, berlangsung sekitar tiga puluh menitan.
Usai doa bersama. Semua orang pulang bergerombol. Tak lama kemudian senyap pondok Pak Hisyam. Para santri sibuk membersihkan sampah-sampah, menggulung karpet. Yang perempuan mencuci piring dan gelas kotor di dapur. Marlina menginap di pondok, sambil membantu beres-beres.
Gladys tidak. Memilih pulang ke rumah Mak Ni. Sekarang dia sedang duduk termenung di atas dipan bambu depan rumah Mak Ni. Memegang biola yang semakin dingin. Sebab tak juga dia mainkan. Malam kian larut. Sepi desa ini. Segelintir jamaah yang belum pulang, satu demi satu mulai masuk rumah mereka. Disambut istri anak. Gladys tersenyum menyaksikan pemandangan itu.
Sungguh bahagia kalau bebas dari penjajahan. Di seluruh penjuru negeri, orang tua bisa bekerja tanpa rasa takut, anak-anak lebih nyaman bermain. Tak ada gelisah yang melanda hati mereka. Tak seperti yang Gladys lihat dua tahun lalu di kebun apel. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Sebagian ditembak, dilumpuhkan. Tak ada kebahagiaan tampak dari wajah-wajah itu. Kini tidak tahu lagi nasib kebun seperti apa. Nasib para pegawai, juga kabar tentang Mijan.
“Kau belum makan, Gladys.” Mak Ni muncul dari balik pintu, memanggil pelan.
“Sebentar lagi, Mak,” jawab Gladys singkat. Lantas biola itu diangkat, bersiap untuk dimainkan. “Mak Ni makan saja dulu. Nanti kalau sudah lapar aku masuk.”
Sikap Gladys tak seperti biasa. Mak Ni menghela, geleng-geleng. Memutuskan duduk di dipan juga, menemani Gladys. Udara malam yang dingin memaksa keduanya memakai pakaian berlapis.
Dua tiga detik kemudian, suara biola mengalun. Musik yang asing di telinga Mak Ni. Tapi liak liuk nadanya mampu menyentuh telinga dengan lembut, memukau hati. Tak berhenti mata rabun Mak Ni memandang kagum perempuan cantik di sampingnya itu.